Oleh H. Luthfi H.
Kemuliaan dan kenikmatan adalah keniscayaan yang diinginkan manusia dalam kehidupan. Realitasnya nyata seiring dengan eksistensi manusia. Banyak ragamnya, fisik maupun non fisik, mulai dari harta, tahta, dan wanita. Tak normal jika manusia hidup tanpa ada keinginan meraih kemuliaan dan kenikmatan.
Cara manusia meraihnya pun berbeda-beda. Ada yang sesuai dengan tuntunan Rasul juga tidak jarang yang menghalalkan segala cara. Sehingga sangat wajar jika kemudian ada yang meraih dan merasakan kemuliaan dan kenikmatan yang hakiki, dan juga tidak jarang justru semakin terjauhkan dari kemuliaan dan nikmat yang sesungguhnya.
Adalah Sufyan Ats Tsauri –semoga Allah memberikan rahmat kepada nya– (dalam Jawami’ul Kalim wa Nafaisul Hikam dari Kitab al Mujalasati wa Jawahirul Ilmi) mengingatkan kita cara memperoleh kemuliaan yang hakiki. Kemuliaan yang nyata, lahir dan batin, mulai di dunia hingga akhirat. Yakni kemuliaan yang bersumber dari Dzat yang Mulia, Allah SWT.
Berkata rahimahullah–;
كان يقال من أراد عزا بلا عشيرة، وهيبة بلا سلطان، فليخرج من ذل معصية الله عز وجل إلى عز طاعته.
“dikatakan bahwa siapa saja yang ingin memperoleh kemuliaan tanpa bantuan keluarga (nepotisme), dan kehebatan tanpa bantuan penguasa (kolusi), maka hendaklah ia segera menjauhi kehinaan kemaksiatan kepada Allah SWT, dan segera ta’at kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Kunci dari kemuliaan yang hakiki realitas nya memang kurang lazim saat zaman serba materi seperti sekarang ini. Saat orientasi hidup diseret oleh ekonomi pasar. Saat mata hati dan keimanan seringkali dilupakan dalam memandang dan menimbang.
Namun nyatanya, kemuliaan yang bersandar pada materi semata niscaya akan sirna. Nepotisme dan kolusi adalah materi. Kemuliaan jenis ini bukan hakiki, akan sirna dan di Yaumil Akhir belum tentu memberi kebaikan.
Kemuliaan yang hakiki dan abadi adalah kemuliaan yang ditopang oleh sesuatu yang hakiki. Yakni Allah SWT. Caranya sederhana –meski tidak muda– adalah selalu Ta’at kepada Allah SWT.
Sementara dalam persoalan kenikmatan, Ibrahim bin Ahdam mengingatkan kita agar jangan mencari pemberi nikmat selain Allah.
قال إبراهيم بن أدهم: لا تجعل بينك وبين الله منعما عليك، إذا سألت فاسأل الله أن ينعم عليك، ولا تسأل المخلوقين، وعد النعم منهم مَغرما.
Berkata Ibrahim bin Adham –semoga Allah merahmatinya–; “Jangan ada diantara mu dengan Allah ada pemberi nikmat (jangan berpsepsi ada pemberi nikmat hakiki selain Allah). Jika engkau maha meminta sesuatu kepada-Nya, bermohonlah agar Ia menganugerahkan nikmat-Nya. Niscaya Allah akan memberikan nikmat Nya kepada mu.
Dan jangan engkau memohon kepada makhluk-makhluk Nya. Karena nikmat yang diberikan makhluk tidak hakiki dan cenderung merusak”.
Kuncinya ada pada keyakinan. Yakni keimanan dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang layak kita mintai segala kenikmatan. Karena sejatinya memang Dialah satu-satunya pemberi nikmat.
Itulah karena nya di dalam shalat kita selalu mengulang dan mengukuhkan, bahwa hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta ditetapkan jalan yang lurus, yakni jalan mereka yang selalu diberi nikmat oleh Allah SWT. Bukan jalan orang-orang yang tersesat. Dan juga bukan jalan orang-orang yang dimurkai.Somoga [].