“Jadi kalau menurut saya Santoso tidak bisa disebut teroris dan memang UU negara tidak membuat definisi tentang teroris, inilah yang kita godok di RUU terorisme ini,” ujar Syafii.
Dor! Akhirnya buronan nomor satu di Poso tersebut tewas di tembak satgas Operasi Tinombala yang memang khusus untuk memburunya, Santoso namanya, setelah sekian lama dikejar akhirnya Kapolri Jendral Tito Karnavian memastikan bahwa yang jasad yang ditembak adalah Santoso. Keluarga Santoso pun membenarkan bahwa yang ditembak adalah Santoso.
Namun ada yang menarik dari kisah lelaki yang dituduh teroris tersebut, jasadnya disambut dan diiringi oleh ribuan pelayat yang datang untuk mengikuti prosesi pemakamannya, gemuruh suara takbir pun berkumandang mengiringi jasad pemimpin Mujahidin Indonesia Timut (MIT). Bahkan ada yang membentangkan spanduk bertuliskan “Selamat Datang Syuhada Poso” dan proses pemakaman dipimpin oleh Ustad Adnan Arzal, tokoh agama Pondok Pesantren Amanah Kabupaten Poso.
Melihat peristiwa tersebut timbulah pertanyaan dari publik termasuk Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii. Benarkah Santoso teroris berbahaya? Lantas kenapa Santoso disambut bak pejuang saat pemakamannya? Karena kalau melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti terorisme adalah tindak kejahatan yang menimbulkan rasa takut di masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu terutama di bidang politik.
“Jadi kalau menurut saya Santoso tidak bisa disebut teroris dan memang UU negara tidak membuat definisi tentang teroris, inilah yang kita godok di RUU terorisme ini,” ujar Syafii.
Karena menurutnya, tindak kejahatan mana yang membuat masyarakat takut? “Anda lihat video yang beredar di Internet? Bagaimana masyarakat justru menyambut dan bersimpati? Melihat kejadian tersebut bagaimana bisa dia bisa disebut teroris?” ungkapnya kepada wartawan Media Umat.
Syafii menilai, yang memberi cap Santoso teroris adalah polisi saja. “Kita harus ingat, pada akhir tahun 90 Muslim Poso disana dibantai, dan dianiaya tanpa ada pembelaan negara. Kemudian Muslim Poso mencoba bangkit lalu melakukan perlawanan, eh pas aparat datang malah dituduh sebagai teroris, mungkin Santoso bagian dari perlawanan itu,” tandasnya.
Berbeda dengan perlakuan negara terhadap OPM yang jelas membunuhi aparat, membakar markas polisi, lalu membuat teror kepada masyarakat di sana dan mengancam untuk memisahkan diri dari Indonesia, tapi hingga sekarang pemerintah belum menetapkan OPM sebagai teroris, lantas ada apa? Seolah-olah negara mempunyai standar ganda.
Menjawab hal tersebut Syafii menjelaskan di negara Indonesia ini ada Undang-Undang yang kental sekali terhadap kepentingan asing dan sama sekali bukan untuk kepentingan bangsa dan segenap negara.
“Ada satu pasal yang menyatakan apabila kita atau Anda membantu kemerdekaan sebuah daerah di luar Indonesia maka kita akan disebut teroris, tapi kalau ada warga Indonesia yang meminta senjata pada negara asing, politik negara asing, untuk membebaskan diri dari negara asing Anda tidak disebut teroris,” ungkapnya.
Terlihat jelas dalam pasal tersebut bukan untuk negara Indonesia tapi untuk negara Asing, dan menunjukkan standar ganda dalam hal terorisme.
Syafii menambahkan definisi terorisme yang diambil pemerintah selama ini berkiblat ke Amerika, semua yang tidak sepaham dengan Barat maka akan disebut teroris.
“Definisi terorisme Barat/Amerika adalah semua yang bertentangan dengan kebijakan mereka,” tutupnya.[] fatih /joy