Oleh: Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)
Berdasarkan data yang dihimpun dalam laporan bertajuk Education Under Fire, badan PBB yang menangani anak-anak (Unicef) menyebut 13,7 juta anak yang tak bersekolah mewakili 40% murid di Suriah, Irak, Yaman, Libia, dan Sudan.
Angka itu dikhawatirkan terus membengkak hingga mencapai 50% dalam beberapa bulan mendatang.
PBB pekan ini melaporkan sebanyak 3,6 juta anak Irak menghadapi risiko serius kematian, cedera, kekerasan seksual, penculikan dan perekrutan oleh kelompok bersenjata, naik 1,3 juta dalam 18 bulan. Satu dari lima anak Irak berada dalam kondisi bahaya, kata Dana Anak PBB (UNICEF) di dalam satu laporan yang berjudul “A Heavy Price for Children: Violence destroys childhoods di Irak”.
Laporan tersebut juga mengatakan 4,7 juta, atau sepertiga anak Irak, memerlukan bantuan kemanusiaan, sementara operasi militer di Fallujah dan Mosul mengakibatkan memburuknya kondisi hidup. Menurut laporan tersebut, 1.496 anak telah diculik di Irak dalam dua setengah tahun belakangan. Itu berarti 50 anak diculik setiap bulan, dan banyak anak dipaksa berperang atau menghadapi pelecehan seksual. Laporan itu mengatakan hampir 10 persen anak Irak telah dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat kekerasan sejak awal 2014, sering berulangkali.
Diantara keprihatinan yang ada, yang juga meliputi kurangnya perawatan dan layanan masyarakat miskin, ialah kurangnya pendidikan. Konflik telah membuat hampir satu dari lima anak tak bisa dimanfaatkan, dan membuat sebanyak 3,5 juta anak tidak bisa belajar.
Sesungguhnya ketika Amerika Serikat menduduki Irak secara brutal, Amerika menginginkan Irak sebagai basis Amerika Serikat, baik secara politik maupun militer untuk menguasai kawasan (Timur Tengah), dimana serangan-serangan militernya yang brutal itu tidak akan bisa dihalang-halangi, baik melalui otoritas maupun juridis, di dalam dan di luar negeri.
Inilah hasil kebiadaban negara teroris AS dan sekutunya di Irak. Atas nama demokrasi dan kebebasan merenggut hak hidup dan kebebasan orang lain. Hal ini membuktikan fakta bahwa demokrasi tidak menjadikan negeri Islam makmur dan damai, tapi menjadi perangkap negara penjajah.
Kaum Muslim hari ini terpecah belah dan lemah pada satu titik ketika Amerika dan sekutunya meluncurkan agresi terhadap satu negeri Muslim dan lainnya atas nama ‘perang melawan teror’. Tidak ada satu penguasa pun di dunia Muslim dengan gagah berani berpihak kepada Islam dan kaum Muslim.
Ingat, Irak adalah negeri yang dipenuhi oleh kekayaan dan sumber daya manusia. Cadangan minyak yang besar di Irak membuat air liur perusahaan minyak Amerika dan Inggris mengalir, serta yang membuatnya berambisi sekali memaksakan berbagai MoU untuk membuka pintu (penjarahan) secara legal.
Ingat, Irak sebagai benteng Islam. Akar Irak menancap dalam di kedalaman sejarah. Dari bumi ini, Nabi Ibrahim as. bertolak menyebarkan kebaikan di kawasan ini. Juga sejak penduduk Irak dalam naungan Khilafah Islam, mampu membebaskan dari dominasi Persia dan Romawi. Mereka pun menjadi singa yang menjaga perbatasan. Juga sejak Shalahuddin bertolak dari bumi ini untuk menggilas pasukan Salib dan mengusir mereka dari bumi yang diberkahi yaitu Palestina.
Kelompok-kelompok beragam di Timur Tengah, telah hidup tenang bersama ketika zaman kekhilafahan hingga agen penjajah Inggeris mulai menyusup di tengah-tengah umat, dan meracuni pemikiran mereka. Salah seorang yang paling terkenal dan juga menulis buku adalah Hempher. Dia menulis dalam sebuah bukunya, bahwa tujuan mereka adalah untuk memecahbelah umat tetapi mereka tidak berhasil, dan tanah ini masih bersatu dari Hari Revolusi abad ke 20 hingga hari ini. Kemudian setelah kejatuhan rezim Saddam, datanglah negara penjajah baru, yaitu Amerika yang dibantu oleh agen-agen mereka dari kalangan Kurdis, Arab dan juga non-Arab. []