Tanya :
Ustadz, apakah benar Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin kafir boleh asalkan menegakkan keadilan?
Jawab :
Tidak benar Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin kafir hukumnya boleh asalkan adil. Yang benar, Ibnu Taimiyah sekedar mengutip ungkapan orang lain, bukan menegaskan pendapatnya sendiri. Atau sekedar menekankan betapa pentingnya keadilan dengan ungkapan hiperbolik (mubaalaghah), dan bukan sedang menyatakan pendapat fiqihnya.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada pemahaman yang sahih terhadap dua ungkapan Ibnu Taimiyah secara otentik sbb; pertama, Ibnu Taimiyah berkata :
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
”Maka sesungguhnya manusia tidak berselisih bahwa akibat kezaliman adalah kehinaan dan akibat keadilan adalah kemuliaan. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski itu negara kafir, dan tak akan menolong negara yang zalim meski itu negara mukmin.” (fa inna an naas lam yatanaaza’uu anna ‘aaqibat az zulm wakhiimah wa ‘aaqibat al ‘adli kariimah, wa li-haadza yurwa Allah yanshuru ad daulah al ‘aadilah wa in kaanat kaafirah wa laa yanshuru ad daulah az zaalimah wa in kaanat mu`minah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, juz 28 hlm. 63).
Kedua, Ibnu Taimiyah berkata :
وأمورالناس تستقيم فى الدنيا مع العدل الذى فيه الاشتراك فى أنواع الاثم أكثر مما تستقيم مع الظلم فى الحقوق، وإن لم تشترك فى إثم ، ولهذا قيل إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة ، ولا يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة
”Segala urusan manusia akan lebih berjalan lurus di dunia asalkan disertai keadilan meski masih bercampur dengan macam-macam dosa, daripada disertai kezaliman dalam menunaikan hak-hak meski tidak dicampuri dosa. Oleh karena itu, dikatakan sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun itu negara kafir dan sebaliknya Allah tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun itu negara muslim.” (wa umuurun naas tastaqiimu fid dun-ya ma’a al ‘adli alldziy fiihi al isytiwak fii anwaa’ al itsmi aktsaru mimmaa tastaqiimu ma’a az zulmi fii al huquuq. wa li-haadza qiila inna Allah yuqiimu ad daulah al ‘aadilah wa in kaanat kafirah wa laa yuqiimu ad daulah al zhaalimah wa in kaanat muslimah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, juz 28 hlm.146).
Dari dua ungkapan tersebut, secara jelas Ibnu Taimiyah telah mengutip ungkapan pihak lain, bukan menegaskan pendapatnya sendiri. Ini nampak dari perkataannya yang menggunakan kalimat pasif, yaitu wa li-haadza yurwa (oleh karena itu diriwayatkan) dan perkataanya wa li-haadza qiila (oleh karena itu dikatakan). Ibnu Taimiyah tidak mengatakan wa li-haadza qultu (oleh karena itu saya berpendapat). Maka adalah suatu kebohongan jika dikatakan Ibnu Taimiyah berpendapat pemimpin kafir (atau negara kafir) boleh asalkan adil.
Ungkapan Ibnu Taimiyah tersebut dalam bahasa Arab disebut mubalaghah, yaitu ungkapan hiperbolik )melebih-lebihkan) untuk menekankan betapa pentingnya keadilan, dengan ungkapan yang makna harfiyahnya boleh jadi tidak ada faktanya atau bertentangan dengan hukum syara’. Ini sama dengan sabda Rasulullah SAW agar kita mendengar dan mentaati pemimpin meskipun dia adalah budak Habasyah yang rambutnya seperti kismis. (HR Bukhari no 6273). Kata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari (13/132), yang dimaksud “budak Habasyah” adalah “bekas budak Habasyah” sebagai ungkapan mubalaghah, karena ulama sepakat budak tidak boleh menjadi pemimpin.
Maka demikian pula, ungkapan Ibnu Taimiyah tersebut hanya sekedar mubalaghah, yaitu tidak dapat diartikan secara harfiyah bahwa pemimpin kafir boleh asalkan adil, karena ulama telah sepakat bahwa pemimpin kafir itu tidak boleh. (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hlm. 208; Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 6/315).
Apalagi Ibnu Taimiyah sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tujuan kekuasaan adalah untuk menerapkan syariah Islam dan mengatur kehidupan dunia dengan syariah Islam. Jelas seorang pemimpin kafir mustahil mewujudkan tujuan tersebut. Dalam kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah Ibnu Taimiyah mengatakan :
فالمقصود الواجب بالولايات إصلاح دين الخَلْق، الذي متى فاتَهم خسروا خسرانًا مبينًا، ولم ينفعهم ما نعموا به من الدُّنيا، وإصلاح ما لا يقوم الدِّين إلاَّ به من أمر دنياهم
”Maka maksud yang wajib dari kekuasaan, adalah memperbaiki agama manusia (ish-laah diin al khalq), yang apabila manusia luput darinya maka mereka akan merugi dengan kerugian yang nyata dan tak bermanfaat sedikitpun kenikmatan yang mereka peroleh di dunia. Kekuasaan juga untuk memperbaiki urusan dunia mereka yang urusan agama tak dapat tegak tanpa urusan dunia itu.” (Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, hlm. 13).
Jelas bahwa tujuan kekuasaan tersebut tidak mungkin terwujud jika pemimpin umat adalah orang kafir. Bagaimana mungkin pemimpin kafir akan menerapkan syariah Islam sementara dia sendiri tidak beriman kepada Islam? Ini semakin menegaskan bahwa tidak benar Ibnu Taimiyah berpendapat pemimpin kafir boleh asalkan adil. Wallahu a’lam. [] M. Shiddiq Al-Jawi