Oleh: Arief B. Iskandar
Al-Iman yazid wa yanqus (Iman bertambah dan berkurang). Demikian sabda Baginda Nabi Muhammad saw., sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Baihaqi dan Ibn Hibban dari penuturan Abu Hurairah ra.
Dalam kitab Fath al-Bari li Ibn Rajab (I/5) dalam bab Al-Iman disebutkan, bahwa iman bertambah saat kita sedang mengingat Allah SWT sekaligus takut kepada-Nya. Sebaliknya, saat kita lalai dan lupa kepada Allah SWT berarti iman kita berkurang.
Dikatakan juga oleh sebagian ulama, iman bertambah dengan ketaatan kita kepada Allah SWT, dan bekurang karena kemaksiatan kita kepada-Nya.
Terkait hadis di atas, dalam suatu kesempatan Imam ats-Tsauri menyampaikan bahwa beliau selama lima bulan tidak mampu mengerjakan qiyamul-lail. Menurut ats-Tsauri hal itu disebabkan karena dosa yang beliau kerjakan. Saat Imam ats-Tsauri ditanya mengenai dosa itu, beliau menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki menangis, sedangkan aku berkata dalam hati bahwa laki-laki ini menangis dalam rangka riya.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum ad-Din, IV/239).
Dari kisah di atas bisa diambil pelajaran bahwa perbuatan dosa bisa membuat seorang berat melakukan amal-amal shalih, di antaranya shalat malam. Kisah itu juga menunjukkan betapa pekanya Imam ats-Tsauri terhadap amalan hati. Karena amat pekanya, beliau memandang dosa su’uzhan sebagai sebuah perkara yang amat besar. Beliau memandang bahwa hal itulah yang menyebabkan beliau tidak mampu melaksanakan shalat malam.
Shalat malam adalah salah satu ibadah sunnah yang utama. Meski sunnah, shalat malam telah menjadi tradisi para ulama salafush-shalih. Namun demikian, amal dakwah—karena merupakan kewajiban setiap Muslim—tetap saja lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah, termasuk shalat malam. Maka dari itu, jika shalat malam yang sunnah saja sudah menjadi tradisi di kalangan ulama salaf, apalagi amal dakwah mereka, tentu tidak perlu dipertanyakan lagi.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini? Jangankan yang sunnah seperti shalat malam, sebagian kita bahkan masih banyak yang meninggalkan amal dakwah. Padahal boleh jadi, ada yang sudah lama menjadi bagian dari sebuah harakah dakwah dan sering dijuluki sebagai aktivis dakwah. Boleh jadi semua itu karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa kita, baik dosa kecil seperti su’uzhan, melihat aurat wanita, dll; apalagi dosa besar seperti melakukan transaksi ribawi, misalnya. Inilah di antaranya yang membuat kita malas berdakwah termasuk melaksanakan amalan-amalan sunnah seperti shalat malam.
Sayangnya, kebanyakan kita tidak seperti Imam ats-Tsauri yang memiliki kepekaan spiritual yang tinggi. Kebanyakan kita tidaklah peka terhadap dosa-dosa kecil, bahkan kadang-kadang terhadap dosa-dosa besar. Akibatnya, kita pun tidak merasa bahwa kelalaian kita dalam amal dakwah ataupun amalan-amalan sunnah seperti shalat malam adalah akibat dari dosa-dosa dan kemaksiatan kita.
Karena itu, jelas penting bagi setiap pengemban dakwah untuk sejauh mungkin menghindari dosa, baik yang kecil apalagi yang besar.
Dalam hal ini, tampaknya kita perlu belajar banyak kepada para ulama salafush-shalih terdahulu. Salah satunya kepada Imam Abdurrahman, salah seorang ulama Syafiiyah yang terkenal dengan sifat wara’-nya.
Sebagaimana pernah diceritakan oleh istri beliau yang bernama Khurrah binti Abdurrahman as-Sinjawi, Imam Abdurrahman bertahun-tahun tidak memakan nasi. Hal itu karena penanaman padi membutuhkan banyak air, sedangkan amat sedikit petani saat itu yang tidak melakukan kezaliman terhadap yang lainnya demi untuk mengairi lahannya (Thabaqat asy-Syafiiyah al-Kubra, V/102).
Imam Abdurrahman memilih menghindari memakan nasi karena kemungkinan ia dihasilkan dengan didukung kezaliman. Pasalnya, di wilayah yang ditinggali Imam Abdurrahman di Marwa, air bukan sesuatu yang mudah diperoleh hingga tidak heran jika para petani melakukan berbagai macam cara untuk memperoleh air untuk mengairi sawah mereka.
Kita pun harus belajar kepada Imam Abu Hanifah yang sangat khawatir memakan daging kambing hasil curian. Dikisahkan bahwa beliau pernah menahan diri tidak memakan daging kambing sekian lama sejak mendengar bahwa di kampungnya ada seekor kambing dicuri. Beliau menahan diri untuk tidak memakan daging kambing selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati (Ar-Raudh al-Faiq, hlm. 215).
Demikianlah sifat wara’ Imam Abu Hanifah dalam hal menjaga diri dari memakan yang haram atau syubhat.
Dengan sikap wara’ para ulama yang demikian hebat, tentu tidak aneh jika mereka adalah orang-orang yang senantiasa bersemangat dalam melakukan amal-amal shalih, tidak bermalas-malasan.
Imam Abu Fath al-Baghdadi dan murid-murid beliau adalah salah satu contohnya. Imam Abu Fath al-Baghdadi adalah seorang ulama mazhab asy-Syafii yang merupakan murid Imam al-Ghazali. Beliau dikenal sebagai ulama yang menyibukkan diri pada malam hari dengan ilmu. Bahkan saat ada sekelompok pencari ilmu datang untuk meminta waktu belajar Ihya’ Ulum ad-Din beliau mengatakan, “Saya sudah tidak punya waktu untuk kalian.”
Akhirnya, mereka berusaha memberikan alternatif waktu. Namun, Imam Abu Fath menyatakan, “Itu waktu saya mengajar pelajaran si fulan.”
Para pencari ilmu itu tidak patah semangat. Mereka masih mencari celah waktu Imam Abu Fath. Akhirnya, ditemukan juga waktu dimana Imam Abu Fath bisa mengajar mereka, yakni pada tengah malam (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, 6/30).
Demikian besar semangat Imam Abu al-Fath dalam menebarkan ilmu. Demikian kuat pula semangat para pencari ilmu waktu itu untuk belajar meskipun pada tengah malam.
Bagaimana dengan kita yang masih malas-malasan menghadiri halaqah atau majelis ilmu? Bagaimana pula kita yang masih ogah-ogahan mengamalkan dan mendakwahkan ilmu?
Jangan-jangan, selama ini kita terlalu banyak berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Itulah yang menjadi sebab utama kita acap kehilangan gairah dalam melakukan amal-amal shalih, baik hadir di dalam halaqah atau majelis ilmu, melakukan kontak dakwah, termasuk menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti shalat malam, berzikir, membaca al-Quran dan sebagainya.
Semoga saja tidak demikian.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. []