Menyoal Toleransi


Untuk Kualitas Puasa yang Super, Hormati Orang yang Tidak Puasa. Demikian isi salah satu spanduk yang terbentang di salah satu sudut jalan pada bulan Ramadhan 1437 H lalu. Spanduk tersebut kemudian menjadi ramai bahkan menjadi viral perbincangan, apalagi di dunia maya.
Mereka yang setuju terhadap isi spanduk tersebut berdalih, bahwa orang yang berpuasa itu tidak butuh penghormatan manusia apalagi sampai berharap dirinya untuk dihormati. Jadi, tidak perlu harus ada kata-kata, “Hormatilah orang yang sedang berpuasa.” Bagi mereka justru puasa yang super itu adalah ketika orang yang sedang berpuasa menghormati mereka yang tidak berpuasa. Ini bagi mereka adalah salah satu bentuk toleransi yang harus dijaga.

Sekilas memang terdengar logis, masuk akal. Orang yang berpuasa harus bisa menahan diri saat melihat ada orang yang tidak berpuasa sedang makan atau minum. Dengan menahan hawa nafsu tersebut, kualitas puasanya menjadi lebih baik, atau super menurut istilah yang mereka gunakan.

Namun, bagi seorang Mukmin, ini adalah kemungkaran yang nyata, yang tidak boleh dibiarkan. Kemungkaran tersebut haruslah dicegah. Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah kaum yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Seruan toleransi pun mulai disuarakan. Apalagi ditambah dengan peristiwa penggrebekan warung Bu Saeni beberapa waktu lalu di Pasar Rau, Kota Serang, Banten oleh Satpol PP. Peristiwa penggrebekan warung makan Bu Saeni terus diberitakan oleh media hingga menampilkan kesan Saeni yang teraniaya atas tindakan satpol PP tersebut. Hasilnya, imbauan untuk menumbuhkan toleransi terus diserukan banyak tokoh, bahkan termasuk para penguasa di negeri ini. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, berkomentar, “Yang tidak puasa menghormati orang puasa. Yang puasa juga tetap hormati yang tidak puasa,” kata Kalla (Kompas.com,12/06/2016).

Bahkan Presiden Jokowi memberikan bantuan uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu Saeni.

Toleransi semacam ini adalah toleransi yang keliru dan terbalik. Harusnya, yang tidak berpuasa menghormati mereka yang sedang berpuasa dengan cara tidak makan minum secara terang-terangan di tempat umum. Sebagaimana pada saat berlangsung shalat, mereka yang tidak shalat harus menghormati mereka yang sedang shalat dengan cara tidak membuat suasana berisik sehingga bisa mengganggu kekhusyukan mereka yang sedang shalat.

Makna Toleransi

Toleransi merupakan kata yang berasal dari Barat. Secara bahasa, toleransi berasal dari kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).

Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi yang berasal dari kata toleran. Kata ini mengandung arti: bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kata toleransi ini kemudian dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam, termasuk kaum Liberal yang ada di Indonesia. Kaum Liberal selalu menjadikan kebebasan sebagai fokus utama mereka, sebagaimana paham liberal yang mereka anut, yakni kebebasan tanpa batas yang menerjang norma-norma agama. Tema sentral yang biasa mereka usung ialah pemisahan agama dari politik, demokrasi, HAM, kesetaraan jender, kebebasan penafsiran teks agama, toleransi beragama, kebebasan berekspresi dan persamaan agama (pluralisme).

Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasâmuh”. Dalam kamus Al-MuhithOxford Study Dictionary English-Arabic (2008: 1120) istilah tasâmuh memiliki arti tasâhul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan.

Maka dari itu, umat Islam seharusnya jeli dalam memahami setiap persoalan yang kemudian membawa membawa-bawa istilah toleransi tersebut. Umat Islam tidak dibenarkan—agar tidak disebut intoleran—bersikap memaklumi dan menghargai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Menghambat Penegakan Syariah Islam

Sadar atau tidak, sikap toleransi yang salah tersebut akan menghambat upaya untuk tegaknya syariah Islam di negeri ini. Lihatlah, saat umat Islam menginginkan syariah Islam dijadikan aturan yang mengatur negeri ini, mereka berujar, “Kita harus menghormati agama lain, termasuk menghormati kelompok lain”. Dalih mereka, tidak boleh ada satu ajaran mendominasi ajaran lain; Indonesia adalah negara yang bukan hanya ada Islam, namun juga terdapat pemeluk agama lain. Padahal penerapan syariah Islam merupakan perkara yang diwajibkan atas umat Islam untuk mengatur urusan kehidupan mereka.

Allah SWT memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah SWT menafikan keimanan mereka yang tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65).

Penafian keimanan atas mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahîh-nya).

 

Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau meman-faatkan apapun di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84).

Kita juga bisa melihat beberapa kejadian yang menjadi penghambat tegaknya syariah Islam atas nama toleransi dalam masalah beragama, semisal:

 

  1. Sejarah Piagam Jakarta.

Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter). Panitia kecil tersebut terdiri atas sembilan orang sehingga kerap disebut Panitia Sembilan. Mereka adalah empat orang tokoh Islam, yaitu KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakar, Abikoesno Tjokrosoeyoso dan H. Agus Salim; empat tokoh dari kalangan nasionalis sekular yakni Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin; dan satu perwakilan non-Muslim, yaitu A.A. Maramis.

Para tokoh Islam yang berada dalam panitia kecil tersebut mengusulkan Islam sebagai dasar Negara. Bahkan mereka memperkuat argumentasinya dengan membawa puluhan ribu tanda tangan tokoh Islam, ulama dan pimpinan pondok pesantren seluruh Indonesia yang menginginkan negara yang akan diproklamasikan berdasarkan Islam. Usulan tersebut ditolak oleh perwakilan dari tokoh-tokoh sekular dan non-Muslim. Namun, setelah melalui perdebatan panjang, Panitia Sembilan akhirnya sepakat dan merekomondasikan rumusan dasar negara yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Djakarta Charter) yakni: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar pada: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Namun, sehari setelah proklamasi kemerdekaan diproklamirkan, 7 kata tersebut kemudian dihapuskan.

Pencopotan syariah Islam bermula pada 17 Agustus sore. Seorang opsir Kaigun (Angkatan laut) bersama seorang juru bahasa, Nishijima, mendatangi Hatta di kediamannya.Opsir yang tidak disebutkan namanya itu keberatan dengan “syariat Islam”.

Dia beralasan, jika tetap mencantumkan kata “syariat Islam” golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Karena itu pada 18 Agustus pagi, sebelum sidang Panitai Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Hatta melakukan rapat pendahuluan dengan Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodeimejo dan Mr. Teuku Hasan. Dalam buku Memoir Mohammad Hatta (Tintamas: 1982, hlm. 458-459), Hatta mengatakan, “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan yang Maha Esa.”

Akhirnya, dalam hitungan kurang dari 15 menit, seperti diceritakan Hatta dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Sikap toleransi yang dilakukan oleh Moch. Hatta tersebut mengakibatkan 7 kata di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut hilang.

 

  1. Perda-Perda Syariah.

UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah. Karena itu sejumlah pemerintah daerah berlomba-lomba untuk merumuskan perda sesuai dengan keunikan dan kekhasan daerahnya masing-masing, termasuk keunikan beragamanya. Salah satu contoh peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan ciri atau kekhasan tertentu adalah perda syariah.

Lebih 25 provinsi/kota/kabupaten telah melahirkan berbagai aturan baik dalam bentuk peraturan daerah atau instruksi kepala daerah yang dinilai sementara kalangan sebagai perda berbau syariah atau perda syariah.

Beberapa kali perda-perda itu digugat khususnya di lembaga parlemen. Kalangan Kristen dan Liberal yang paling getol mempermasalahkan. Pembentukan dan pemberlakuan perda itu dinilai inkonstitusional serta intoleran karena bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila, meresahkan masyarakat, tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan dan mengancam NKRI; ditambah dengan alasan mengancam hak-hak kebebasan masyarakat sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim.

Pasca pemberitaan terkait dengan penggrebekan warung makan Bu Saeni yang menyita perhatian publik, muncul kabar Jokowi menghapus 3.143 Perda. Penghapusan Perda dan Peraturan Kepala Daerah itu diumumkan langsung Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Senin (13/6) petang. “Sekali lagi saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran dan yang memiliki daya saing,” tegas Jokowi saat menutup pernyataannya seusai membacakan jenis-jenis perda yang dibatalkan tersebut.

Secara tersirat maksud dari kalimat perda yang bertentangan dengan perundangan-undangan yang lebih tinggi, sepertinya mengarah pada perda-perda syariah atau yang berbau syariah. Itu dapat dilihat dari alasan penghapusan perda-perda tersebut, yakni salah satunya adalah agar Indonesia menjadi bangsa yang besar dan toleran. Faktanya, para penolak perda syariah selalu berdalih bahwa perda syariah itu tidak toleran.

 

  1. UU Perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan no. 1 Tahun 1974 (UU-P no. 1/1974) tak pernah sepi dari kritik. Kelompok Liberal aktif menuntut revisi UU-P. Tim PUG Depag pada tahun 2004 pernah mengeluarkan CLD-KHI (Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam). Sebagai contoh masalah poligami (ta’addud al-zawjât), menurut draft yang terdapat di dalam CLD-KHI, adalah tidak diizinkan sama sekali, haram li ghayrihi (Pasal 3). Menurut CLD-KHI pula, pernikahan beda agama diizinkan asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan perkawinan. Ini tentu pemahaman yang keliru dan menyimpang dari agama Islam. Dengan semangat liberalisme dan toleransi, mereka mengajukan draft ini kepada MK walaupun akhirnya usaha mereka tersebut gagal.

 

  1. RUU Halal.

Setelah melalui jalan yang panjang dan berliku, akhirnya RUU Jaminan Produk Halal disahkan menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR RI hari Kamis, 25 September 2014 di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta (25/9). Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Priyo Budi Santoso secara aklamasi menyetujui RUU JPH menjadi Undang-Undang.

Namun, kalau kita melihat proses RUU tersebut, upaya penolakan dari sebagian kalangan sangatlah terasa. Mereka beralasan, Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, tiap etnik mempunyai kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara berpakaian, berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang berkembang selama berabad-abad, yang menunjukkan kemajemukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, RUU Halal akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Standar Ganda Toleransi

Kalau disepakati bahwa makna dari toleransi adalah menahan perasaan tanpa protes, maka tampak jelas bahwa kalangan Liberal tidak konsisten dengan konsep mereka sendiri untuk ‘tidak protes’ terhadap pendapat yang berbeda dari pemikiran/konsep yang mereka bawa. Kaum Muslim dipaksa tunduk pada argumentasi mereka kendati itu menyalahi konsep mereka sendiri.

Contoh bagaimana kehidupan Umat Islam di Bali saat Hari Raya Nyepi. Kaum Muslim harus mematikan lampu dan tidak boleh melaksanakan aktivitasnya dengan bebas pada hari itu. Bahkan belakangan, Raja Bali meminta kaum Muslim tidak menyembelih sapi karena binatang tersebut dianggap sebagai dewa. Terhadap kondisi ini, tidak ada kelompok Liberal yang protes. Sebaliknya, ketika kaum Muslim mengumandangkan azan melalui pengeras suara, mereka protes. Padahal suara keras itu ada di wilayah yang mayoritas Muslim. Kaum Muslim diminta menghormati non-Muslim dengan mengecilkan suara panggilan orang shalat tersebut.

Kita juga masih ingat bagaimana umat Islam di Tolikara dilarang melaksanakan shalat Id, juga dilarang membangun masjid. Padahal umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Namun, dalam masalah toleransi seolah digiring agar yang mayoritas mengalah kepada minoritas. Padahal yang minoritas harusnya sadar diri. Lihatlah juga bagaimana umat Islam yang mayoritas tersebut harus mengalah kepada kalangan yang tidak setuju terkait 7 kata di dalam Piagam Jakarta sehingga kemudian dihapuskan.

Oleh karena itu, toleransi adalah salah satu alat yang selalu dijadikan kafir Barat, kalangan liberal sekular, untuk menghalangi umat Islam hidup diatur dengan syariah Islam, karena itu berarti mengubur peradaban Barat yang sedang mereka bangun. Mereka hanya toleran terhadap kaum Muslim yang mau hidup dengan peradaban Barat, yakni melepaskan syariah Islam dari kehidupan.

WalLâhu ‘alam. [Adi Victoria; Humas HTI Kaltim]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*