Oleh: Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)
Nasionalisme adalah faham yang diduga kuat sebagai penyebab runtuhnya Khilafah Islam yang kala itu berpusat di wilayah Turki, yakni kekhilafahan Turki ustmaniyah. Menurut Ahmad Zain, sebagaimana yang dipublikasikan dalam situsnya1, bahwa bermula dari munculnya berbagai propaganda ke arah Nasionalisme Thoriah, yang dipelopori oleh Partai Persatuan dan Pengembangan, mereka memulai gerakannya dengan men-Turki- kan Daulah Utsmaniah di Turki.
Untuk menopang dakwahnya ini, mereka menjadikan serigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam) sebagai syiar dari gerakannya tersebut.
(Muhammad Muhammad Husain, Ittijahat Wathoniyah, juz: 2, hal. 85)
Partai ini dipimpin oleh Ahmad Ridho dan berpusat di Paris.
Usaha-usaha yang dilakukan partai ini antara lain:
- Membuka cabang-cabang di Berlin, Salonik, dan Istambul.
- Menerbitkan majalah “ANBA”. Majalah tersebut disponsori gerakan Masuniah di Paris.
- Menyebarkan paham Nasionalisme Thouroniah dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan Barat di negara Turki.
- Menyebarkan rasa permusuhan dengan bangsa Arab, diantaranya dengan adanya usaha untuk mencopot kementrian Wakaf, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian Luar Negeri, yang waktu itu dipegang oleh orang-orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki.
- Berusaha membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja. (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid dan Khilafah Utsmaniah, hal. 174)
Gerakan itu membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Iraq, dan Hijaz.
Bermula dari pelataran bumi Syam, fanatisme ini berkembang dan membesar. Fanatisme ini bertujuan untuk menumbangkan khilafah Utsmaniah yang dipegang oleh orang Turki. Lebih ironis lagi, fanatisme ini dikendalikan oleh orang-orang Nasrani Libanon, yang telah terbina dalam pendidikan Barat. Diantara para tokohnya adalah Faris Namir dan Ibrahim Yasji.
Gerakan fanatisme arab ini didorong lebih jauh lagi oleh Negib Azoury, seorang kristen pegawai pemerintahan Utsmani di Palestina. Ia berhasil menerbitkan buku “Le Revell de la nation arabe”. Di dalam bukunya tersebut, ia mengutarakan gagasannya untuk membuat suatu arab empire yang mempunyai batas-batas alami, yaitu: lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Lautan Tengah. Gagasan ini jelas akan mendorong lebih cepat terciptanya separatisme wilayah arab dari kekuasaan Turki Utsmani. (Azyumardi Azra, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modem)
Agar penyebaran fanatisme ini lebih aman dan mendapat dukungan, mereka menggunakan nama Jam’iyah sebagai kedok.
Jam’iyah ini bergerak di dalam bidang keilmuan dan kesenian dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan mempromosikan budaya-budaya barat di negara-negara Arab.
Dalam waktu dua tahun saja, Jam’iyah ini mampu merekrut 50 anggota dari kalangan Nasrani semuanya. Jam’iyah ini mendukung penuh gerakan Protestan yang berada di wilayah Syam.
Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia I, kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari khilafah Utsmaniah, mereka ingin mendirikan “Khilafah Arabiyah” sebagai tandingannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Inggris untuk memporak-porandakan kekuatan Islam.
Eropa mengerti betul bahwa perpecahan antara Arab dan Turki akan mengakibatkan kekuatan Islam lemah, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Abduh :
“ Sesungguhnya bangsa Arab mampu untuk mendepak orang-orang Turki dari kursi kekhalifahan, akan tetapi bangsa Turki tidak rela begitu saja. Apalagi waktu itu bangsa Turki mempunyai kekuatan militer yang tidak dimiliki oleh pihak lain, dengannya mereka akan menyerang dan membunuh bangsa Arab. Maka apabila kedua kekuatan itu melemah, Eropalah yang menjadi kuat –mereka sudah lama menunggu antara pertarungan umat Islam tersebut-, kemudian berusaha untuk menguasai kedua bangsa tersebut atau salah satunya yang terlemah. Padahal waktu itu bangsa Arab dan bangsa Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa itu, jelas akan melemahkan kekuatan Islam sekaligus merupakan jalan pintas menuju kehancurannya.” (Dr. Muhammad Imaroh, Al-Jam’iyah Al-Islamiyah wal Fikroh Al-qoumiyah, Daar Assyuruq 1414-1994, hal. 53, 54)
Mengetahui yang demikian, diutuslah “Laurence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan “Laurence Arab”. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan khilafah Utsmaniah di Turki, tentunya di bawah bimbingan dan arahan Lorence Arab ini.Tentara-tentara Arab berkumpul dan bersatu dengan kekuatan-kekuatan asing.
Jauh-jauh sebelum persekongkolan untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniah itu dilakukan, Inggris telah menjanjikan Syarif Husain, pembesar Makkah waktu itu, apabila khalifah Utsmaniah jatuh maka Syarif Husain akan menjadi kholifah pengganti.
Namun kenyataannya, setelah rencana itu berhasil dan perang telah usai, seperti kebiasaannya, Inggris menyelisihi janjinya, dua perwakilan yang diundang Syarif Husain dalam acara penyerahan kekuasaan yang diadakan di Jeddah tak mau hadir, bahkan pada waktu itu Inggris membuka kartu yang selama ini disimpan.
Ternyata tiga negara besar telah berkolusi untuk membagai wilayah Khilafah Utsmaniah pada perjanjian rahasia antara Inggris, Perancis, dan Rusia.
Pada waktu itu juga, Musthafa Kamal sang pengkhianat itu, berhasil merebut tampuk kepemimpinan dari keluarga Utsmaniah. Tampaknya hal itu telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya, yaitu ketika Ia memimpin gerakan Kamailun, yang melakukan aktifitasnya di bawah tanah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari gerakan Masuniah Internasional. (Dr. Jamal Abdul Hadi, Al-Mujtama’ Al-Islamy Al-Mu’ashir, Al-Wafa’, juz I, hal. 59)
Puncaknya pada muktamar “Luzone”, yang akhirnya, Musthafa Kamal menerima 4 syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki. Ke-empat syarat itu adalah :
- Menghapus sistem khilafah.
- Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan.
- Memproklamirkan berdirinya negara sekuler.
- Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
(Mahmud Syakir, Tarikh Islam, juz: 8, hal. 233)
Pada waktu itu secara resmi, “The SickMan” telah tumbang, setelah enam abad lamanya berkuasa.
Pasca runtuhnya Khilafah, Turki kemudian memproklamirkan diri sebagai negara demokratik-sekuler, wilayah-wilayah lain pun kemudian memproklamirkan diri menjadi negara, padahal dulu merupakan wilayah dari kekhilafahan Turki Utsmaniyyah, hingga kemudian terbentuk lebih dari 50-an negara yang menjadi negeri-negeri kaum Muslim.
Ada dua hal, yang kemudian menjadi akibat dari terpecahnya Umat Islam menjadi negeri-negeri Muslim tersebut. Pertama, menurut Ismail Yusanto2, bahwa kondisi ini tentu saja membuat umat menjadi sangat lemah. Selain tidak mampu menjaga ’izz al-Islâm wa al-Muslimîn, mereka juga gagal membendung setiap pengaruh buruk yang datang dari luar, di antaranya:
- Makin kokohnya penjajahan dalam berbagai bentuknya, baik di lapangan ekonomi (melalui pemberian utang utang luar negeri dan sebagainya), di bidang politik (melalui paham sekularisme, demokrasi, HAM dan sebagainya), maupun di bidang budaya (melalui budaya Barat yang permisif) dan sebagainya.
- Terjadinya pertikaian antar negeri Muslim akibat perbedaan kepentingan dan politik devide et impera. Misalnya antara Iran–Irak, Indonesia-Malaysia, atau antara Irak dan Kuwait.
- Lemahnya kekuatan umat dalam menghadapi musuh. Nasionalisme membuat negeri-negeri Muslim sulit bersatu sehingga tidak mampu menghadapi musuh. Penyerbuan AS atas Irak berlangsung begitu saja tanpa sedikitpun bisa dicegah oleh negeri-negari Muslim.
Kedua, akan mengakibatkan Umat Islam memiliki pemahaman bahwa usaha untuk menyatukan kaum Muslim kembali menjadi satu wilayah, satu kepemimpinan adalah mustahil, karena melihat banyaknya negara-negara yang harus disatukan. Mereka beranggapan tidak mungkin atau mustahil bisa menyatukan Umat Islam tersebut yang tidak hanya terpecah-pecah berada di lebih dari 57-an negara, namun juga jumlahnya yang sekarang lebih dari 1,6 Milyar3.
Tentu ini adalah sebuah pemahaman yang keliru sekaligus berbahaya. Dikatakan keliru karena tolak ukur sebagai seorang Muslim adalah Al Qur’an dan As Sunnah, bukan fakta atau realitas. Bukan menjadikan fakta atau realitas sebagai sumber hukum untuk menghukumi atau membenarkan pemahaman yang diadopsi. Berbahaya karena jika pemahaman ini telah menjangkit, maka Umat akan semakin terjauhkan dari perjuangan penegakan Khilafah tersebut.
Point kedua ini yang masih sedikit disadari oleh Umat Islam, dan ini adalah agenda tersembunyi Barat saat menciptakan negeri-negeri kaum Muslim pasca runtuhnya Khilafah, bukan hanya untuk membuat umat Islam menjadi lemah karena tidak bersatu di dalam satu negara dan kepemimpinan, namun juga agar kelak Umat Islam kemudian menjadikan realitas atau fakta untuk membenarkan apa yang mereka anggap mustahil tersebut. Akibatnya, masih banyak kaum Muslim akan enggan untuk ikut serta dalam rangka menegakan kembali system Khilafah tersebut, karena menganggap hal tersebut adalah mustahil dapat terwujud. Dan inilah yang telah terjadi sekarang. wallahu a’lam bisshowab[]
Catatan kaki :
- http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/246/bab-iii-nasionalisme-dan-runtuhnya-khilafah-islamiyah/
- http://hizb-indonesia.info/2007/08/01/nasionalisme-penyebab-utama-kehancuran-khilafah/
- https://www.youtube.com/watch?v=nnYkdwda5Qk&list=PL9B2CF110F3F4FCAE&index=1 (lihat menit ke 1:26)