Pantaskah Kita Ikut Merayakan Hari Raya

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Hari Raya adalah hari kemenangan, bagi siapa? Bagi siapa saja yang berhasil meraih takwa, setelah ditempa selama sebulan penuh. Karena takwa adalah hikmah di balik perintah berpuasa, maka tidak semua orang yang berpuasa bisa meraihnya. Itulah, mengapa Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الجُوْعُ وَالْعَطْشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga.” [HR. An-Nasa’i, Ibn Majah, ad-Darimi, al-Hakim]

Orang yang bertakwa itu, kata Sayyidina ‘Ali, adalah orang yang takut kepada Rabb yang Maha Agung [khauf min ar-Rabb al-Jalil]; menjalankan apa yang diturunkan oleh Allah [al-‘amal bi at-tanzil]; rela terhadap yang sedikit [ar-ridha bi al-qalil], dan bersiap diri untuk menghadapi Hari Penggiringan [isti’dad li yaumi ar-rahil], saat digiring di Padang Makhsyar, dan dimintai pertanggungjawaban satu per satu di hadapan Allah.

Dengan takwa yang ada di dalam dada, kita bisa menunaikan puasa sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Begitu juga dengan takwa, kita bisa mendirikan qiyam Ramadhan sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Dengan semauanya itu, Nabi pun menegaskan, bahwa dosa-dosa kita sebelumnya akan diampuni oleh Allah.

Tak hanya itu, selama Ramadhan, karena takwa di dalam dada, kita menghidupkan siang dan malamnya dengan ketaatan. Dengannya, kita pun berhasil memanen sebanyak-banyaknya amal shalih. Belum lagi, saat nilainya dilipatgandakan oleh Allah, sehingga keberkahannya mengalir deras. Terlebih, ketika kita berhasil mewujudkan misi-misi dan kerja-kerja besar di bulan yang agung dan mulia ini.

Wajar, jika karena semuanya itu, kita lantas merayakan Hari Raya Idul Fitri, untuk merayakan kemenangan dan kesuksesan kita. Kemenangan dan kesuksesan kita mengalahkan syaitan, musuh bebuyutan kita, baik syaitan Jin maupun Manusia, termasuk diri kita sendiri. Kita pun sukses menjaga diri kita dalam ketaatan, dan tak mencatatkan dosa atau maksiat. Karenanya, kesuksesan ini layak kita rayakan, sebagai Hari Raya kita. Sembari terus berikhtiar dan berdosa, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya.

Saat kita terus berikhtiar dalam ketaatan, sehingga ketika ajal menjemput kita, kita pun tetap istiqamah dalam ketaatan. Ini juga merupakan Hari Raya yang layak kita rayakan. Sembari terus berikhtiar, dan berdoa, memohon kepada-Nya, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya. Saat kita dibangkitkan dari kubur, dan mendapatkan catatan amal perbuatan kita, dan lolos mempertanggungjawabkan seluruh kata dan perbuatan kita di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Kita pun lolos, saat melintasi titian shirat, karena tak ada jaminan bagi siapapun untuk lolos darinya.

Sebagaimana firman Allah:

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا، كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

“Tak seorang pun di antara kalian, kecuali pasti menjadi santapan neraka. Hal itu bagi Tuhan-Mu merupakan keputusan yang pasti.” [Q.S. Maryam: 71]

Sesuatu yang membuat ‘Abdullah bin Rawwahah, Jenderal yang begitu garang saat menghadapi 100,000 tentara Romawi, itu menangis tersedu-sedu, ketika mendengarkan ayat ini. Saat dia tak bisa memastikan dirinya lolos atau tidak dari neraka. Maka, ketika kita melintasi titian shirat, dan lolos dari neraka, itu merupakan kemenangan dan keberhasilan kita, yang layak kita rayakan.

Setelah itu, kita pun bisa menginjakkan kaki kita di surga, sekaligus merayakan Hari Raya kita yang keempat. Setelah kita bisa memastikan, bahwa surga yang dijanjikan Allah itu dalam genggaman kita. Setelah kita berharap-harap cemas, sembari terus melaksanakan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan. Sesuatu yang mendorong para sahabat, siang-malam bekerja keras tak kenal lelah. Bahkan, membuat seorang Imam Ahmad tak kurang setiap malamnya, konon shalat hingga 1000 rakaat. Saat ditanya putranya, “Wahai Ayah, kapan Ayah akan beristirahat?” Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin kita bisa beristirahat, sementara surga di depan kita, belum kita gapai.” Maka, saat surga yang dirindukan itu pun benar-benar dalam genggaman, itu merupakan kemenangan yang layak kita rayakan.

Akhirnya, kita pun sampai para puncak Hari Raya, saat kita dikumpulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surga-Nya. Dalam kitab Raudhatu al-Muhibbin, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, mengutip hadits Nabi yang menuturkan, bahwa saat itu Allah bertanya, “Wahai hamba-hamba-Ku, adakah yang Aku janjikan kepada kalian belum Aku tunaikan?” Para penghuni surga itu pun menjawab, “Ya Allah, apa yang Engkau janjikan kepada kami, semuanya telah Engkau tunaikan. Kecuali, melihat wajah-Mu.” Maka, Allah pun titahkan kepada Jibril untuk membuka tabir-Nya. “Wahai Jibril, angkatlah tabir-Ku yang pertama.” Jibril pun mengangkat tabir-Nya yang pertama. Para penghuni surga itu pun menyaksikan cahaya-Nya yang begitu terang. Mereka pun membayangkan itulah Allah, lalu mereka bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang kedua. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampak bayangan yang lebih jelas. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang ketiga. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampaklah “wajah”-Nya. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Air mata mereka pun tumpah, pikiran mereka melayang, dan semua nikmat yang pernah mereka rasakan sirna, kalah dengan kenikmatan melihat “wajah”-Nya.

Itulah puncak Hari Raya, yang harus kita rayakan. Semoga kita bisa meraihnya, bukan hanya satu Hari Raya, tetapi kelima-limanya. Bukan hanya di dunia yang fana ini, tetapi juga di sana, negeri abadi, di Akhirat dan jannah-Nya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*