Bukan Hanya Adanya Perubahan Pemimpin, Namun Juga Harus Disertai dengan Perubahan Sistem Untuk Memimpin

pemimpinOleh : Adi Victoria

Setiap kali memasuki masa Pemilu, Pilkada maupun Pilpres, masyarakat dihadapkan pada dua (2) pilihan yakni Perubahan atau Lanjutkan. Perubahan, artinya memilih partai politik tertentu untuk menjadi pemenang baru dalam Pemilu, atau memilih pemimpin baru untuk menjadi Presiden pada saat Pilpres atau Kepala Daerah pada saat Pilkada. Lanjutkan, berarti tetap mengusung partai yang sudah pernah menang atau tetap mendukung calon yang incumbent.

Inilah pola fikir yang masih banyak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat. Padahal, kalau berbicara terkait perubahan, seharusnya tidak hanya berbicara terkait perubahan dari hal kepemimpinan, namun juga adanya perubahan sistem yang digunakan untuk memimpin tersebut.

Karena, jika yang berubah hanyalah kepemimpinannya saja, yakni perubahan cara kepemimpinan, sedangkan sistem yang digunakan untuk memimpin tadi tidak ikut diubah, maka tidak akan pernah akan terjadi perubahan yang hakiki, yakni perubahan untuk mewujudkan kejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.

Sistem demokrasi yang katanya bisa menjadi ‘alat’ untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, pada faktanya juga bohong. Yang terjadi, demokrasi sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya diri mereka sindiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat.

Demokrasi, Sistem Yang Merusak

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah ini dicetuskan di Athena pada abad ke-5 SM. Demos berarti rakyat. Cratos (Kratien, Kratia) artinya kekuasaan (berkuasa, pemerintahan). Dengan demikian demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Asas demokrasi modern adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme lahir pada Abad Pertengahan Masehi.

Demokrasi memang lahir lebih awal, yaitu pada abad ke 5 SM. Adapun sekularisme lahir sesudah abad ke 14 M. Namun, demokrasi itu ternyata sudah tidak diterapkan lagi, karena tidak bertahan lama setelah kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara kota Athena, tidak ditemukan lagi satu negara pun yang menerapkan sistem ini. Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarki yang berkolaborasi dengan Gereja, yang disebut dengan teokrasi atau yang juga disebut dengan negara agama.

Sampai pada Abad Pertengahan terjadi pergolakan tentang konsep teokrasi ini. Ada dua kubu yang saling berseberangan. Di satu sisi ada para rohaniwan Kristen yang diperalat oleh para raja dan kaisar. Mereka dijadikan perisai untuk mengeksploitasi dan menzalimi rakyat atas nama agama serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama. Di sisi lain, ada para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama serta menolak otoritas para rohaniwan. Ini terjadi karena selama dominasi gereja 300 ribu ilmuwan yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuwan dibakar hidup-hidup karena tidak sesuai dengan doktrin gereja.

Para rohaniawan Kristen membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “Kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.

Sebaliknya, para filosof dan pemikir menawarkan konsep sekularisme, yang intinya rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya  konsep sekularisme ini mengeluarkan 3 teori:

(1) Liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri;

(2) Kapitalisme yang menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, sementara pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja;

(3) Demokrasi yang menyerahkan kedaulatan kepada manusia (rakyat). Saat aturan agama ditolak tentu manusia butuh aturan baru, di sinilah kemudian demokrasi digali kembali dari lubang kuburnya setelah terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi pilihan ideal, karena itu memang sistem yang menyerahkan segala sesuatunya kepada keinginan manusia. Itulah mengapa dikatakan bahwa demokrasi (modern) lahir dari akidah sekularisme. Akidah sekularisme sendiri adalah “jalan tengah” (kompromi) yang bersifat pragmatis, bukan hasil pemikiran yang memuaskan akal dan menenteramkan hati.

Oleh karena itu, segala kerusakan yang dibawa oleh sistem demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang memang sudah cacat sejak lahir. Akidah sekularisme yang melahirkan demokrasi merupakan akidah hasil jalan tengah atau kompromi.

Hal tersebut wajar, karena hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah from company, by company, and for company (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi berada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.

Ganti Sistem Untuk Memimpin

Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan perubahan yang hakiki, tidak hanya mengganti orang-orang yang tadinya tidak amanah diganti dengan orang-orang yang amanah, serta diikuti dengan pergantian system untuk memimpin tadi, jika tidak, maka yang terjadi akan tetap sama. Ibarat sebuah mobil dan pengemudi, yang bertindak sebagai pengemudi adalah orang yang memang memiliki skill kompetensi untuk mengemudikan mobil tersebut, namun sayangnya, mobil yang digunakan tadi adalah mobil yang rusak, sehingga jangan heran jika pengemudi dan mobil tadi juga akan masuk ke jurang, bukan karena tidak baiknya pengemudi, namun karena disebabkan oleh mobil itu sendiri yang memang tidak layak untuk dikemudikan.

Begitu juga dengan kepemimpinan dan sistem. Walaupun yang menjadi pemimpin adalah orang yang baik, jujur, shalih, amanah, sistem yang ia gunakan untuk memimpin bukan sistem yang baik, yakni demokrasi tadi, maka bisa dikatakan ia orang yang shalih namun berada di tempat yang salah. Yang tadinya berniat untuk merubah, malah bisa akan terikut terubah, yang awalnya berniat untuk mewarnai, malah akan terwarnai, yang awalnya ingin mempengaruhi dengan kebaikan, malah terpengaruh dengan kejahatan.

Oleh karena itu, berbicara perubahan harus meliputi dua hal, perubahan pemimpin dan perubahan sistem. Dan sistem yang baik adalah bersumber dari Dzat yang Maha Baik, Dia-lah Allah SWT, yang telah menjadikan Rasulullah Saw sebagai seorang nabi dan juga sebagai ra’is ad daulah atau kepala negara.

Karakter dakwah nabi adalah nubuwah (kenabian) dan ri’asah (kepemimpinan). Pasca Rasulullah SAW wafat, maka fungsi nubuwah nya ikut berakhir, namun fungsi ri’asah nya tetap berjalan, yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah, inilah sistem Khilafah Islam.

Rasulullah SAW bersabda :

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).

Wallahu a’lam bisshowab.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*