Muhasabah Politik

politikOleh: Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengingatkan persatuan istri anggota (PIA) Fraksi PDI Perjuangan DPR RI untuk lebih peduli dan mendukung tugas suaminya di parlemen. “Para anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan sudah berjuang di parlemen, agar para istrinya lebih berempati dan mendukung tugas-tugas suaminya,” kata Megawati pada acara buka puasa bersama Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI beserta keluarga di rumah dinas Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani, di Jakarta, Rabu (22/6).

Pada kesempatan tersebut, Megawati juga menyindir para istri anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, agar jangan banyak “ngerumpi”, mengobrol di mall, atau belanja. Menurut dia, para istri anggota Dewan seharusnya lebih mengetahui tugas-tugas suaminya dan dapat mengerem, sehingga para suami tidak tersandung kasus hukum. Megawati juga menjelaskan, saat ini banyak kasus narkoba yang terjadi pada remaja sehingga harus berurusan dengan polisi. Dampak kasus narkoba, kata dia, bahkan ada yang melakukan tindakan kriminal termasuk pemerkosaan republika.co.id 23/6/16).

Perlu diingat, realitas kini kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke pragmatis seperti fenomena yang terjadi dalam pilkada dan pemilu, disinyalir karena reaksi atas kenyataan yang terjadi. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah wakil rakyat dan kepala daerah selama ini, baik di tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten, mengubah pola pikir masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat itu diperebutkan untuk meraih kekayaan.

Masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan di tangan, janji tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari pertama. Nama dan kepentingan rakyat diperalat demi kepentingan sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan, kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin balik modal, tambah kekayaan dan memupuk modal. Korupsi, kolusi, manipulasi, rekayasa proyek dan sejenisnya pun mengisi berita harian. Itulah fakta ibarat mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong pun ditinggalkan dan hanya diberi asap. Seperti itulah nasib rakyat selama ini.

Ditambah lagi, seiring ketatnya persaingan berebut kursi, masyarakat dipikat dengan berbagai iming-iming, bantuan bahkan uang. Masyarakat akhirnya merasa, suaranya memiliki “harga” dan bisa dijual.

Masyarakat merasa tidak mendapat manfaat yang semestinya dari para politisi. Masyarakat juga merasa selama ini hanya diperalat, dijadikan obyek dan komoditas politik bahkan alat tawar demi mendapat “harga” (baca manfaat finansial) tinggi. Maka ketika ada kesempatan, sebagian masyarakat pun menjadikan suaranya yang ber-“harga” untuk mendapat manfaat. Siapa pun yang datang memberikan uang akan diterima, tanpa peduli siapa sebenarnya yang didukung. Ungkapannya “kapan lagi mendapatkan uang dari para politisi kalau tidak pada momen pemilu?”

Pragmatisme dalam politik itu pada akhirnya justru menistakan politisi, parpol dan politik itu sendiri. Politik hanya dijadikan alat demi meraih kedudukan dan kekuasaan dan berikutnya mempertahankannya. Politik juga dijadikan sebagai alat tawar untuk mendapatkan keuntungan meski jangka pendek. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi komoditas.

Pragmatisme termasuk pragmatisme politik, menjadi subur dan kokoh akibat sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang eksis saat ini. Dalam kapitalisme asas manfaat menjadi nafas sekaligus tolok ukurnya.

Pragmatisme itu juga mendapatkan justifikasi dari doktrin politik dalam kapitalisme yang memang fokus pada kekuasaan. Yaitu berfokus pada bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, atau di sisi lain mempengaruhi kekuasaan ketika berposisi sebagai oposisi. Di atas semua itu kepentingan individu, partai dan kapitalis pemodal politik menjadi yang diutamakan. Kebijakan dan sikap oposan pada akhirnya untuk memperbesar diraihnya kepentingan itu, atau untuk menaikkan posisi tawar guna meminimalkan kehilangan.

Semua itu makin sistemik ketika dibingkai dengan sistem politik demokrasi yang di mana-mana selalu berbiaya tinggi. Politisi, parpol dan siapa pun yang masuk, terjun atau terlibat dalam proses politik itu harus mengeluarkan biaya dan tidak jarang “membeli” suara baik langsung maupun tidak langsung. Konsekuensi logisnya, pragmatisme atau bahkan politik uang menjadi sesuatu yang pasti terjadi. Dampak lebih buruknya, terjadilah siklus uang untuk politik dan politik untuk uang. Dalam semua itu rakyat lah yang menjadi korban.[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*