Hasil referendum Uni Eropa (UE) di Inggris telah menghasilkan sebanyak 51,9 persen suara memilih “leave” atau keluar dari UE. Sedangkan kubu yang memilih “remain” atau tetap berada di UE mendapat 48.1 persen.
Menyikapi hasil referendum di Inggris, berbagai kelompok pengecam atau anti Uni Eropa (UE) atau kaum eurosceptic di beberapa negara di Eropa bergembira setelah rakyat Inggris memilih keluar dari UE.
Mereka juga menuntut perlunya referendum serupa di negara masing-masing, usai hasil resmi diumumkan bahwa kelompok Brexit – Inggris keluar dari UE – menang.
Hal itu memicu kekhawatiran akan mulai ambruknya kesatuan Eropa yang telah dibangun dengan susah payah, sebagaimana dilaporkan Agence France-Presse (AFP), Jumat (24/6/2016)
Perdana menteri Inggris David Cameron segera mengumumkan pengunduran dirinya, sesaat setelah penghitungan suara. Ia termasuk bagian dari kelompok yang pro bergabung dengan Uni Eropa.
Sementara Para pemimpin Uni Eropa menegaskan Inggris harus segera bertindak untuk merundingkan keluar dari organisasi itu sebab penundaan hanya akan memperpanjang ketidakpastian.
Hal yang sama dilakukan Komisi Eropa yang mendesak Inggris Segera Ajukan Runding dan Proses Hengkang dari Uni Eropa.
“Kami siap melakukan perundingan secepatnya dengan Inggris terkait persyaratan dan kewajiban penarikan diri dari Uni Eropa,” ujar Jean – Claude Juncker, Kepala Komisi Eropa. (BBC, 25/6/2016).
Namun ada Lebih dari 1 juta orang telah menandatangani petisi menyerukan referendum kedua untuk keanggotaan Uni Eropa bagi Inggris. Petisi ini muncul setelah pendukung Inggris keluar dari Uni Eropa dengan angka kemenangan yang mengejutkan dalam referendum pada 23 Juni lalu. (AFP, 25/6/2016).
Konsekuensi Keluar dari Uni
Dampak jika Referendum keluar dari Uni Eropa difinalisasi, Inggris akan kehilangan berbagai fasilitas, sarana dan kemudahan atas arus keluar masuk modal, barang, jasa dan tenaga kerja.
Kemudahan berupa pembebasan hambatan, bea dan tarif keluar masuk barang, mobilitas usaha yang lebih flexible akan menjadi rigid, terpasung oleh sempadan nasionalisme dengan berdalih pada isu National State yang mulai usang.
Pada aspek ekonomi dan bisnis, terutama prospek pasar dan perdagangan Inggris yang mengandalkan sektor jasa dan industri keuangan akan banyak terpukul. Industri perbankan, penerbangan, arus modal dan tenaga kerja, sektor asuransi dan lembaga finance yang dimiliki Inggris akan diperlakukan sebagai The Outsider, diberlakukan ketentuan yang sama seperti negara lain diluar anggota Uni Eropa.
Memang benar, hasil referendum dianggap kemenangan bagi nasionalisme Inggris yang dianggap dapat berpijak, berdiri tegak diatas konstitusi dan yurisdiksi Britania Raya. Inggris tidak perlu lagi tunduk pada otoritas Brussel yang mengatur seluruh urusan Uni Eropa.
Inggris juga dapat lebih mandiri -atas pertimbangan kepentingan nasional- untuk mengambil langkah-langkah strategis sehubungan dengan berbagai kebijakan mengatur urusan dalam negeri, sekaligus memiliki independensi dalam melakukan manuver politik internasional.
Brexit : Tidak Mudah !
Pasca referendum diumumkan, euforia pemenang opsi leave begitu bergelora dengan berbagai bentuk aktualisasinya. Ekspresi gembira serta merta membuncah bagi para pendukung Inggris keluar Uni Eropa. Sebaliknya kelompok pro Uni Eropa juga langsung mengeluarkan ekspresi sedih dan kecewa atas hasil referendum.
Namun secara hukum, referendum barulah langkah awal suatu negara yang meminta pendapat publik berdasarkan konstitusi yang mengaturnya, untuk mengambil keputusan untuk tetap bergabung atau keluar dari Uni Eropa.
Prosedur pengunduran diri dari keanggotaan Uni Eropa tidak serta merta ditetapkan berdasarkan hasil referendum. Tetapi perlu melalui serangkaian prosedur dan proses yang panjang dan melelahkan.
Dalam ketentuan pasal 50 The Treaty On European Union (Atau lebih dikenal dengan Perjanjian Lisbon) disebutkan :
“Any Member State may decide to withdraw from the Union in accordance with its own constitutional requirements”
Pada ayat dua dilanjutkan :
“A Member State which decides to withdraw shall notify the European Council of its intention”.
Dari 2 (dua) ayat dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa :
Pertama, Setiap Negara Anggota Uni Eropa memiliki hak untuk keluar dari keanggotaannya, dan dapat memutuskan untuk menarik diri dari Uni Eropa sesuai dengan persyaratan konstitusional sendiri.
Kedua, Setiap Negara Anggota yang memiliki hak untuk mengundurkan diri, memiliki kewajiban memberitahukan niatnya kepada Dewan Eropa.
Dari dua klausul tersebut, Inggris baru masuk pada tahapan meminta pendapat umum rakyatnya melalui referendum untuk menentukan nasib Inggris di Uni Eropa.
Meskipun hasil akhir telah diketahui kemenangan berada pada pihak yang pro keluar dari Uni Eropa, namun gerakan petisi meminta untuk melakukan referendum ulang dapat mengambangkan hasil referendum. Artinya, pada tahapan dengar pendapat publik rakyat Inggris, hasil referendum masih dapat dimbangkan dan belum bida ditindaklanjuti melalui upaya pengaktifan pasal 50 Perjanjian Lisbon.
Pada tahapan pengajuan inisiatif pengunduran diri, pasca mundurnya perdana menteri David Kamerun menambah deret waktu proses pengajuan semakin panjang. Dalam pengunduran dirinya, ia menyebut proses follow up hasil referendum akan ditindaklanjuti perdana menteri penggantinya.
Pengajuan pengunduran diri hanya bisa dilakukan pasca terpilihnya perdana menteri definitif. Perdana menteri Devinitif dapat pula mempertimbangkan hal yang lain, jika dinamika yang terjadi berubah. Baik terkait legitimasi referendum maupun kondisi dan tujuan Politik komitmen Inggris Uni Eropa terjadi pembaruan.
Pada saat Inggris mengaktifkan pasal 50 Perjanjian Lisbon, inggris akan melalui berbagai perundingan dengan Uni Eropa untuk membahas finalisasi Keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Dalam perundingan akan dibahas tentang kesepakatan penutupan keanggotaan sekaligus menetapkan pengaturan penarikan keanggotaan.
Dalam perundingan juga akan dinegosiasikan kerangka hubungan masa depan Inggris – Uni Eropa pasca Inggris menarik keanggotaannya.
Hasil perundingan akan dijadikan kerangka pengaturan hubungan-hubungan korporat, bisnis, arus tenaga kerja yang telah terjadi dan terikat kontrak dengan dasar kepesertaan Inggris sebagai bagian Uni Eropa.
Pengaturan rincian hubungan dan kerangka kerja yang sudah terbangun -kemudian berdasarkan keputusan penarikan keanggotaan Inggris dari sini Eropa harus diatur ulang- bukanlah pekerjaan sederhana dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.
Untuk itulah dalam perjanjian Lisbon, diatur batas waktu aktivasi pengunduran diri dari keanggotaan Uni Eropa diberi tenggat waktu hingga 2 (dua) tahun.
Karenanya dapat disimpulkan arah kebijakan Inggris keluar dari Uni Eropa dalam tataran praktis dan aplikatif, masih terlalu dini disimpulkan. Dalam perjalanan proses aktivasi pengunduran diri, dinamika dan kepentingan politik masih sangat memungkinkan Inggris tetap bertahan dan tetap menjadi bagian Uni Eropa.
Manuver Politik Inggris
Referendum Inggris tidak dapat disimpulkan sebagai kerangka akhir sikap politik Inggris. Referendum dapat dipahami sebagai salah satu uslub Inggris untuk menekan Uni Eropa agar menyepakati atensi Inggris pada berbagai hubungan yang dibangun didalamnya.
Inggris tidak berhimpun dan menjadi bagian Uni Eropa, kecuali Inggris memperoleh keuntungan dari keanggotaan berupa kontrol atas Uni Eropa dan keuntungan ekonomi yang diperoleh darinya.
Hal ini terbukti dibeberapa klausul Perjanjian Lisbon ada keistimewaan Inggris yang dikecualikan dari anggota Uni Eropa lainnya.
Pada ketentuan Pasal 1 dan 2 misalnya mengecualikan Inggris dan Polandia untuk pemberlakuan Piagam Hak Asasi Uni Eropa oleh Mahkamah Peradilan Eropa. Artinya Yurisdiksi Hukum Inggris tetap memiliki kedaulatan untuk mengatur hukumnya sendiri. Inggris mengesampingkan peradilan Uni Eropa sebagai bentuk proteksi dan menjaga kedaulatan bangsanya.
Inggris dan Irlandia juga menarik diri dari keputusan mayoritas layak mengenai urusan kebijakan dan kehakiman. Kedua negara boleh memilih untuk melibatkan diri dalam keputusan mayoritas layak menurut kasus tertentu.
Dalam urusan mata uang, Inggris juga berlepas diri dari mata uang Uero. Inggris tetap menggunakan pondsterling sebagai mata yang yang berlaku dinegara nya. Hal ini menunjukan, sejak awal Inggris tidak benar-benar melebur dengan Uni Eropa, kecuali kepentingan nasional Inggris menghendakinya.
Kontradiksi kepentingan seputar keikutsertaan Inggris di Uni Eropa telah menjadi masalah dalam negeri yang klasik. Potensi ekonomi dari pasar Uni Eropa, harus dibayar dengan kehilangan sebagian wewenang Pemerintahan London yang tunduk pada otoritas Brussel.
Romantisme sejarah Inggris sebagai negara imperium dan semangat nasionalisme yang tumbuh dikalangan rakyat Inggris, menjadi satu pemicu gesekan tersendiri. Fasilitas ekonomi dari pasar Uni Eropa harus dibayar oleh Inggris dengan melepaskan sebagian kedaulatannya.
Alhasil, referendum brexit belum mengkonfirmasi apapun khususnya terkait masa depan Inggris dengan Uni Eropa. Karakter bangsa Inggris yang matang secara politik, akan memungkinkan memberikan kejutan-kejutan baru pada dunia dengan manuver-manuver politiknya.
Dinamika didalam negeri masih bisa diambangkan Inggris, manakala proposal Inggris kepada Uni Eropatidak disepakati. Inggris juga akan mempertahankan keuntungan ekonomi dari Uni Eropa dengan mempertahankan keanggotaan. Petisi referendum ulang adalah indikasinya.
Jikapun dinamika didalam negeri tidak bisa dibendung, Inggris masih bisa memeloroti Uni Eropa pada saat perundingan pengaktifan pasal 50 Perjanjian Lisbon.
Jika dinamika yang berkembang tidak menguntungkan Inggris, Inggris bisa saja bermanuver melalui beberapa anggota Uni Eropa agar proposal pengunduran inggris tidak ditindaklanjuti dan Inggris tetap dalam status Quo, menjadi anggota Uni Eropa.
Uni Eropa seharusnya yang menyadari sejak dini, bahwa Inggris tidak akan pernah memberikan peluang bagi Uni Eropa untuk membangun hubungan yang setara. Inggris tetap memiliki ambisi untuk mengontrol Eropa, sekaligus menangguk keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari keanggotaan di Uni Eropa.
Uni Eropa-lah yang harus berinisiatif segera menendang Inggris keluar dari Uni Eropa, ketimbang menunggu Manuver Politik Inggris untuk memeras dan mempecundanginya lebih dalam. [].
*Abu Jaisy al Aslary*