Salah Kaprah Bela Negara

Pentagon telah mengungkapkan jatidirinya bahwa mereka merupakan ujung tombak Perang Salib Amerika Serikat (AS) melawan Islam dan berusaha memusnahkan Islam secara total. Tahun 2012 Letkol Matthew Dooley, penanggung jawab pelatihan atas ratusan pejabat AS yang memberikan pandangan-pandangan atas Islam, mengatakan dalam salah satu presentasinya, “Kami sekarang telah sampai pada pemahaman bahwa tidak ada yang namanya Islam moderat… Oleh karena itu sudah waktunya bagi Amerika untuk memperjelas maksud kita sesungguhnya. Ideologi barbar ini tidak akan lagi bisa ditolerir. Islam harus berubah atau kita akan memfasilitasi kehancuran dirinya.”

Senada dengan sikap politik Amerika Serikat, selama ini ada upaya sistematis dari kelompok-kelompok liberal untuk menempatkan Islam sebagai musuh; apalagi kalau tidak dengan tudingan ekstrem kanan, radikal, teroris dan sebagainya. Kaum kapitalis liberal dan sosialis kiri dan kanan secara bersama-sama membela demokrasi dan secara bersama-sama pula berusaha menyingkirkan Islam.

Isu kekerasan dengan mengatasnamakan agama, dalam banyak hal, telah dijadikan sarana efektif negara-negara kafir dan antek-anteknya, untuk mewujudkan tendensi-tendensi ideologis-politis mereka. Di antaranya adalah mengokohkan liberalisme, pluralisme, sekularisme, demokrasi, toleransi keliru, paham moderat-sesat, dan lain sebagainya di tengah-tengah kaum Muslim. Mereka berusaha mencari-cari momentum untuk mengokohkan paham-paham mereka.

 

Islam bukan Musuh Negara

Islam tentu bukan musuh negara. Menjadikan Islam sebagai musuh negara, selain keliru, juga sangat berbahaya. Pasalnya, sesungguhnya Islam, yang tidak bisa dipisahkan dari akidah dan syariahnya, adalah rahmatan lil ‘alamin. Kalau diterapkan, syariah Islam justru akan memberikan kebaikan pada seluruh umat manusia baik Muslim maupun non-Muslim. Tentu tidak masuk akal, akidah dan syariah Islam yang berasal dari Allah SWT, Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm, membahayakan manusia, masyarakat atau bangsa ini. Adapun negara yang didasarkan pada Islam (Daulah Khilafah) adalah konsekuensi logis dari kewajiban menerapkan syariah Islam secara kâffah. Tanpa otoritas politik, dalam hal ini negara, syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin tentu tidak bisa diterapkan.

Menjadikan ajaran Islam berupa akidah dan syariahnya sebagai ancaman sama saja dengan menjauhkan Islam dari kehidupan masyarakat. Padahal ketiadaan penerapan Islamlah yang menjadi biang kerok dari berbagai persoalan masyarakat kita.

Menjadikan Islam sebagai musuh juga berbahaya. Itu berarti negara akan menganggap perjuangan untuk menerapkan syariah Islam sebagai tindakan makar dan para pejuangnya sebagai pelaku subversi. Tindakan represif pun akan dilakukan atas nama keamanan negara seperti menangkap, menculik, menyiksa, memenjarakan dan membunuh para aktifis Islam yang sesungguhnya ingin menyelamatkan bangsa dan negara melalui menerapkan syariah Islam.

Ketika negara menjadikan Islam sebagai ancaman, negara secara langsung telah menjadi kaki tangan atau boneka penjajah imperialis. Pasalnya, dalam pandangan negara-negara imperialis, Islam adalah ancaman bagi eksistensi penjajahan mereka. Tony Blair pernah secara terbuka menuding cita-cita umat Islam untuk menegakkan syariah Islam, Khilafah, juga sikap penolakan umat Islam terhadap keberadaan negara zionis, sebagai cerminan ideologi iblis.

Padahal sesungguhnya akar masalah dari seluruh problem yang ada adalah penerapan sistem Kapitalisme sekular. Pasalnya, penerapan ideologi Kapitalisme terbukti telah menimbulkan berbagai kerusakan di segala aspek, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya.

 

Musuh Negara yang Sebenarnya

Sesungguhnya yang membahayakan Indonesia adalah Kapitalisme dan rezim kapitalis dan para propagandisnya. Kapitalismelah—berikut ide-ide pokoknya seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme dan demokrasi—yang layak dijadikan sebagai musuh negara karena telah terbukti menjadi pangkal kehancuran dan penderitaan rakyat Indonesia.

Faktanya, Kapitalisme global yang dipimpin Amerika terus menyasar negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, dengan target destruktif yang berupa:

  1. Finance/Keuangan: hancurkan, kendalikan-kuasai, jadikan bersifat global.
  2. Pangan: hancurkan, kendalikan-kuasai.
  3. Energi dan Sumber Daya Alam: hancurkan, kendalikan-kuasai.
  4. Ekonomi: hancurkan-keterpurukan, kendalikan-kuasai, jadikan pasar bebas global.
  5. Logistik: hancurkan, ekonomi biaya tinggi, kuasai.
  6. Sosial-budaya: seks bebas dan seks sejenis, gelorakan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragmatis-materialistis dan narsistis, rusak dan hancurkan bangunan tata nilai keluarga-kebersamaan-gotongroyong, rusak-hancurkan moral rakyat.
  7. Agama dan tradisi: hancurkan agama dan tradisi, ciptakan dan kembangkan aliran-aliran sesat, kembangkan sekularisme, pendangkalan akidah dan deislamisasi
  8. Narkoba dan minuman keras: targetnya adalah untuk merusak dan menghancurkan moral serta fisik generasi mudanya.
  9. Aset informasi dan media massa: kuasai dan kendalikan sepenuhnya, baik soft ware, hardware, gelombang, sarana dan prasarananya.
  10. Ideologi: penyebaran dan penerapan kapitalisme-sekular.
  11. Politik dan Hukum: rusak, hancurkan dan kuasai, jadikan prasarana untuk mengundang globalisasi, adu domba elit politiknya, rusak moral SDM-nya.
  12. Teknologi: kuasai sepenuhnya, ciptakan ketergantungan, remote-control khususnya nanotek-biotek-farmasi.
  13. Militer: pecah-belah, buat sel-sel separatisme, invasi militer dengan menciptakan status legal intervention, Pasukan Perdamaian.
  14. Perang: ciptakan separatisme dan sel-sel perlawanan, perang multinasional
  15. Persenjataan: kembangkan dan kuasai sepenuhnya persenjataan yang berbasis nanoteknologi, biotek dan cuaca; ciptakan ketergantungan dan remote-control.
  16. Pasca Perang: rekonstruksi dan kendalikan Tata Dunia Baru.

Melihat Kapitalisme global telah mengakar di negeri ini, pertanyaannya: apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) sesuai dengan nilai-nilai bela negara? Bela negara macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing?

Paradoks sekali para penentang kebangkitan Islam politik. Mereka bicara kesejahteraan rakyat, tetapi menyengsarakan rakyat; mereka bicara kedaulatan negara, tetapi menjual negara; mereka bicara nasionalisme dan keutuhan Indonesia, tetapi membiarkan disintegrasi dan campur tangan asing. Jadi, siapa sebenarnya pengkhianat bangsa dan negara ini?

 

Ironi Bela Negara

Program Bela Negara yang bertujuan menguatkan semangat nasionalisme telah dicanangkan Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI. Namun, program ini mendapatkan kritikan tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Konsep tersebut secara gamblang dijelaskan secara fisik dengan mengangkat senjata menghadapi serangan atau agresi musuh, sedangkan secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai segala upaya untuk mempertahankan negara dengan cara meningkatkan rasa nasionalisme, yakni kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air, serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara.

Jika lemahnya cinta tanah air dituding sebagai biang merebaknya semangat distintegrasi di berbagai daerah, sesungguhnya ini tak lepas dari sistem politik demokrasi. Demokrasi memberikan jaminan kepada semua warganya untuk menyatakan pendapatnya, berserikat dan berkumpul, bahkan melepaskan diri dari sebuah wilayah—hak menentukan nasibnya sendiri. Contoh yang paling nyata adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI.

Berbagai peristiwa di Papua dan tuntutan referendum memunculkan peran kalangan Kristen untuk mengobok-obok Indonesia dan menancapkan kukunya. Ini mengingatkan pada peristiwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka pun mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika ada tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Gereja ini tidak berjalan sendiri. Mereka mendapat dukungan imperialis, kapitalis dan LSM asing yang notabene seagama, serta suasana yang kondusif bagi sebuah pemisahan diri, yakni adanya hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi.

Kementerian Pertahanan berencana merekrut 100 juta kader bela negara dari seluruh wilayah di Indonesia mulai tahun ini. Menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, keberadaan kader bela negara sangat penting dan mendesak mengingat adanya kecenderungan lunturnya wawasan kebangsaan belakangan ini. Ryamizard juga mengatakan, pembentukan kader bela negara akan dilakukan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, akan dimulai di 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam.

Program bela negara yang diinisiasi Kementerian Pertahanan dikhawatirkan banyak pihak sebagai upaya untuk mencegah kritik masyarakat terhadap Pemerintah. Program ini dinilai memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Para pengamat menilai,  program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih bertujuan untuk mendoktrin warga negara agar siap bertempur menghadapi berbagai ancaman negara. Dikhawatirkan, pelatihan tersebut justru mengubah cara pandang warga negara. Bela negara memiliki konsep sangat luas. Kritik korupsi, kritik terhadap penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Jangan-jangan orang yang mengkritik Pemerintah nantinya malah dianggap melawan negara

Namun demikian, tantangan gangguan keamanan kini dan ke depan bagi negeri ini sesungguhnya tak sekadar “serangan-serangan” yang bersifat simetris (fisik dan militer) tetapi asimetris (non-militer, cyber). Problem mendasarnya adalah penerapan demokrasi di negeri ini.

Upaya mempertahankan eksistensi negara wajar dilakukan oleh negara manapun. Namun, dengan cara apa mempertahankan dan membela negara menjadi pertanyaan penting. Eksistensi negara tentu tidak hanya didasarkan pada keberadaan militer, namun terkait dengan kekuatan ideologi dan sistem politik, ekonomi, budaya, pendidikan, yang dibangun dari ideologi tersebut.

Keseriusan bela negara ini patut dipertanyakan selama Indonesia masih mengadopsi sistem Kapitalisme global. Sumber malapetaka Indonesia justru adalah neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Inilah yang menghancurkan Indonesia. Neoliberalisme dan neoimperialisme berdampak sangat buruk bagi rakyat. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral dan korupsi yang makin menjadi-jadi serta meningkatnya angka kriminalitas yang dipicu oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Karena itu patut dipertanyakan sikap Pemerintah saat bicara tentang bela negara, namun kukuh mempertahankan negara sekular yang kapitalis ini. Basa-basi bicara membela NKRI, namun justru menjual negeri ini kepada asing. Fakta yang ada sekarang membuktikan bahwa ideologi Kapitalisme global yang juga memiliki watak transnasional, bukan sekadar dikhawatirkan akan mengancam, tetapi malah benar-benar telah merusak Indonesia. Kejahatan ideologi ini sudah dimulai sejak masa kolonialisme. Baik atas nama korporasi maupun negara (Barat), mereka menjajah dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kerusakan yang ditimbulkan luar biasa besar. Bukan hanya merampas kekayaan alam, penjajah juga menistakan bahkan juga membunuh ribuan rakyat Indonesia. Karena itu tidak aneh bila masih lekat dalam memori hampir semua rakyat Indonesia, bahwa Belanda adalah negara penjajah.

Pada titik inilah, sungguh disayangkan saat rakyat Indonesia berjuang mati-matian mempertahankan tanah air, Pemerintah justru menjual negeri ini dengan menyerahkah sumberdaya alam kepada bangsa asing untuk mengeruk kekayaan negeri ini, seperti memperpanjang kontrak karya Freeport Indonesia dan kontrak karya Blok Masela, dan lain-lain. Inilah yang justru menjadi persoalan kita. Bagaimana mungkin rakyat dituntut untuk membela Negara dan menjaga eksistensi negara, sementara negara sendiri berdasarkan ideologi Kapitalisme yang justru menghancurkan bangsa dan negara. Ideologi Kapitalisme yang diadopsi di Indonesia justru menjadi pangkal malapetaka yang menghancurkan esksistensi negara.

Dari ideologi kapitalisme ini lahirlah berbagai undang-undang dan kebijakan liberal yang menyengsarakan rakyat, merampok kekayaan alam, dan mengancam keutuhan negara. Ironisnya, semua ini dilegalkan dengan UU. Lahirlah kebijakan privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pengurangan subsidi, pembangunan yang berbasis utang luar negeri, mata uang yang dikaitkan dengan rezim dolar, dll. Semua ini merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.

Negeri ini pun telah banyak menjalin kerjasama dengan pihak asing. Berbagai kerjasama itu—khususnya dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan keamanan—sebenarnya telah banyak memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sebagian besar dari perjanjian itu, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, lebih menguntungkan pihak asing.

 

Khatimah

Alhasil, dengan memahami siapa musuh negara sebenarnya, maka sikap membela negara umat Islam adalah dengan menyajikan solusi Islam sebagai pengganti Kapitalisme yang rusak dan banyak menciptakan kerusakan bagi negeri ini. [Umar Syarifudin; (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*