Setelah voting keluarnya Inggris dari Uni Eropa, muncul berbagai pandangan mengenai dampak keluarnya Inggris terhadap masa depan Uni Eropa. Ada dua pandangan yang telah mendominasi panggung politik, namun keduanya bertentangan. Para pengikut pandangan pertama menyatakan dengan tegas bahwa tetapnya Inggris di Uni Eropa akan melemahkannya, yang pada akhirnya akan menyebabkan pada disintegrasinya. Sementara para pencinta euro berpendapat bahwa keluarnya Inggris akan mendorong negara-negara anggota lainnya untuk mewujudkan persatuan lebih kuat, yang akan membuat Uni Eropa semakin kuat, besar dan berpengaruh.
Mereka yang percaya bahwa Eropa tanpa Inggris akan menjalani kehidupan yang lebih baik, mungkin mereka benar, karena Inggris merupakan anggota Uni Eropa yang suka berselisih, dan hanya peduli untuk melindungi kepentingannya sendiri, sekalipun sikapnya itu melemahkan Uni Eropa. Namun, mungkin keluarnya Inggris—jika itu benar-benar dilakukan—akan menyebabkan disintegrasi Uni Eropa, karena Uni Eropa mengalami keretakan yang dalam, yang cukup untuk menghancurkan proyek Uni Eropa.
Perdebatan di Uni Eropa berjalan secara permanen antara memberikan kedaulatan negara nasional atas kedaulatan negara kebangsaan. Sedangkan krisis keuangan yang melanda dunia pada 2008, terpuruknya euro, penyelamatan Yunani, intervensi Rusia di Ukraina, dan bencana pengungsi baru-baru ini, maka semua peristiwa ini memperlihatkan kerapuhan proyek Eropa, karena ada sebagian besar rakyat Eropa yang marah atas intervensi kepemimpinan Uni Eropa di Brussels terkait urusan mereka, bahkan mereka melakukan mobilisasi untuk mendapatkan kembali kedaulatannya. Namun para elit Uni Eropa tidak lupa dengan fakta-fakta ini, di mana Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker mengatakan: “Saya yakin bahwa salah satu alasan mengapa warga Eropa menolak proyek Eropa adalah kenyataan bahwa kita mengintervensi dalam banyak bidang kehidupan pribadi mereka.” Namun demikian, para elit tidak memiliki selain satu solusi, yaitu mendorong integrasi yang lebih besar antara negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya mengapa membatasi suara Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, sementara negara-negara lainnya tengah bersiap untuk melakukan hal yang sama, masyarakat di Perancis, Belanda, Austria, Finlandia dan Hungaria sangat besar kemarahannya terhadap Uni Eropa, dan mereka sangat ingin untuk meninggalkannya.
Lalu ada kepemimpinan politik yang lemah, yang menyelesaikan semua krisis dengan cara yang sama, yang selalu mengarah pada kelumpuhan dan kekacauan, karena proses pengambilan keputusan politik di Brussels adalah musuh besar stabilitas, dan cara yang tidak konsisten yang ditempuh oleh Brussels dalam mengatasi masuknya pengungsi dari Suriah telah membuat marah negara-negara anggota, sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dengan birokrasi politik Uni Eropa. Yunani memperingatkan bahwa gagalnya Uni Eropa—sebagai satu kekuatan—dalam mengatasi krisis pengungsi akan mengancam kelangsungan hidupnya. Ada banyak peringatan serupa atas berbagai krisis lainnya. Semua ini menegaskan bahwa Uni Eropa gagal mengendalikan peristiwa, sehingga mendorong rakyat Eropa untuk menuntut pemberlakuan kontrol politik mereka yang lebih besar pada urusan mereka sendiri. Bahkan, itu menjadi alasan untuk pembentukan Uni Eropa secara ekonomi, sehingga membutuhkan kekuatan pengaruh politik yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Keburukan intoleransi nasionalisme, dan kembalinya ke era pra-modern, akan mengancam dengan merusak proyek Eropa, sehingga di mana-mana kita melihat, bahwa rakyat Eropa asli memperlihatkan sikap kebencian terhadap orang asing dari berbagai negara, terlepas dari mana mereka datang. Insiden olahraga yang diselenggarakan oleh Eropa mengubah zona euro pada 2016 menjadi sarang chauvinisme berlebihan (keyakinan ultra-nasional), di mana para fans Eropa melakukan pertempuran jalanan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tampak bahwa setelah tujuh puluh tahun Eropa dalam damai sejak 1945, tampaknya telah lupa dengan sejarah Eropa.
Dan saat ini ada faktor penghancur Eropa yang lebih besar dari faktor yang mempersatukannya. Gerakan-gerakan kebangsaan yang membawa pada rasisme dan xenofobia, serta Islamophobia tengah menyebar di seluruh benua, sehingga ini menimbulkan pertanyaan kapan Uni Eropa akan runtuh?
Akan tetapi, mungkin yang paling menarik dari semua perkembangan ini, dan yang membuat goncangan (shock), adalah desakan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa, di mana tampak sikap (Erdogan) yang tidak paham dalam konteks kemungkinan keluarnya Inggris dan kembalinya chauvinisme berlebihan di negara-negara Uni Eropa. Dan yang lebih penting lagi, adalah tidak adanya apa yang diberikan Uni Eropa ke Turki, terlepas dari besarnya rasa takut terhadap Islam. Dan (Erdogan) sendiri telah menyatakan penyesalannya untuk itu, di mana ia berkata: “Eropa tidak ingin kita untuk bergabung dengannya, karena kita adalah Muslim.” Jadi, mengapa Turki terus mendesak untuk bergabung ke Uni Eropa?
Kain kafan Uni Eropa telah dipersiapkan. Sedang perdamaian panjang yang dinikmati oleh Eropa selama beberapa dekade ternyata ia sedang di atas ranjang kematian. Dan ia yakin bahwa akan pecah perang berskala luas di benua. Amerika juga khawatir tentang hilangnya salah satu penyanggah konsep neo-liberalnya, di mana Amerika juga kekuatan lain yang tengah menuju nasib serupa, berupa disintegrasi dalam masyarakatnya. Sementara waktu telah menjadi matang untuk mereka yang ingin mengisolasi Amerika dari arena internasional, dan menghasut rakyat berbagai warna untuk melawan kaum rasis kulit putih. Kenyataan inilah yang tampaknya akan terjadi di tahun-tahun mendatang.
Begitu juga, saat ini merupakan waktu yang sangat tepat untuk mendirikan negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah, di mana tegaknya Khilafah secara alami sesuai dengan situasi internasional saat ini. Apalagi, eksploitasi Rusia untuk situasi internasional ini menyebabkan lemahnya ekonomi, sedang kebingungan Cina dan keengganan untuk memimpin dunia mencegah mereka dari menangkap kesempatan ini. Oleh karena itu, satu-satunya kandidat yang dapat mengambil keuntungan dari situasi internasional adalah umat Islam, di mana umat Islam dengan negara Khilafahnya yang dapat mengakhiri intervensi kekuasaan kolonialisme di negeri-negeri Islam selamanya.
﴿وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (TQS. Yusuf [12] : 21) [Abdul Majib Bahati – Pakistan]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 11/7/2016.