Oleh: Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)
Menurut data Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Provinsi Jatim, jumlah kasus kekerasan pada anak tiap tahun cenderung meningkat. Untuk tahun 2014 total jumlah kekerasan pada anak mencapai 152 kasus (pencabulan 67 kasus). Jumlah ini meningkat menjadi 222 kasus (pencabulan 58 kasus) pada tahun 2015. Sedangkan hingga bulan Juni tahun 2016 terdapat 169 kasus kekerasan pada anak. Dari semua kasus ini kasus pencabulan mendominasi dengan 111 kasus (beritajatim.com 13/8/2016).
Menanggapi tingginya kasus kekerasan anak di Indonesia, sebagaimana yang dilansir okezone.com (3/8/2016) Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia, Reza Indragiri Amriel mengatakan, untuk mengatasi kejahatan anak di bawah umum adalah dengan meminimalisir anak berhadapan dengan hukum (ABH) untuk masuk jeruji besi.
“Jawaban paling mendasar atas persoalan ini adalah mengurangi ABH. Itu berarti, mengurangi anak-anak yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran hukum. Dengan kata lain, memperbanyak penerapan diversi bagi para ABH. Untuk itu, perlu revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak (batas hukuman maksimal harus dinaikkan),” ujarnya.
Revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak tentu tidaklah efektif, mengingat kompleksitas permasalahan ini. Ada beberapa pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Pertama, keluarga. Keluarga dianggap lalai dalam menjalankan fungsi pendidikan terutama pendidikan seks terhadap anak sehingga memudahkan pelaku untuk melakukan perbuatan bejatnya.
Kedua adalah lingkungan. Lingkungan masyarakat yang permisif, tak acuh, membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya. Bagaimana mungkin di toilet TK bisa terjadi perbuatan keji pada seorang anak tanpa ketahuan? Apakah guru tidak melihat perubahan sikap anak ketika masuk kembali ke kelas? Lingkungan juga seringkali memberikan pengaruh buruk, yang melahirkan para pelaku kejahatan. Lihatlah bagaimana Emon, pelaku sodomi 55 anak di Sukabumi, ternyata merupakan korban sodomi juga di masa SMP-nya.
Ketiga adalah negara. Pembahasan peran negara umumnya hanya sebatas sebagai pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan. Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi, yang penyusunannya diserahkan kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman qishash, atau hukuman di hadapan khalayak ditolak. Prinsip HAM lebih dikedepankan daripada hukum Allah. Pelaku kejahatan hanya dihukum penjara sementara waktu. Akibatnya hukum menjadi mandul, tidak memiliki efek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku.
Dengan demikian, kasus kekerasan seksual pada anak, pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Mencoba menyelesaikan masalah ini hanya dari satu sisi, misalnya pendidikan seks pada anak semenjak dini, atau memperberat hukuman terhadap pelaku, tidak akan cukup.
Lalainya keluarga dari membentengi anak, adalah lalainya keluarga terhadap pendidikan agama. Anak tidak diajarkan untuk menutup auratnya, menjaganya agar tidak dilihat oleh orang lain dan merasa malu membukanya. Orang tua lalai, karena mereka sendiri juga tidak paham agama atau tidak memiliki kesempatan mengajarkannya akibat kesibukan kerja. Ini adalah dampak dari abainya negara terhadap pendidikan agama serta penerapan ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu untuk juga bekerja. Anak menjadi korban, tidak dididik dengan benar dan diperhatikan. Anak diserahkan begitu saja ke lembaga-lembaga pendidikan, yang kadang justru menjadi tempat anak mendapatkan pelecehan seksual.
Masyarakat yang rusak juga merupakan akibat negara membiarkan virus kebebasan (liberalisme) merajalela. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu, tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan. Negara membiarkan masyarakat berhadapan dengan serbuan pornografi dari berbagai media massa, terutama internet. Alasannya negara tidak mampu mengontrol semua situs yang beredar. Padahal Malaysia, China dan beberapa negara lain bisa menerapkan mekanisme pengontrolan situs porno.
Negara juga lemah dalam menerapkan kontrol terhadap sekolah asing. JIS misalnya, ternyata tidak memiliki izin menyelenggarakan pendidikan anak usia dini (kindergarten). Kurikulumnya juga kurikulum asing yang mengajarkan liberalisme, sampai-sampai berpelukan dan berciuman sudah menjadi pemandangan yang biasa di sana.
Masuknya jaringan pedofilia internasional juga akibat lemahnya sistem jaminan keamanan negara. Negara tidak mengontrol orang asing yang masuk, baik sebagai tenaga kerja, tenaga pengajar, maupun turis. Salah satu mantan guru JIS ternyata seorang pedofil yang telah memangsa 60an anak, mungkin dialah salah satu yang mewariskan budaya pedofilia di JIS. Di Bali, tidak sedikit anak yang menjadi korban pedofilia turis-turis asing. Celakanya, anak-anak korban pedofilia ini saat dewasanya berpeluang untuk menjadi pelaku. Selanjutnya, anak yang menjadi korban mereka juga tertular dan akan mejadi pelaku, begitu seterusnya beregenerasi membentuk rantai panjang jaringan pedofilia.
Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan anak. Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan tindak kekerasan terhadap anak. Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Islam juga merupakan aqidah siyasi, yaitu aqidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan. Penerapan hukum Islam secara utuh ini akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan calon generasi terbaik.[]