KH Shiddiq al-Jawi: Isu Toleransi Beragama Menyerang Islam dan Syariahnya


Pengantar Redaksi:
Istilah toleransi dalam kehidupan beragama terlanjur dianggap istilah yang positif. Dalam batas-batas tertentu mungkin iya. Namun, dalam perkembangannya akhir-akhir ini, istilah toleransi ternyata dibajak oleh kalangan sekular-liberal sekadar menjadi alat yang digunakan untuk menyerang Islam dan kaum Muslim. Mengapa begitu? Apa alasannya? Apa pula efek dari propagandakan tolerenasi beragama bagi Islam dan kaum Muslim? Lalu bagaimana sebetulnya Islam mendudukkan toleransi beragama di hadapan para pemeluk agama lain?Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Ketua DPP HTI, KH Shiddiq al-Jawi di seputar isu dan wacana toleransi beragama. Ustadz, apakah penggunaan istilah toleransi terlihat sering merugikan Islam dan umat Islam?

Ya, sering. Misalnya pada saat Perayaan Natal, banyak para pejabat Muslim bahkan termasuk Presiden, yang menghadiri acara perayaan Natal dengan alasan toleransi. Padahal bagi seorang Muslim, turut merayakan peringatan Natalan hukumnya haram. Mengapa? Karena turut serta merayakan Natalan bagi seorang Muslim adalah perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffâr) yang telah diharamkan Islam. Rasulullah saw. telah bersabda dalam hadits riwayat Abu Dawud, “Man tasyabbha bi qawm[in] fahuwa minhum.” Artinya, siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.

Jadi seharusnya, dalam hal Natalan ini, toleransi pejabat pemerintah yang Muslim cukup ditunjukkan dengan membiarkan kaum Nasrani merayakannya, yaitu tidak melarangnya, bukan turut serta merayakannya. Kalau toleransi diartikan turut merayakan, berarti istilah toleransi sudah melampaui batas, sudah sesat dan menyesatkan. Jelas ini merugikan Islam dan umat Islam.

Apa saja contoh kasus toleransi yang digunakan untuk menghambat Islam?

Kasusnya banyak. Selain perayaan Natal oleh pejabat Muslim tadi, masih ada kasus Kristenisasi, Ahmadiyah dan LGBT. Dalam pandangan Islam, tiga hal tersebut adalah sesuatu yang haram dan mungkar. Seorang Muslim tidak boleh membiarkan atau memberikan toleransi terhadap tiga fenomena tersebut di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim di Indonesia. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Muslim, “Man ra’a minkum munkar[an] fal-yughayyirhu biyadihi, fa in lam yastathi’ fabilisânihi fa in lam yastathi’ fa-biqalbihi wa dzâlika adh’aful îmân.” Artinya, siapa saja yang menyaksikan suatu kemungkaran, hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika dia tak mampu, ubahlah dengan ucapannya. Jika tak mampu juga, ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.

Itulah sabda Nabi saw. yang mewajibkan perubahan atas kemungkaran. Artinya, tidak boleh ada toleransi yang tujuannya membiarkan atau melestarikan kemungkaran.

Namun sekarang, atas nama toleransi, umat Islam dipaksa membiarkan kemungkaran-kemungkaran itu. Kristenisasi, yang berarti upaya pemurtadan orang Islam untuk menjadi orang Kristen, didiamkan saja oleh pemerintah. Ahmadiyah yang memurtadkan orang Islam karena meyakini ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. juga didiamkan oleh Pemerintah.

LGBT juga demikian. Walau jelas-jelas haram, dan menjijikkan tentunya, tetap ada sebagian umat Islam yang mendukung LGBT atas nama toleransi.

Walhasil, dengan istilah toleransi, suatu kemungkaran yang mestinya diubah atau dihilangkan, malah dibiarkan, dilestarikan dan terus eksis. Ini jelas menghambat Islam.

Ada beragam alasan untuk membenarkan toleransi model itu. Misal, untuk keharmonisan masyarakat, kita harus menghormati agama lain, kelompok lain. Tidak boleh satu ajaran mendominasi. Masyarakat negeri ini beragam bukan hanya Islam. Menurut ustadz, bagaimana?

Begini. Sebenarnya yang berkembang saat ini adalah toleransi model Barat, bukan toleransi ala Islam. Toleransi Barat ini latar belakang kemunculannya adalah konflik antara agama Katolik dan Protestan dalam masyarakat Barat pada era Reformasi, kira-kira abad ke-16 Masehi. Menurut Prof. Muhammmad Ahmad Mufti dalam kitabnya Naqdu at-Tasâmuh al-Librâli (Kritik Terhadap Toleransi Liberal), ide toleransi Barat didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok: sekularisme (al-lâdiniyyah), relativisme (an-nisbiyyah) dan pluralisme-demokrasi (at ta’addudiyah wa ad dimuqrathiyyah).

Sekularisme menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya toleransi. Sebabnya, kalau agama campur tangan dalam urusan masyarakat, yaitu negara menggunakan suatu agama untuk mengatur masyarakat, maka yang terjadi adalah dominasi satu agama atas agama lain. Dominasi satu agama ini tidak akan dapat dihentikan, kecuali dengan jalan memisahkan agama dari negara.

Relativisme menjadi konsekuensi logis sekularisme. Relativisme merupakan pandangan bahwa kebenaran masing-masing agama itu relative. Tidak ada kebenaran sebuah agama yang absolute. Karena itu tidak boleh ada pemaksaan suatu keyakinan agama kepada penganut agama lain. Pandangan ini tak mungkin ada, kecuali setelah ada sekularisme, yaitu setelah agama dipisahkan dari urusan negara.

Adapun pluralisme-demokrasi, merupakan cara pandang liberal terhadap kemajemukan masyarakat baik kemajemukan secara agama, politik, budaya, dan asal usul, sedemikian sehingga masing-masing kelompok dianggap mempunyai hak legal untuk eksis di tengah kemajemukan yang ada.

Nah, dengan memahami tiga ide dasar itu, kita bisa menjelaskan dan mendudukkan berbagai alasan yang sering dipakai untuk menjustifikasi toleransi ala Barat yang ada saat ini. Misalnya kalau dikatakan toleransi perlu agar “tidak boleh satu ajaran mendominasi”, ini berarti akar idenya adalah relativisme agama. Kalau dikatakan bahwa “harus menghormati agama lain” atau “masyarakat ini beragam bukan hanya Islam” maka akar idenya adalah pluralisme-demokrasi. Demikiran seterusnya.

Bagaimana pandangan Islam terhadap ide-ide yang mendasari toleransi ala Barat tersebut?

Ketiga ide tersebut tidak relevan untuk umat Islam dan sekaligus bertentangan dengan Islam. Saya katakan tidak relevan dengan umat Islam karena tiga ide tersebut lahir dalam konteks sosio-historis masyarakat Eropa yang Kristiani, yaitu lahir pada Era Reformasi Gereja abad ke-15 dan ke-16 Masehi. Saat itu terjadi konflik antara raja yang berkolaborasi dengan agamawan Katolik, melawan kelompok reformasi dari golongan Protestan, seperti kelompok Martin Luther King. Jadi ide toleransi Barat itu sungguh tidak lahir dari rahim sejarah umat Islam yang berpegang pada akidah dan syariah Islam. Maka dari itu, menerapkan ide toleransi Barat yang didasarkan pada tiga ide tadi, yaitu sekularisme, relativisme dan pluralisme-demokrasi, jelas tidak relevan sama sekali dengan umat Islam. Kalau toleransi ala Barat itu tetap diterapkan di tengah masyarakat Muslim, jelas itu suatu bentuk pemaksaan, atau tepatnya penjajahan, yang justru paradoks dengan semangat toleransi yang selalu digembar-gemborkan Barat. Wong mau menerapkan ide toleransi kok malah melalui jalan pemaksaan, lalu di mana toleransinya?

Selain tak relevan dengan umat, tiga ide tersebut juga bertentangan dengan Islam itu sendiri. Sekularisme bertentangan dengan Islam, karena Islam tidak mengenal pemisahan agama dari Negara. Sebaliknya, Islam mempunyai sistem pemerintahan yang diwajibkan Islam atas umat Islam, yaitu Khilafah. Relativisme juga bertentangan dengan Islam, karena al-Quran menyatakan dengan penuh ketegasan, bahwa hanya agama Islam sajalah yang benar dan diridhoi Allah (QS Ali Imran [3]: 19). Pluralisme-demokrasi juga bertentangan dengan Islam. Pasalnya, meski Islam mengakui kemajemukan (pluralitas) sebagai realitas empirik, misalnya manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (QS al-Hujurat: 13), Islam berbeda secara fundamental dengan demokrasi dalam hal cara pandang dan pengaturan atas kemajemukan masyarakat. Dalam demokrasi, pengaturan kemajemukan dijalankan menurut hukum buatan manusia, bukan menurut hukum suatu agama tertentu. Sebaliknya, dalam Islam, kemajemukan masyarakat diatur hanya dengan syariah Islam semata.

Apakah penggunaan toleransi selama ini dilakukan dengan standar ganda? Seperti apa bisa diberikan contohnya?

Memang, kalau saya cermati, toleransi di Indonesia diterapkan dengan standar ganda. Tidak ada standar tunggal yang baku dan diterapkan dalam segala keadaan secara adil. Celakanya, standar ganda tersebut banyak merugikan Islam dan umat Islam. Misalnya, saat Nyepi di Bali, umat Islam yang tidak merayakan Nyepi dipaksa untuk tidak beraktivitas seharian penuh, dengan alasan toleransi. Jadi standarnya adalah, “pihak minoritas menghormati agama mayoritas”. Anehnya, pada saat bulan Ramadhan, ada seruan agar “yang berpuasa harus menghormati yang tidak berpuasa”. Ini benar-benar logika aneh bin ajaib, karena seharusnya standarnya adalah “pihak minoritas menghormati agama mayoritas”. Mestinya, “yang tidak berpuasa menghormati yang puasa.” Jadi terbukti toleransi di Indonesia mempunyai standar ganda, yaitu standar pertama “pihak minoritas harus menghormati agama mayoritas” seperti kasus Nyepi di Bali. Lalu standar kedua, “pihak mayoritas harus menghormati yang minoritas” seperti kasus seruan Ramadhan tadi. Ini gila, bukan?

Contoh lain standar ganda toleransi adalah kasus penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta, yaitu hapusnya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Umat Islam sering dipuji sudah bersikap toleran dengan menerima penghapusan tersebut. Padahal jelas penghapusan itu merugikan Islam dan umat Islam. Alasan penghapusan saat itu, sebagaimana disebut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Piagam Jakarta, karena “ada golongan non-Islam dari Indonesia Timur yang tidak setuju dan akan memisahkan diri kalau tujuh kata itu tidak dihapus.” Ini sungguh aneh karena berarti standarnya adalah “golongan mayoritas harus bersikap toleran terhadap golongan minoritas.” Bukankah standarnya seharusnya “golongan minoritas harus bersikap toleran terhadap golongan mayoritas”? Bukankah seharusnya bangsa Indonesia Timur yang non-Islam itu yang justru toleran terhadap kewajiban menjalankan syariah Islam itu?

Apakah di balik penggunaan toleransi itu ada phobia Islam, phobia syariah dan stigma negatif terhadap Islam?

Oh, jelas sekali itu. Penjelasannya begini. Tadi sebelumnya sudah saya jelaskan, bahwa toleransi yang ada sekarang adalah toleransi ala Barat, bukan toleransi yang islami. Maka dari itu, tiga ide pokok yang menjadi dasar toleransi Barat yakni sekularisme, relativisme dan pluralisme-demokrasi sudah pasti menjadi asumsi atau anggapan dasar untuk toleransi saat ini walau sifatnya implisit. Nah, karena landasan toleransi saat ini adalah sekularisme, maka wajar kalau mereka sangat anti terhadap Islam atau syariah atau Khilafah. Mengapa? Karena semua itu jelas akan dianggap bertentangan dengan prinsip sekularisme. Demikian juga karena toleransi yang ada sekarang asasnya adalah relativisme, maka para penganjur toleransi walaupun orang Islam, tidak akan mungkin menganggap Ahmadiyah adalah suatu penyimpangan atau kemungkaran. Mengapa demikian? Karena para penganjur toleransi itu memandang jika Ahmadiyah dianggap menyimpang dari ajaran Islam, berarti itu bentuk pemaksaan agama kepada kaum Ahmadiyah. Begitu juga karena landasan toleransi sekarang adalah pluralisme-demokrasi, yang mengharuskan pengaturan kehidupan berdasar aturan non agama, maka wajar kalau para penganjur toleransi menjadi phobia terhadap syariah.

Jadi, yang menjadi masalah adalah, ide toleransi yang ada sekarang adalah toleransi ala Barat yang liberal, yang didasarkan pada sekularisme, relativisme, dan pluralisme-demokrasi, yang ujung-ujungnya akan membawa pada sikap anti terhadap Islam.

Bagaimana Islam mengatur keragaman dan mengatur non-Muslim dan agama selain Islam?

Dalam hal pengaturan keragaman atau kemajemukan masyarakat, secara garis besar ada dua ketentuan syariah Islam. Pertama: Jika yang diatur itu umat Islam, maka yang menjadi aturan adalah syariah Islam. Maka dari itu, umat Islam harus tunduk kepada syariah Islam dalam segala hal yang terkait dengan kehidupan mereka, misalnya adat-istiadat, bahasa, cara berbusana, kesenian, perkawinan, makanan, dan sebagainya.

Kedua: Jika yang diatur adalah umat non-Islam seperti penganut Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, dan sebagainya, maka aturan yang diterapkan ada dua macam. Jika menyangkut kehidupan umum, misalnya dalam bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya, maka umat non-Islam harus tunduk kepada syariah Islam. Adapun jika menyangkut kehidupan pribadi, seperti agama, ibadah, makanan, pakaian, dan perkawinan, maka umat non-Islam dibolehkan menjalankan agamanya masing-masing. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam. WalLâhu a’lam. []

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*