Belum lama ini Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei bahwa tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden Jokowi. Dalam paparan survey, SMRC menyimpulkan responden yang puas dengan kinerja Jokowi mencapai 67 persen, dan yang kurang atau tidak puas sebesar 30 persen.
Survei yang digelar pada 22-28 Juni 2016 di ambil dari sampling 34 provinsi yang diambil dengan metode wawancara tatap muka terhadap 1.027 responden yang mempunyai hak pilih. Disebutkan Margin of error dalam survei ini rata-rata 3,1% dengan tingkat kepercayaan 95%. Dilihat dari Prosentase margin of eror dan tingkat kepercayaan, bisa diklaim hasil survey dapat dipercaya.
Dalam rinciannya Kinerja pemerintah Jokowi yang dinilai paling mengalami kemajuan adalah pembangunan jalan-jalan umum (71%), dan membuat pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas yang terjangkau (61%).
Sebanyak 48% warga menilai Jokowi semakin baik dalam menyediakan obat-obatan terjangkau, 10% menilai semakin buruk. Kemudian 46% menilai semakin baik dalam membuat sekolah umum lebih baik dan 8% menilai semakin buruk.
49% warga menyatakan pemerintahan Jokowi untuk membangun jalan umum lebih baik daripada setahun lalu, sementara yang menyatakan semakin buruk 8%. Kinerja dalam menangani terorisme sebanyak 47% warga menilai kinerja Jokowi semakin baik, sementara 9% responden menilai lebih buruk. Dalam menekan korupsi sebanyak 30% menilai semakin baik, dan 24% semakin buruk.
Untuk penanganan narkoba, sebanyak 44% menilai Jokowi semain baik dan 18% menilai kinerja Jokowi semakin buruk. Dalam pemerataan kesejahteraan sebanyak 30% menilai semakin baik dan 15% semakin buruk. Sebanyak 47% warga menyatakan kinerja Jokowi untuk membangun kesetaraan semakin baik dari tahun lalu, sementara yang menyatakan semakin buruk 6%.
Adapun beberapa masalah yang dianggap kinerja Jokowi kurang memuaskan adalah dalam hal membuat harga pokok terjangkau, 26% menilai lebih baik, dan 29 menilai lebih buruk, 44% menilai sama saja.
Menyediakan lapangan pekerjaan, sebanyak 21 persen menilai lebih baik namun 34% menilai semakin buruk. Mengurangi pengangguran, 17% menilai semakin baik tapi 34% menilai semakin buruk. Dalam hal mengurangi jumlah orang miskin, sebanyak 21% menilai semakin baik dan 35% menilai semakin buruk.
Jika dilihat dari jumlah responden, maka Surveyor hanya melibatkan 1.207 responden yang memiliki hak pilih, dari total Daftar Pemilih Tetap pada Pilpres 2014 sebanyak 190.307.134 orang (kpu.go.id). Artinya, survey hanya mewakili sekitar 0,0005 % dari total rakyat yang memiliki hak pilih. Belum lagi jika dikomparasi dengan jumlah total penduduk dengan jumlah lebih dari 250 juta jiwa, yang sejatinya juga memiliki hak untuk menilai kinerja pemerintahan sekaligus merasakan langsung kebijakan yang diterapkan penguasa.
Pemilihan sampling dan responden dilakukan dengan Methode tertentu, meskipun secara akademis dapat dipertanggungjawabkan, tetapi secara teknis dapat diterapkan kepada orang-orang yang diinginkan. Andai saja 1.207 adalah relawan Jokowi yang tersebar di 34 provinsi, maka hasil yang diperoleh tentu lebih fantastis.
Hanya saja dalam sebuah survey dibutuhkan pembenaran dan rasionalisasi, oleh karenanya pastilah dalam survey selain memajang keberhasilan kinerja juga tidak luput memotret beberapa pengecualian-pengecualian sekedar sebagai pemanis dan pelengkap.
Dalam realitasnya boleh jadi survey menampilkan hasil yang sesungguhnya, hanya saja hasil jawaban dari responden sangat berpotensi dibangun berdasarkan citra bukan berangkat dari fakta.
Sebagaimana diketahui, opini dan persepsi publik sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya. Saat media sudah menjadi “Salon Kekuasaan”, maka yang nampak dimata rakyat adalah wajah-wajah keberhasilan Pemerintahan.
Wajah-wajah bopeng kekuasaan telah tertutup dengan masker, dipermak, dipercantik dengan bedak dan riasan media, sehingga nampaklah wajah kekuasaan yang cantik, telah siap untuk menghadiri hajat dan kondangan rakyat.
Pada saat itu, rakyat yang melihat wajah kekuasaan hanya berdasarkan persepsi media, rakyat yang tidak mampu mencerap dan mengindera fakta, rakyat yang berdiri disudut asing dengan serius menatap media, akhirnya berkesimpulan betapa manis dan indahnya wajah kekuasaan.
Dalam demokrasi, media adalah pilar untuk membangun persepsi dan citra. Perlindungan dan pengayoman yang dilakukan untuk memperoleh sanjungan, untuk mereguk pujian, sekaligus menguatkan keyakinan bahwa kekuasaan berdiri tegak bersama rakyat, merasakan apa yang dirasakan rakyat dan menjadi bagian dari rakyat, bisa dilakukan oleh media.
Maka tidak mungkin ada Blusukan tanpa pemberitaan, tidak ada empati tanpa hadirnya televisi, tidak ada perhatian tanpa kehadiran wartawan. Semua dilakukan untuk dan atas nama pencitraan, untuk memenangi dan menentramkan hati rakyat, untuk menyumbat lubang-lubang suara pengkritik kedzaliman agar terkubur bersama sepinya pemberitaan.
Hakekat pemimpin dan kepemimpinan telah jauh dari pemikiran rakyat. Kepemimpinan sejati tulus berangkat dari pemahaman kewajiban atas pelayanan dan tanggung jawab atas tindakan. Bukan hanya dipertanggungjawabkan dihadapan pemilu atau Pilpres, bukan sekedar untuk mempertahan kekuasan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan dihadapan Ilahi Rabbi sekaligus untuk mempertahankan diri dan berlindung dari siksaan api neraka.
Maka dapat kita saksikan, Rasulullah SAW melayani seorang Yahudi buta meski Yahudi tersebut selalu mencela beliau. Beliau memahami sebagai kepala negara Islam yang memiliki kewajiban melayani seluruh warga negara Islam, baik muslim maupun ahludz dzimah. Beliau menunaikan kewajiban, tanpa memandang agama, tanpa menghiraukan celaan.
Kita juga dapati Umar bin Khatab yang berjalan dikegelapan malam, memeriksa seluruh rakyatnya untuk memastikan tidak ada lagi hak rakyat terhadap penguasa yang terabaikan. Kita ketahui, bagaimana beliau yang mulia dengan punggungnya sendiri memanggul gandum dan dengan tangannya sendiri memasak untuk melayani seorang wanita dan anaknya yang kelaparan, warga negaranya, tanpa menyebutkan diri beliau seorang Amirul Mukminin dihadapan wanita itu.
Tidak ada pemberitaan, tidak ada wartawan, tidak ada yang ikut blusukan, bahkan cerita ini pun diketahui kaum muslimin jauh setelah beliau wafat. Barulah sahabat menuturkan kisah tersebut, para muhadisin mengabadikannya dalam tulisan kitab sebagai peninggalan untuk kita jadikan pelajaran.
Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Umar Bin Khatab RA, Ali Karomallahu Wajhah, Umar bin Abdul Azis, dan seluruh Khalifah terdahulu memahami benar hakekat memimpin dan kepemimpinan. Mereka sadar, pertanggungjawaban bukan hanya didunia tetapi juga di yaumul hisab kelak.
Memimpin bukan memainkan citra dan mempertahankan citra agar tetap langgeng di kursi kekuasaan. Melayani rakyat bukan untuk memperoleh simpati, yang dengannya dijadikan saham untuk mempertahankan kekuasaan. Memimpin adalah melayani rakyat karena Allah SWT, dimana setiap hak yang ditunaikan, setiap kewajiban yang diselenggarakan, setiap sanksi yang diputuskan, setiap kebijakan yang dikeluarkan, semuanya semata-mata karena mengharap Ridlo Allah SWT.
Dan pemimpin sejati yang demikian, hanya ada pada sistem Khilafah. Dalam sistem demokrasi, kita hanya akan mendapati pemimpin yang hanya mengedepankan pencitraan. [].
Abu Jaisy al Askary