Akhirnya Arcandra Tahar diberhentikan dari jabatan Menteri ESDM. Pria yang pernah menjadi Presdir Petroengineering itu resmi memegang rekor “menteri dengan masa jabatan tercepat” dalam sejarah pemerintahan negeri ini.
Arcandra tersandung status dwi-kewarganegaraan yang dikantonginya. Pria ini diketahui memegang paspor AS dan Indonesia sekaligus. Pria asal Padang ini sudah melakukan naturalisasi menjadi warga AS pada Maret 2012. Namun entah motif apa ia kemudian menerima jabatan menteri ESDM menggantikan Sudirman Said. Padahal tindakannya itu melanggar sejumlah undang-undang.
Arcandra dinilai melanggar UU No 6/2011 tentang Keimigrasian, UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, serta UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara karena dinilai melawan hukum dan membohongi Presiden dan rakyat Indonesia terkait status kewarganegaraannya.
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menyebutkan, warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak, atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain.
Presiden Jokowi sendiri sebelum pemberhentian Arcandra, menolak memberikan komentar ihwal dwi-kewarganegaraan menterinya itu. Publik bisa melihat di layar kaca bagaimana Jokowi ngeles saat wartawan menanyakan hal tersebut. Ia malah meminta Menteri Sekretaris Negara Pratikno menjawab pertanyaan pers. Di layar televisi, publik juga bisa melihat Pratikno terkejut ditunjuk Jokowi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Memperlihatkan pemerintah gagap mempertanggungjawabkan blunder kebijakan pengangkatan sang Menteri ESDM.
Skandal kewarganegaraan Arcandra justru terkuak dari publik dan media massa. Di jejaring sosial beredar status dwi-kewarganegaraan Arcandra. Setelah itu menjadi bola panas politik yang menghantam Arcandra dan Presiden Jokowi.
Ada dua hal yang menjadi catatan buruk pemerintahan Jokowi dalam kasus Arcandra; pertama, kecerobohan atau amat mungkin kesengajaan mengangkat Arcandra menjadi menteri ESDM yang sudah memiliki kewarganegaraan ganda. Memperlihatkan buruknya administrasi dan menggampangkan persoalan reshuffle kabinet.
Rezim Jokowi lupa bahwa di era keterbukaan informasi sekarang ini berbagai informasi yang tersimpan rapat bisa dengan mudah dibongkar dan jadi konsumsi publik.
Kedua, setelah bergulirnya informasi kewarganegaraan ganda Arcandra, publik jadi bisa menakar setebal apa rasa nasionalisme para pejabat negara; benarkah mereka membela kepentingan bangsa dan rakyat banyak, ataukah justru membela kepentingan partai, presiden, asing dan aseng?
Menko Maritim yang mantan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan misalnya justru mengancam siapa saja yang mengganggu Arcandra. “Saya back-up habis Pak Tahar, orang Texas yang tiba-tiba datang kesini. Yang macam-macam dengan Pak Tahar saya bilang buldoser saja,” ujar Luhut sembari bercanda di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Selasa, (2/8).
Ngeri! Sudah jelas sang menteri bersumpah setia pada negara asing dan melanggar sekian undang-undang dalam negeri, pihak yang mengkritisi justru diancam akan dibuldoser. Apakah ini sikap nasionalisme dan cinta tanah air?
Sementara itu Menkumham Yasonna memberikan pembelaan status Arcandra. “Jadi secara legal formal belum ada proses pencabutan kewarganegaraan melalui SK Menkumham kepada pak Arcandra,” kata Yasonna kala itu.
Dia menegaskan bahwa Arcandra saat ini berstatus WNI. Dia juga masuk ke Indonesia menggunakan paspor Indonesia. Setelah menjadi Menteri ESDM, Arcandra kemudian mengucapkan sumpah setia kepada bangsa dan negara Indonesia.
Dia menegaskan bahwa Arcandra saat ini berstatus WNI. Dia juga masuk ke Indonesia menggunakan paspor Indonesia. Setelah menjadi Menteri ESDM, Arcandra kemudian mengucapkan sumpah setia kepada bangsa dan negara Indonesia.
Ini juga mengherankan. Bagaimana bisa seorang menteri hukum berlagak pilon tidak paham undang-undang? Lagi-lagi, inikah yang namanya cinta tanah air?
Mantan Ketua BIN dan juga anggota Wantimpres Jokowi, AM Hendropriyono mati-matian membela keputusan pengangkatan Arcandra. Ia memuji-muji Arcandra dan mencaci maki para pengkritik status kewarganegaraan Arcandra. Dalam akun twitternya Hendropriyono berceloteh: 3. Maka pengetahuannya luas. Kalau dia tdk merantau dgn cara begitu bisa cuma jd katak dlm tempurung seperti yg pada clometan di medsos itu. 14. Soal dwikewarganegaraan Archandra sudah selesai masalahnya. Dia org yang sangat tepat yang dibutuhkan bangsa kita. 15. Yang pada meributkan itu apa lebih pintar dari Archandra? Tong kosong memang nyaring bunyinya
Hendropriyono berkata persoalan kewarganegaraan ganda bukan tindak pidana, sehingga tak perlu diributkan. Dalam akun twitternya ia menulis: 9. Soal dwikewarganegaraan, Loh emangnya kenapa orang Mempunyai dwikenegaraan, bukan tindak pidana! Hanya jika hal itu diketahui, maka dia harus ditanya mau terus jadi WNI atau tidak? Kan dia sudah pilih jadi WNI, terus apa lagi?
Hendropriyono mungkin pura-pura lupa bahwa dulu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara terkait pelanggaran keimigrasian.
Saat itu Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar di depan Komisi II DPR juga menjelaskan, Ba’asyir diduga melanggar Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian. UU itu, kata Kapolri, masih berlaku untuk Ba’asyir yang kembali ke Indonesia tahun 1999. Diakui oleh Kapolri, ada beberapa warga Indonesia yang lari ke Malaysia dan beralih kewarganegaraan, tetapi umumnya bersifat permanen residen.
Pada 2 September 2003, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sempat divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena karena kasus keimigrasian tersebut.
Hingga, pada 10 November 2003 putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menurunkan hukuman jadi 3 tahun penjara. Keterlibatan Ba’asyir dalam aksi makar tidak terbukti. Ia terbukti hanya melanggar imigrasi. Lalu pada 3 Maret 2004 Ba’asyir divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tingkat Kasasi MA.
Lalu bagaimana dengan Arcandra Tahar? Bila demi nasionalisme dan cinta tanah air Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mendekam dalam penjara, akankah Arcandra bernasib sama?
Kegaduhan kasus sang mantan menteri ESDM menjadi sinyal bahwa di kalangan elit eksekutif slogan nasionalisme, cinta tanah air hanya retorika kosong. Bagi mereka slogan itu hanya digunakan untuk membela kepentingan kelompok dan menggiling pihak yang mengkritisi mereka, terutama kelompok Islam yang memperjuangkan syariah.
Lebih mengkhawatirkan lagi bila reshuffle kabinet yang dilakukan presiden justru untuk memuluskan kepentingan asing. Kecurigaan ada orderan asing dalam tampak dalam kasus pengangkatan Arcandra, belum genap 20 hari menjabat menteri ESDM ia sudah meloloskan izin ekspor konsentrat untuk Freeport. Kebijakan ini segera mengundang pertanyaan dan kecaman dari berbagai pihak. Tapi kala itu pemerintah bergeming.
Mengamini keputusan sang menteri.
Jabatan kementerian ESDM adalah jabatan yang amat strategis, apalagi untuk negeri seperti Indonesia dengan sumberdaya enerji dan mineral yang berlimpah. Dimana saat ini lebih dari 80 persen enerji migas di tanah air justru dikuasai asing. Apalagi Indonesia sudah sejak lama bermitra dengan sejumlah perusahaan migas asing yang menjadi anggota kartel minyak dunia yang dikenal dengan nama Seven Sisters. Ketujuh perusahaan itu adalah Standard Oil of New Jersey (ESSO), Standard Oil of New York (SOCONI sekarang menjadi Mobil Oil), Standard Oil of California (sekarang Chevron), Royal Dutch Shell, British Anglo-Persian Oil Company (APOC sekarang menjadi BP), Gulf Oil, Texaco.
Jabatan kementerian ESDM adalah jabatan yang amat strategis, apalagi untuk negeri seperti Indonesia dengan sumberdaya enerji dan mineral yang berlimpah. Dimana saat ini lebih dari 80 persen enerji migas di tanah air justru dikuasai asing. Apalagi Indonesia sudah sejak lama bermitra dengan sejumlah perusahaan migas asing yang menjadi anggota kartel minyak dunia yang dikenal dengan nama Seven Sisters. Ketujuh perusahaan itu adalah Standard Oil of New Jersey (ESSO), Standard Oil of New York (SOCONI sekarang menjadi Mobil Oil), Standard Oil of California (sekarang Chevron), Royal Dutch Shell, British Anglo-Persian Oil Company (APOC sekarang menjadi BP), Gulf Oil, Texaco.
Esso kemudian merger dengan Mobil Oil sehingga menjadi ExxonMobil. Sedangkan Chevron gabung dengan Texaco menjadi CHEVRONTEXACO. Dalam teori perang modern, menguasai ladang migas menjadi sangat vital. Ia menjadi bagian dari strategi perang asimetris, perang dengan strategi menguasai musuh yang memiliki sumberdaya yang lebih unggul. Dan di Indonesia, rakyat bisa melihat nyata betapa sekian pemerintah yang telah berkuasa terus menerus memberikan prioritas kepada berbagai perusahaan asing untuk mengeskplorasi kekayaan alam negeri sendiri. Sama artinya menyerahkan leher bangsa untuk digorok bangsa asing. Lalu mereka masih berteriak-teriak cinta tanah air dan penegakkan nasionalisme. Padahal hakikatnya adalah komprador pemburu rente. Sungguh tak tahu malu. [IJ – LS DPP HTI]