Kenapa Harus Tolak Ahok? Sebuah Catatan Diskusi Publik Tolak Pemimpin Kafir

Aksi bentang spanduk tolak ahok di masjid depan kantor walikota Jaktim (2)Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat, Ketua Pusat Bantuan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia )

Pada Ahad, 28 Agustus 2016 bertempat di Graha Tarum Barat, Jl. Ir. H. Djuanda, Bekasi, penulis berkesempatan menghadiri agenda Halqah Islam dan Peradaban yang diselenggarakan oleh DPD II HTI Bekasi. Dalam forum diskusi yang mengambil tema “Kaum Muslim Haram dikuasai Non Muslim, Tolak Pemimpin Kafir”, Penulis menjadi salah satu nara sumbernya. Selain penulis, hadir juga Ust. HM. Ismail Yusanto selaku Jubir HTI dan Ust Abu Al Idz, LC, dari Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB).

Diskusi diselenggarakan dalam rangka menyikapi Pilkada langsung tahun 2017, khususnya di DKI Jakarta dimana Gubernur Petahana, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), diketahui akan maju menjadi salah satu kandidat calon.

Pada sesi pemaparan, moderator menanyakan kepada penulis perihal apakah isu SARA dalam Pilkada DKI merupakan isu hukum atau isu politik? Apakah kaum muslimin bermasalah secara hukum, jika menyatakan menolak pemimpin kafir ?

Pada kesempatan yang baik tersebut, sebelum menjawab pertanyaan moderator, penulis menyampaikan beberapa pengantar sebagai berikut:

Pertama, kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa di negeri ini telah dilakukan secara terbuka, terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling (Jawa: tanpa ditutup-tutupi), secara nyata telah menimpakan berbagai kerusakan dan bala di tengah-tengah umat.

Kedua, umat pada saat yang sama tidak mendapati penguasa yang ada sebagai pelayan dan pengurus urusannya, yang mengatur umat untuk mewujudkan kemaslahatannya, bergerak bersama dan ditengah-tengah umat menyelesaikan seluruh problematika yang menimpanya. Justru sebaliknya, ada anomali kebijakan antara penguasa dengan rakyat, rakyat berkehendak sesuatu penguasa berkehendak lain. Rakyat ingin BBM turun, penguasa justru menaikkan BBM. Dan seterusnya.

Ketiga, mengenai kedzaliman yang dipertontonkan secara telanjang dan terang-terangan oleh penguasa, maka umat juga harus mengambil sikap melakukan perlawanan secara terbuka dan terang-terangan, melakukan serangkaian serangan dan pukulan yang mematikan pada kekuasaan yang ada, hingga kekuasaan itu lemah, limbung dan jatuh. Tidak zamannya lagi umat melakukan kritik secara sembunyi-sembunyi, melakukan gosip politik, apalagi membokong kekuasaan dari belakang.

Keempat, oleh karenanya harus ada gerakan politik yang diinisiasi partai politik, untuk menggerakan umat yang tertidur, agar ikut dan turut serta menceburkan diri dalam kancah perjuangan politik, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama. Umat dimana di dadanya menghujam akidah Islam, wajib bergerak bersama-sama mengoreksi kekuasaan yang Dzalim, sekaligus memperjuangkan kekuasaan yang adil, diridloi Allah SWT, sehingga terwujudlah negeri yang baldatun, toyyibatun, wa Robbun Ghaffur.

Adapun beberapa pertanyaan dalam diskusi, menarik untuk dielaborasi lebih lanjut melalui tulisan ini. Pada pokoknya, menolak ahok sebagai pemimpin Jakarta bukanlah pelanggaran hukum. Menolak ahok adalah manifestasi akidah Islam, sekaligus upaya dan ikhtiar maksimal untuk mewujudkan kemaslahatan umum di ibukota Jakarta.

Isu SARA dalam Pilgub DKI Jakarta, isu Hukum atau Politik ?

Relawan Teman Ahok, tak terkecuali gabungan partai koalisi pendukung ahok (Golkar, Nasdem dan HANURA), secara simultan menggelindingkan isu agar pilgub berjalan fair dan tidak ada pihak-pihak yang mengangkat isu SARA (baca: Suku, Agama, Ras Antar Golongan). Bisa dipahami memang, isu SARA jika menggelinding dan menjadi bola liar, dikhawatirkan akan menggerus elektabilitas Ahok yang notabene Kafir dan Etnis China.

Maka diskursus hororisasi konflik horisontal akibat bergulirnya isu SARA, menjadi sarana halus untuk memalingkan dan menjauhkan umat dari keterikatan pada akidah dan syariahnya. Dalam Islam, tidak ada perdebatan dikalangan ahli ilmu bahwa syarat seorang pemimpin harus seorang muslim, laki-laki, berakal, baligh, merdeka, adil dan memiliki kemampuan.

Isu SARA ini diharapkan akan memalingkan kaum muslimin dari keterikatan pada syariah Islam dalam soal kepemimpinan, khususnya pemimpin bagi kaum muslimin harus seorang muslim. Dengan isu SARA, umat di takut-takuti seolah-olah jika memilih karena dorongan akidah dan ketaatan terhadap syariah dianggap rasis dan SARA.

Padahal jika telaah lebih lanjut jumlah penduduk provinsi DKI Jakarta mayoritas muslim. Sehingga dengan logika Demokrasi dimana suara rakyat suara Tuhan, jika seluruh umat Islam di Jakarta memilih pemimpin berdasarkan keterikatan akidah dan hukum syariah, sudah dipastikan ahok tidak akan mungkin memenangi kontestasi pilgub DKI Jakarta.

Maka isu SARA jika ditilik dari motivasi strategi Pilkada, lebih kental nuansa politiknya ketimbang isu yang dipandang murni opini penegakan norma hukum. Dengan bergulirnya isu SARA, umat diarahkan untuk melakukan penilaian kontestasi kepemimpinan pada standar dan parameter normatif.

Pemimpin yang adil, tegas, jujur, Anti korupsi,  adalah jargon yang ingin diusung ditengah-tengah umat, dimana ahok menyodorkan diri sebagai sosok yang layak dipilih atas dasar kriteria tersebut. Meskipun, kepemimpinan ahok yang diklaim anti korupsi, jujur, tegas, menyisakan banyak muskilah. Jika tidak kareba peranan media dan kerja-kerja pencitraan, niscaya klaim ini runtuh dan tidak menyisakan ingatan sedikitpun.

Sayangnya ada saja segelintir dari golongan umat ini, yang terbawa opini sesat. Memandang bahwa pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang Dzalim. Pemimpin kafir yang bersih lebih baik daripada pemimpin muslim yang korup. Pertanyaannya, sudah sedemikian parahkah kaum muslimin? Tidak ada lagikah uang tersisa -dari umat yang disebut Khairul ummah ini- memiliki pribadi yang Shalih, yang adil, yang memikirkan urusan rakyatnya ?

Secara hukum, isu SARA secara tegas diatur dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pada ketentuan pasal 28 ayat (2), yang menyebutkan:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Dalam ketentuan pidana pasal 45 ayat (2), pelanggaran ketentuan pasal 28 ayat (2) ini diancam dengan pidana penjara 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Jika diperhatikan unsur pada pasal 28 ayat (2) UU ITE, tidak ada satupun unsur pidana yang dapat mengkuantifikasi menolak pemimpin kafir sebagai tindakan SARA yang melanggar hukum.

Menyerukan isu Tolak Pemimpin Kafir bukan didasari atas dasar kebencian pada suku tertentu, ras tertentu, etnis tertentu atau bahkan agama tertentu. Menolak pemimpin kafir dasarnya adalah keterikatan seorang muslim kepada akidah Islam dan syariahnya, dimana Allah SWT telah melarang tegas kaum muslimin haram memilih pemimpim kafir.

Dalam hal ini, Allah SWT telah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS. 4. An-Nisaa’ : 144).

Apalagi jika isu Tolak Pemimpin Kafir dianggap melanggar ketentuan pasal-pasal dalam KUHP. Pasal-pasal penistaan (310 ayat 1), penistaan dengan surat (310 ayat 2), fitnah (311), penghinaan ringan (315), perbuatan fitnah (318), kesemuanya tidak relefan jika dipaksakan untuk menuntut secara hukum pihak-pihak yang menyerukan tolak ahok, tolak pemimpin kafir.

Pasalnya, menyebut ahok kafir bukan fitnah, bukan pula penghinaan apalagi pencemaran nama baik. Sebutan Kafir, adalah terminologi fiqh Islam yang merujuk kepada ahlul kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Kaum muslimin memberi label kafir pada umat Yahudi dan Nasrani karena al Qur’an yang memberi label demikian. Ketika penyebutan kafir ini disampaikan, bukan berarti atas dorongan fitnah dan kebencian, tetapi murni perintah syara’.

Apalagi jika dikaitkan secara fakta bahwa ahok banyak menimbulkan kegaduhan dan masalah di DKI Jakarta. Sepanjang disertai bukti dan fakta maka tindakan tertentu tidak bisa dianggap fitnah yang karenanya dapat dituntut secara hukum. Jika ada yang menyebut Ahok Tukang Gusur, ada bukti Ahok memang melakukan penggusuran di kampung luar batang, Kalijodo, dan rencana di bukit duri serta tidak menutup kemungkinan di wilayah lain di Jakarta.

Jika ada yang menyebut ahok mulut kotor, terbukti ahok banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak pantas, yang dikeluarkan seorang pejabat publik yang semestinya menjadi contoh dan teladan.

Jika ada yang menyebut ahok tidak becus bekerja, boleh-boleh saja karena dimasa kepemimpinannya serapan anggap DKI Jakarta paling buruk. Bahkan, Jokowi sempat menegur ahok karena buruknya kinerja dan serapan anggaran provinsi DKI Jakarta.

Jika ada yang menyebut ahok anti Islam dan anti syiar Islam, terang saja pernyataan ini memiliki argumentasi. Mengingat, pada rezim ahok banyak syiar Islam dibelenggu. Pemotongan hewan Kurban tidak boleh di area masjid dan pinggir jalan, Monas tidak boleh lagi untuk Tablik akbar hanya dengan dalih bikin kotor. Padahal, saat tahun baru Masehi miliaran anggaran APBD DKI digelontorkan untuk mendukung aktivitas maksiat pada momen pergantian tahun. Pasca tahun baruan, sampah menumpuk dimana-mana juga luput dari perhatian.

Jika ahok disebut tukang bikin gaduh, faktanya memang demikian. Ahok diketahui sering ribut dengan politisi di DPRD provinsi DKI Jakarta bahkan dengan pejabat setingkat menteri ketimbang bersinergi untuk membangun Jakarta.

Jika ada yang menyebut ahok tidak becus mengamankan anggaran, terang saja pernyataan ini bukan fitnah tetapi merupakan fakta yang benar dan diketahui masyarakat secara luas. Bagaimana mungkin Pemda DKI bisa melakukan pembelian lahan seharga 648 miliar, padahal lahan tersebut milik sendiri ? Belum lagi hasil audit BPK yang menyebut ada kerugian negara senilai 191 Miliar pada kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras. Ini membuktikan betapa cerobohnya pengelolaan anggaran provinsi DKI Jakarta.

Jika ahok disebut antek kompeni, ini adalah kesimpulan yang dibangun berdasarkan fakta valid terkait kasus reklamasi teluk Jakarta, dimana ahok secara Full Power membela kepentingan para pengembang (baca: kumpeni), dan ngotot proyek reklamasi terus jalan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa isu SARA pada kontestasi pilgub DKI Jakarta murni isu politik yang bertujuan menjauhkan umat dari keterikatan pada akidah dan syariahnya dalam mengambil sikap politik untuk mewujudkan kepemimpinan di Jakarta. Oleh karenanya, jika ada proses hukum atas adanya isu SARA berupa pelaporan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh isu SARA, sudah pasti motivasinya politik. Dalam konteks inilah, penulis mengimbau agar aparat penegak hukum berdiri kokoh diatas pijakan hukum, tidak terbawa arus politik dengan menindaklanjuti setiap aduan pihak-pihak tertentu terkait isu SARA dalam pilgub DKI Jakarta.
Yang harus dilakukan umat ?

Urusan kepemimpinan adalah urusan penting dalam syariah Islam. Saat mangkatnya Baginda Rasululullah Muhammad SAW, para sahabat -semoga Allah meridloi mereka- sempat menunda mengebumikan jenazah rasul. Para sahabat justru menyibukkan diri di Saqifah Bani Saidah untuk bermusyawarah menentukan siapa pemimpin pasca meninggalnya rasul. Padahal, pada banyak hadits rasul berwasiat tentang pentingnya menyegerakan penguburan jenazah. Ini tidak lain karena urgen-nya urusan kepemimpinan, lebih penting ketimbang urusan penyelenggaraan jenazah.

Kepemimpinan DKI Jakarta ini sangat urgen, membawa dampak luas bagi umat serta menjadi parameter kepemimpinan di daerah lain. Maka kampanye tolak ahok harus digelorakan, agar umat tidak jatuh pada maksiat kepemimpinan dengan menjadikan pemimpin kafir sebagai penguasa ibukota.

Dampak pemimpin kafir juga tidak hanya adanya celaan dan dosa yang kelak dipertanggungjawabkan dihadapa Allah di akherat. Tetapi juga didunia menimbulkan dampak kemudhorotan baik dalam urusan agama maupun urusan kemaslahatan dunia.

Jika ahok terus memimpin Jakarta, boleh jadi bukan hanya ibadah Kurban yang dilarang, bisa saja suatu saat umat Islam di DKI Jakarta harus ijin kepada ahok jika ingin sholat berjamaah ke masjid. Jika ahok terus memimpin Jakarta, boleh jadi semua etnis Betawi dan muslim harus hijrah dari Jakarta, semua perkampungan kumuh digusur dan diganti dengan gedung-gedung dan apartemen, sementara penghuninya semua etnis China.

Jika ahok terus memimpin Jakarta, bukan hanya lahan DKI Jakarta yang dibeli oleh anggaran sendiri. Tidak menutup kemungkinan, seluruh aset ibukota digadaikan untuk kepentingan para kumpeni. Jika ahok terus memimpin Jakarta, bisa saja umat Islam yang mulia ini hanya menjadi seperti buih di lautan. Banyak, tetapi tidak berdaya.

Maka seluruh elemen umat Islam baik ormas, parpol, tokoh-tokoh Islam, para ulama, para Habaib, Para Pemuda dan Mahasiswa, Aktivis Buruh dan LSM, para cendekia dan budayawan, serta segenap kaum muslimin harus bergerak bersama-sama untuk menolak ahok. Kesempatan untuk melawan kedzaliman belum tentu muncul dua kali, sementara tangisan dan penyesalan pada saat tertentu sudah tidak berarti. Selagi dinamika dan suasana politik memungkinkah, seluruh umat -dengan kapasitasnya masing-masing, harus berusaha sungguh-sungguh untuk menggagalkan kaum muslimin di Jakarta dipimpin pemimpin kafir.

Meskipun demikian, pada saat yang sama umat harus pula mulai memahami bahwa serangkaian musibah dan bala’ yang menimpa umat ini tidak hanya disebabkan oleh pemimpin Kafir, tetapi juga akibat bercokolnya kepemimpinan kufur (sistem sekuler demokrasi). Selain menolak pemimpin kafir, umat juga wajib memperjuangkan kepemimpinan Islam. Itulah sistem Khilafah, dimana pemimpin kekhilafahan adalah seorang Khalifah yang pasti muslim, ia dibaiat hanya untu menerapkan hukum Allah SWT, bukan hukum yang lain. Wallahu ‘alam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*