Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menghentikan silat lidahnya di ranah publik, dan segera melangkah ke jalur hukum terkait dua skandal korupsi besar, pembelian lahan RS Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta, yang patut dapat diduga melibatkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias A Hok.
Hal ini disampaikan koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB.) Adhie M Massardi kepada wartawan di Jakarta siang ini (22/6).
Menurut Adhie, kalau pimpinan KPK yang sekarang ini memahami logika korupsi yang sebenarnya sederhana, dan tidak bermain api (politik), dua skandal korupsi yang terindikasi melibatkan A Hok ini dengan mudah lekas diproses dan dibawa ke pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi).
Adhie menjelaskan, ada tiga unsur penting dalam tipikor: (1) memperkaya diri, (2) memperkaya/menguntungkan orang lain, dan (3) menyalahgunakan jabatan/kewenangan.
“Fakta yang ada di KPK dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta sudah sempurna. Memenuhi ketiga unsur korupsi di atas. Ada penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemerintahan provinsi DKI. Ada pihak lain (pengembang) yang diuntungkan. Ada suap (memperkaya diri), salah satu anggota DPRD DKI M Sanusi yang tertangkap KPK dalam OTT.”
“Gubernur DKI mungkin tidak (langsung) menerima uang sebagai imbalan atas kebijakan yang diberikan kepada pengembang. Tapi imbalan atau suap bisa dalam bentuk lain. Misalnya, temuan adanya aliran dana puluhan milyar rupiah untuk tim suksesnya (Teman A Hok). Itu sudah cukup sebagai indikasi keterlibatannya.”
“Apalagi kalau nanti juga terbukti ada aliran dana dari para pengembang Teluk Jakarta ke parpol-parpol yang tiba-tiba mendukung pencalonan A Hok sebagai kandidat gubernur DKI pada pilgub 2017,” tambahnya.
Sedangkan dalam skandal pembelian lahan RS Sumber Waras oleh pemprov DKI, menurut jubir presiden era Presiden Gus Dur ini, persoalannya lebih sederhana lagi. Yakni, A Hok menggunakan uang negara lebih dari Rp 750 milyar untuk membeli tanah (guna kepentingan negara) tapi bukan kepada pemilik yang sebenarnya (Yayasan Tjandra Naya).
“Karena terdapat kejanggalan secara kasat mata itulah KPK meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Persis seperti prosesbailout Bank Century, BPK juga mengkonfirmasi kecurigaan KPK dengan beberapa temuan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang yang buntut-buntutnya merugikan keuangan negara dan memperkaya orang lain.”
“Makanya, KPK versi Agus Rahardjo ini akan tampak konyol bila kemudian malah membantah dan menyalahkan temuan BPK. Apalagi kemudian membawa hal ini ke ranah publik sebagai polemik dan perdebatan.”
“Lha, kalau demikian, lalu apa dasar KPK ketika meminta BPK lakukan audit investigas? Ini konyol. Kalau kita biarkan, bisa menjadi seperti skandal besar rekayasa bailout Bank Century yang kasusnya kini dikubur di KPK,” kata Adhie geram.
Adhie Massardi meminta KPK tidak main-main dalam dua kasus ini. Harus segera diproses, sebelum Ibukota betul-betul menjadi “kawasan politik yang panas” sehubungan digelarnya pilgub 2017.
“Jangan sampai KPK digunakan untuk menyandera A Hok, sehingga apabila kelak terpilih kembali menjadi Gubernur DKI bisa dikendalikan sehingga mudah memberikan berbagai perijinan kepada si penyandera. Ini yang terjadi pada periode kedua pemerintahan SBY terkait skandal bailoutBank Century.”
“Agus Rahardja Cs di KPK harus menyadari bahwa penyanderaan pemimpin dengan kasus-kasusnya sesungguhnya adalah penyanderaan atas seluruh rakyat Indonesia. Karena yang dijadikan pertaruhan adalah harta, masa depan, harkat dan martabat bangsa Indonesia,” pungkas Adhie Mssardi.