Pemimpin yang Kehilangan Rasa Takut

rasa takutOleh : Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)

Sedih, itu yang tentu kita rasakan saat medengar adanya korban yang meninggal saat melaksanakan perjalanan untuk mudik ke kampung halamannya, yakni yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Walaupun para pemimpin di negeri ini mengatakan bahwa penyebab meninggalnya para pemudik tersebut bukan karena terjebak macet, melainkan karena factor kesehatan, yakni penyakit yang diderita. Namun, sebagai pemimpin, seharusnya memiliki perasaan takut, jangan-jangan itu juga karena disebabkan kemacetan yang parah, sehingga menggangu psikologi yang semakin berdampak buruk khususnya bagi mereka yang memang sudah punya penyakit.

Benar, menjadi penguasa atau pemimpin (penjaga) itu tidaklah mudah, apalagi menjadi pemimpin  yang memimpin ratusan juta manusia, sungguh tidaklah mudah, karena masing-masing dari yang dipimpin -yakni rakyat- tentu memiliki pemahaman dan perilaku yang berbeda antar satu sama lain. Oleh karena amanah tersebut tidaklah mudah, maka seharusnya berfikir ribuan kali sebelum mengajukan diri untuk dipilih sebagai penguasa, atau ketika ditunjuk untuk menjadi penguasa.

Karena fungsi dari pemimpin salah satunya adalah menjaga yang dia pimpin. Termasuk dalam hal ini adalah menjaga nyawa dari rakyatnya.  Seorang pemimpin mungkin bisa merenungi apa yang pernah diucapkan oleh Umar saat menjadi pemimpin bagi umat Islam, Beliau pernah berkata “Sekiranya ada seekor keledai jatuh tergelincir di suatu jalan di Iraq, aku khawatir Allah akan meminta pertanggung jawabanku di hari akhir, kenapa aku tidak menyediakan jalan yang rata”

Kenapa Umar ra mengatakan itu? karena ia takut, dan sikap takut (al khauf) adalah esensi dari ketaqwaan kita kepada Allah swt. Terlebih sehabis melaksanakan ibadah shaum Ramadhan 1437H yang baru beberapa hari kita tinggalkan, bukankah taqwa itu tujuan dari ibadah puasa Ramadhan yang kita kerjakan? (lihat Al Baqarah : 183).

Benarlah apa yang pernah disampaikan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauzi yang hidup di abad ke-14 M bahwa “laisal ‘ied liman labisal jadid, wa innamal ‘ied liman tha’atuhu wa taqwahu tazid” (bukanlah berhari raya dengan pakaian baru, sesungguhnya berhari raya itu bagi orang yang ketaatan dan ketaqwaannya bertambah).

Juga apa yang pernah disampaikan oleh generasi sebelumnya yakni oleh Umar bin Abdul Aziz saat anak-anak perempuannya datang kepada beliau dan meminta pakaian baru untuk menyambut hari ‘Ied, sedangkan kita tahu bahwa Umar bin Abdul Aziz walaupun seorang khalifah tetapi sangat sederhana, maka beliau berkata:

لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعَيْدُ لِمَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ

“laisal ‘Ied, liman labisal Jadiid, Innamal ‘Ied liman khaafa yaumal wa’iid” (Hari raya itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru, Akan tetapi hari raya bagi mereka yang takut terhadap hari pembalasan)

Ya, al khauf atau rasa takut, itulah yang seharusnya semakin kita miliki saat keluar dari Ramadhan, khususnya rasa takut tersebut terlebih lagi dimiliki oleh setiap orang yang merasa dirinya adalah pemimpin.

Ketika ‘Umar bin al-Khatthab mendengar ‘Utsman bin al-‘Ash telah membawa rombongan orang mengarungi lautan, maka beliau berkomentar, “Dia membawa mereka, sementara antara mereka dengan laut itu hanya ada papan? Demi Allah, kalau sampai mereka celaka, aku akan tuntut diat mereka dari Tsaqif.” Bagi ‘Umar, tindakan ‘Utsman ini bentuk kelalaian, karena membawa rombongan naik perahu [kapal] yang tidak layak jalan.

Jangankan nyawa Muslim, yang oleh Nabi SAW disebut lebih berharga ketimbang hancurnya Ka’bah, bahkan terhadap hewan yang terperosok, ‘Umar pun takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Dari Salim bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar pernah memasukkan tangannya ke dubur unta, untuk memeriksanya, seraya berkata, “Aku sungguh sangat takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang menimpamu?” [as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hal. 110] Wallahu a’lam bisshowab.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*