Oleh: Ainun Dawaun Nufus – MHTI Kab. Kediri (pengamat Sosial Politik)
Kawasan kumuh di Kota Sukabumi, Jawa Barat masih tersisa sekitar 2,89 persen atau setara 139 hektare. Keberadaan kawasan kumuh tersebut tersebar di tujuh kecamatan yang ada di kota. Luas Kota Sukabumi secara keseluruhan mencapai 48,42 kilometer atau 4.842. hektare. “Pemkot Sukabumi tengah fokus untuk menangania kawasan kumuh,” terang Kepala Dinas Tata Ruang Perumahan dan Permukiman (Distarumkim) Kota Sukabumi, Asep Irawan kepada wartawan Kamis (25/8). Ketujuh kriteria kumuh antara lain dilihat dari bangunan hunian, jalan lingkungan, drainase, pembuangan air limbah, penyediaan air bersih dan air minum, pengelolaan persampahan, dan pengamanan bahaya kebakaran.
Setidaknya ada 5 kota besar yang memiliki kawasan yang terbilang sangat tinggi tingkat kekumuhannya. Kata Amwazi Idrus kota tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di pulau Sumatera, Pertama, kawasan Belawan Medan Sumatera Utara, masuk ke dalam daftar wilayah yang paling kumuh. Medan, kita konsentrasi di Belawan kumuhnya sangat masif, sudah parah di sana,” katanya.
Kedua, daerah aliran sungai Ciliwung di Jakarta pun dinilai sudah sangat kumuh sehingga mendapatkan perhatian pemerintah. Pemerintah tengah menanggulangi persoalan tersebut dengan membangun hunian yang lebih layak bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Ketiga, Bandung, Jawa Barat tepatnya di daerah Taman Sari. Di daerah tersebut terdapat perkampungan yang sangat padat. Keempat, ada Kota Surabaya, Jawa Timur, khususnya di kawasan Bozem Moro Krembangan. Kelima, adalah Kota Makassar, Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Tallo.
Sebagai contoh pemandangan di bantara kali Ciliwung memang sangat kontras dengan kota Jakarta yang terus menerus membangun gedung dan pusat perbelanjaan mewah. Hampir semua bantara Ciliwung ditimbun oleh tumpukan sampah raksasa. Sungai yang seharusnya memiliki lebar 50 meter, kini hanya menjadi selebar 8 meter akibat tumpukan sampah tersebut. Tidak heran, tempat ini menjadi tempat paling kumuh di Indonesia. Pemandangan di bantara kali Ciliwung memang sangat kontras dengan kota Jakarta yang terus menerus membangun gedung dan pusat perbelanjaan mewah. Hampir semua bantara Ciliwung ditimbun oleh tumpukan sampah raksasa. Sungai yang seharusnya memiliki lebar 50 meter, kini hanya menjadi selebar 8 meter akibat tumpukan sampah tersebut. Tidak heran, tempat ini menjadi tempat paling kumuh di Indonesia.
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Dampak langsung dari adanya permukiman kumuh dalam hal keruangan yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan fisik maupun sosial permukiman yang berakibat semakin rendahnya mutu lingkungan sebagai tempat tinggal (Yunus, 2000 dalam Gamal Rindarjono, 2010). Seperti halnya lingkungan permukiman kumuh yang ada di Semarang memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun, secara umum hal ini dapat diamati berdasarkan hal sebagai berikut (Gamal Rindarjono, 2010) : (1) Fasilitas umum yang kondisinya dari tahun ke tahun semakin berkurang atau bahkan sudah tidak memadai lagi; (2) Sanitasi lingkungan yang semakin menurun, hal ini dicerminkan dengan tingginya wabah penyakit serta tingginya frekwensi wabah penyakit yang terjadi, umumnya adalah DB (demam berdarah), diare, dart penyakit kulit; (3) Sifat extended family (keluarga besar)pada sebagian besar pemukim permukiman kumuh mengakibatkan dampak pada pemanfaatan ruang yang sangat semrawut di dalam rumah, untuk menampung penambahan jumlah anggota keluarga maka dibuat penambahan-penambahan ruang serta bangunan yang asal jadi, akibatnya kondisi rumah secara fisik semakin terlihat acak-acakan.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Kata kumuh identik dengan kemiskinan. Bicara tingginya angka kemiskinan berarti bicara banyaknya warga yang tidak mampu mengakses barang-barang kebutuhan primer maupun sekunder. Lebih prihatin lagi, jumlah daerah kumuh yang bertebaran di sepanjang Nusantara angkanya bukan menurun malah justru meningkat. Sejumlah pemerintah daerah yang kerap melakukan pendataan.
Jumlah penduduk miskin hingga dari bulan ke bulan di tahun ini terus bertambah. Penyebabnya adalah kenaikan harga beras dan sejumlah bahan pangan kebutuhan pokok. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2016 mengalami penurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya dan juga September 2015. Penyusutan angka kemiskinan setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, rendahnya inflasi yakni 1,71 persen selama September 2015 hingga Maret tahun ini. Kedua, tingkat pengangguran terbuka yang turun dari 6,18 persen menjadi 5,50 persen. Ketiga, turunnya harga eceran komoditas beberapa bahan pokok. Terakhir, meningkatnya upah buruh tani dan bangunan.
Meski angka kemiskinan menurun, namun kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin semakin tinggi. Dibuktikan dengan meningkatnya nilai indeks kedalaman. Menurut Kepala BPS, Suryamin, indeks tersebut mengindikasikan rata-rata pengeluaran penduduk miskin menjauhi garis kemiskinan sebesar Rp 345.386/kapita/bulan.
Peran negara yang minimalis di negara kapitalis, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhinya rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemdian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Di mana negara memberlakukan prinsip “survival of the fittest”, rakyat dibiarkan bertarung sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan negara hanya sebagai regulator yang minim campur tangan menolong hajat hidup rakyatnya sendiri. Sedangkan rakyatnya pun dibebani berbagai pungutan pajak yang memberatkan. Inilah rezim jibayah, penghisap darah rakyat, sekaligus mulkan jabariyyan, penguasa kejam yang menindas membiarkan rakyatnya sengsara.[]