Belajar dari Konflik Sudan Selatan (Jangan Lepas Papua!)

sudan-selatanOleh: Umar Syarifudin – Syabab HTI (pengamat politik Internasional)

Pada Kamis lalu (7/7), bentrokan sengit berkecamuk antara pasukan setia yang setia kepada Presiden Kiir dan Machar di sekitar Istana Presiden di Jubat dan meluas ke permukiman di sekitarnya dan tempat lain di dekat bandar udara. Pada Ahad (10/7), PBB melaporkan penggunaan mortir, granat berpeluncur roket dan senjata-berat serangan darat, dan satu hekikoter bermeriam juga dilaporkan di sekitar Juba.

Juru Bicara Machar James Gardet Dak dilaporkan menuduh tentara pemerintah sebagai penyebab pertempuran. “Pasukan kami diserang di Pangkalan Jebel,” kata Dak, sebagaimana dilaporkan Xinhua. Ia merujuk kepada serangan yang telah digagalkan.

Al-Bashir mendesak kedua pihak dalam konflik di Sudan Selatan agar menahan diri dan menghentikan pertempuran yang meletus pekan lalu di Ibu Kota Sudan Selatan, Juba, demikian laporan Kantor Berita Sudan, SUNA. Al-Bashir mengeluarkan pernyataan selama percakapan telepon dengan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan Wakil I Presiden Riek Machar.

Sedikitnya 50.000 orang telah tewas dalam perang saudara selama dua tahun di Sudan Selatan, kata seorang pejabat senior Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Rabu (02/03/2016). Jumlah tersebut meningkat lima kali lipat menurut laporan yang diberikan lembaga-lembaga kemanusiaan pada beberapa bulan awal konflik.

Perselisihan politik antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya, Riek Machar, memicu perang pada Desember 2013 yang telah membuka kembali perseteruan kesukuan antara kelompok etnis Dinka yang mendukung Kiir dan orang-orang Nuer yang mendukung Machar.

Sebuah panel PBB yang memantau konflik di Sudan Selatan untuk Dewan Keamanan menyatakan pada Januari bahwa Kiir dan Machar masih benar-benar bertanggung jawab atas pasukan mereka dan karena itu secara langsung menyalahkan mereka karena membunuh warga.

Sudan Selatan, sebuah negara yang baru lahir dari upaya Amerika untuk mengontrol pasokan minyak yang besar di negara itu dan memberikan Israel akses ke benua Afrika untuk memenuhi kebutuhan minyak dan keamanannya, namun negara ini dengan cepat jatuh ke dalam jurang kekacauan.

Terlepas dari superioritas militer Amerika dan kapasitasnya untuk menghasilkan bantuan miliaran dolar, Amerika memiliki catatan buruk dalam hal membangun negara. Petualangan Amerika ke Somalia, Afghanistan, Irak, Libya dan negara-negara lain hanya meninggalkan jejak kehancuran dan kekecewaan terhadap kebebasan dan demokrasi. Sudan Selatan hanyalah salah satu dari negara-negara bentukan Amerika yang gagal.

Ini adalah bukti bahwa Amerika tidak bisa membangun negara atau menstabilkan negara yang diserangnya melalui diplomasi atau usaha politik. Semakin lama hal ini berlanjut, keunggulan militer Amerika semakin sia-sia dalam upaya mengubah keuntungan medan perang menjadi tawar-menawar politik, yang dapat dimanfaatkan oleh para politisi Amerika untuk menerapkan solusi politik yang bisa lebih bertahan lama. Tapi mungkin, yang lebih merusak daripada kegagalan Amerika untuk membangun negara itu adalah persepsi bahwa Amerika tidak bisa menyelesaikan pekerjaan yang dilakukan yakni bahwa Amerika berhasil dengan baik dalam hal menggulingkan rezim-rezim yang berkuasa, tidak lebih dari itu.

Latar belakang berbagai konflik Sudan selatan adalah rekayasa politik Amerika. Tahun 2011 Amerika merekayasa negara yang mirip dengan negara Yahudi di daerah itu. Dengan berdirinya Sudan Selatan maka dibentuklah koalisi erat dengan negara Yahudi dan mulai bertukar kunjungan diatara keduanya serta mengikat kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan negara Yahudi memberi pengarahan kepada negara Sudan Selatan sesuai yang diinginkan khususnya melawan Sudan.

Indonesia bisa menelan buah simalakama dari isu Papua, jika tidak belajar dari kasus lepasnya Selatan Sudan melalui referendum. Karena  atas nama keadilan ekonomi dan demokrasi, HAM, dan etno-nasionalism (menentukan nasib sendiri) bukan tidak mungkin Papua menuntut referendum. Mengingat AS telah menjadikan Papua salah satu basis kepentingan ekonomi domestiknya, begitu juga potensi geopolitiknya. Ditambah banyaknya instrumen Barat dengan lebel LSM/NGO ikut bermain, itu semua akan menjadi sandungan bagi pemerintah Indonesia untuk menjaga kedaulatan NKRI, ditambah lagi sadar atau tidak bahwa selama ini pengelolaan wilayah-wilayah negeri yang ada dalam Indonesia masih banyak ketimpangan dan kekurangan. Dan ini memberikan amunisi bagi kelompok penggiat referendum makin lempang jalannya. Terakhir, mereka para pemangku kebijakan Negara Indonesia ini seolah “amnesia” bahwa salah satu akar masalahnya justru karena sistem demokrasi sekuler yang dijajakan Barat yang diadopsi.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*