Reshuffle Kabinet Jilid II : Hak Prerogratif Presiden? Sebuah Ilusi Menuju Kesejahteraan Rakyat

reshuffle kabinet jokowiSebagian orang yang meyakini demokrasi sebagai jalan Pemerintahan, jalan untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan rakyat, berharap Reshuffle kabinet kerja Jilid II dapat memberikan dampak bagi kinerja kabinet pemerintahan Jokowi – JK.

Secara legal formal sesuai wewenang yang diberikan konstitusi, pengisian nama jabatan menteri -termasuk penggantiannya- berada dalam otoritas Presiden. Presiden memiliki hak eksklusif (prerogratif) menentukan siapa saja nama menteri yang akan membantu Pemerintahan di kabinet.

Presiden sesuai konstitusi bertindak sebagai direktur dalam kabinet yang dipimpinnya. Presiden menentukan nama-nama pembantu dari kalangan para menteri sekaligus memimpin para menteri untuk menggerakan roda pemerintahan.

Namun pada faktanya, Presiden dalam sistem demokrasi di negara manapun, baik sistem Presidensial maupun Parlementer, tidak sepenuhnya memiliki otoritas dan wewenang untuk mendudukkan orang-orang selaku menteri dalam pemerintahan.

Pada kabinet kerja Jokowi – JK jilid I, nampaklah nama-nama menteri yang muncul berasal dari dua jalur utama.

Pertama,  para menteri yang berasal dari jalur politik. Yakni, orang-orang yang diberi mandat partai untuk menduduki jabatan kementrian, sebagai bagian kompensasi partai karena telah mengantarkan Presiden pada posisinya.

Pada kabinet kerja jilid I, posisi menteri mayoritas dikuasai koalisi partai pendukung Jokowi-JK saat Pilpres (Koalisi Indonesia Hebat). Praktis, menteri-menteri yang berasal dari jalur parpol di dominasi menteri-menteri dari PDIP, Nasdem, PKB dan HANURA. Menyusul manuver PPP yang merapat ke Pemerintah, yang kemudian mendapat kompensasi menempatkan kadernya di kementrian agama.

Partai rival pemerintahan yang menamakan diri sebagai Koalisi Merah Putih, tidak mendapat jatah sedikitpun duduk di kursi kekuasaan menteri, tetapi mendominasi parlemen dengan memenangkan jabatan struktur pimpinan dan alat kelengkapan di DPR RI.

Kedua, para menteri yang berasal dari kaum profesional. Terminologi kaum profesional sebenarnya juga tidak sepenuhnya tepat untuk menggambarkan menteri dari jalur ini. Menteri jalur profesional tidak sepenuhnya dipilih berdasarkan pertimbangan kapasitas dan profesionalisme semata. Namun yang lebih dominan adalah mereka yang merupakan representasi Presure group dari kepentingan non partai, baik mewakili group pengusaha tertentu, kelompok buruh, kepentingan asing yang biasa mendominasi kementrian ekonomi dan keuangan.

Pada jalur profesional Presiden pun sebenarnya memiliki peran yang sama persis, sebagaimana pada kasus menteri jalur parpol. Presiden tidak berdaya -untuk membubuhkan stempel- pada menteri yang telah disodorkan Presure group dan Stake holders di meja kerjanya.

Pada Reshuffle kabinet Jokowi-JK jilid I, pola pemilihan dan penggantian nama menteri mengikuti pola penempatan menteri pada tahap awal. Semua dikendalikan partai, Presure group dan para Stake Holder.

Sebenarnya Parpol dalam sistem demokrasi, tidak sepenuhnya memiliki otoritas untuk menentukan menteri -berdasarkan keberlakuan AD dan ART parpol-, akan tetapi lagi-lagi parpol juga dikendalikan pihak yang lain, pihak lain ini tidak lain adalah kaum pemodal (Kapital).

Kaum pemodal baik dari internal parpol maupun eksternal parpol, sesungguhnya yang memiliki wewenang penuh untuk mengutus petugas partai menjadi menteri dalam rangka menjaga dan mengamankan bisnis yang mereka kelola.

Bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis kekuasaan, para pemodal menyadari ini. Melalui petugas partai yang berhasil ditempatkan di Pemerintahan, para pemodal dapat menangguk kentungan dengan menjadi pihak selaku mitra pemerintah yang mendapatkan konsesi untuk melaksanaka proyek-proyek pemerintahan dengan keuntungan yang sangat menggiurkan.

Sampai disini sesungguhnya kita dapat memahami bagaimana peran dan fungsi Presiden secara faktual dalam menyusun dan mengelola kabinet. Presiden tidak memiliki wewenang apapun, sampai pada tahap menolak debu menerpa wajahnya, melainkan ia hanya dapat melaksanakannya. Sampai disini pula, pernyataan Megawati Soekarno Putri yang menyebut Jokowi sebagai Petugas Partai, memiliki relevansi.

Reshuffle Kabinet Kerja Jilid II

Jika kita perhatikan Reshuffle kabinet kerja jilid II, nama-nama menteri yang muncul mengikuti pola penetapan menteri pada Reshuffle jilid I dan penetapan awal menteri kabinet kerja. Presiden nyaris hanya memberikan legalitas dan stempel kepada para menteri yang menduduki jajaran kabinet kerja jilid II.

Pada jalur parpol, kita saksikan partai Golkar dan PAN mendapat jatah menteri setelah kedua partai ini merapat mendukung Pemerintah. Beberapa menteri yang di rotasi juga menunjukan, betapa kekuatan Presure group dan Stake Holder sangat berpengaruh dalam rotasi jabatan menteri.

Demikian juga dari jalur profesional dengan masuknya salah satu menteri era SBY kembali menduduki jabatan menteri keuangan, mengkonfirmasi kekuatan partai dan kelompok kepentingan menentukan jabatan menteri.

Baik mereka yang berasal dari jalur parpol maupun jalur profesional, keduanya juga sama-sama berada dalam kendali kekuatan modal. Modal-lah yang menentukan, karena saham-saham kekuasaan yang telah mereka berikan pada proses demokrasi.

Pilpres membutuhkan dana, pemilu juga demikian, Pilkada juga tidak jauh berbeda. Menjadi anggota DPR butuh anggaran, menjabat kursi Presiden juga ditopang oleh uang, sehingga praktis menuju kursi menteri kurang lebih juga sama.

Dalam demokrasi ada hajatan rutin yang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Partai dan caleg membutuhkan uang untuk biaya kampanye. Mencetak bendera partai butuh uang, membuat baliho besar bahan kampanye butuh uang, mencetak kaos dan spanduk butuh uang, membuat stiker dan kartu nama butuh uang, membuat pagelaran dan konser dangdut butuh uang, mengutus saksi untuk mengamankan suara saat pemilu butuh uang, semuanya yang terkait dengan demokrasi membutuhkan uang (baca: modal).

Dari sinilah para kapitalis yang memiliki akses atas modal, memborong saham-saham kekuasaan dengan membiayai partai dan caleg, termasuk capres untuk memenangkan kontestasi. Atas saham yang ditanam, pastilah ada imbal baliknya. Tidak ada makan siang gratis dalam sistem demokrasi.

Maka siapapun yang telah memenangi kontestasi politik, tugas pertama dan yang utama baginya adalah mengabdi dan merealisir kepentingan para pemodal yang telah membiayainya. Ia  juga harus menyiapkan akses dari kue kekuasaan, sebagai bagian kompensasi untuk para pendukung dan relawannya. Ia juga harus menyiapkan tahapan demi tahapan, untuk mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki.

Lantas, adakah rakyat dalam benak para pemimpin demokrasi ? Tentu saja ada. Posisi rakyat adalah sebagai dalih pembenaran untuk melayani para majikan pemilik modal. Proyek pembangunan infrastruktur untuk rakyat, padahal ia sedang memberikan proyek pada para cukong yang membekinginya. Tax Amnesty untuk menambal devisit APBN, padahal ia sedang melegalkan aset haram penyandang dana pemilu. Bantuan jembatan dan listrik untuk rakyat, padahal ia sedang melayani kontraktor yang ngambek tidak kebagian proyek. Begitulah dan seterusnya.

Dengan demikian, secara kasat mata dan dengan pemahaman sederhana, kita semua dapat menyimpulkan bahwa Reshuffle kabinet jilid II Jokowi-JK, tidak akan memberikan dampak apapun bagi kesejahteraan rakyat, kecuali bagi para pemilik modal dan pemangku kepentingan.

Sampai disini, sekiranya rakyat belum sadar -harus segera membuka mata dan Fikiran- untuk segera memahami hakekat demokrasi yang rusak dan segera serta merta mencampakkannya. Demokrasi tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang amanah, yang taat kepada Allah SWT dan mengabdi kepada rakyat. Demokrasi hanya melahirkan para pemimpin penghamba dunia yang tunduk pada kekuasaan kapital.

Sudah saatnya umat ini segera berjuang menegakkan Khilafah, agar Allah SWT turunkan pemimpin yang amanah, taat kepada syariat, mengabdi dan melayani umat. [].

 

Abu Jaisy al Askary

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*