Tolak Pemimpin Kafir

DSC_0132Oleh: Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia

Sebagaimana pemberitaan di republika.co.id (5/9) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama umat melakukan aksi menolak pemimin kafir . Turut bersama hadir Forum RTRW , Front Pembela Islam (FPI), Laskar Luar Batang. Mereka menolak sikap arogansi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pada kesempatan itu, para anggota HTI, FPI, Forum RTRW, Laskar Luar Batang dan sejumlah organisasi kemasyarakaan lainnya berunjuk rasa di sekitar pintu Silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Andi menegaskan, masyarakat DKI Jakarta mengecam pemimpin yang sewenang-wenang dan dzalim terhadap rakyat kecil.

Juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto mengajak masyarakat tidak memilih Ahok pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017 mendatang. “Kami menyerukan kepada umat Islan di wilayah DKI Jakarta khususnya untuk bersatu, bahu-membahu, berjuang menolak (calon) kepimpimpinan Ahok,” kata Ismail.

Aksi digelar mulau pukul 09.00 WIB dan baru selesai sekitar pukul 12.00 WIB, Minggu (4/9/2016). Sebanyak 20 ribu orang mengikuti aksi ini . Mereka datang dengan bus-bus yang diparkir di sekitar Monas. Dalam aksinya, peserta membentangkan spanduk bertulis “Haram Memilih Pemimpin Kafir”.

Sikap tegas seluruh ulama dan umat Islam menolak pemimpin kafir adalah bukti ketundukan mereka untuk mewujudkan tuntutan syariah. Allah SWT telah menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.” (TQS an-Nisa’ [04]: 141).

Ayat ini merupakan kalimat berita [kalam al-khabar] yang berisi larangan (nahy). Ini karena adanya huruf nafyu al-istimrâr “lan” yang bermakna “penafian untuk selamanya”. Artinya, Allah SWT melarang untuk selamanya orang kafir menguasai orang Mukmin. Karena itu, berdasarkan ayat ini semua ulama sepakat, bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/641).

Selain al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Kalau kemudian tampak kekufuran pada dirinya, maka dia wajib diganti.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VI/315).

Ibn Mundzir juga menyatakan, “Telah sepakat para ahli ilmu yang menjadi rujukan, bahwa orang kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan atas kaum Muslim dalam urusan apapun.” (Ibn al-Qayyim, Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, II/787).

Selanjutnya tugas Seorang pemimpin muslim adalah bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat, baik per-individu (seperti sandang, pangan, dan papan) maupun kolektif (seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan atau keselamatan masyarakat). Pejabat harus memastikan bahwa tidak ada rakyatnya yang kelaparan, telanjang, dan menjadi gelandangan. Pejabat harus memfasilitasi agar para pria memiliki pekerjaan supaya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam hal kebutuhan kolektif rakyat, pejabat negara harus berpikir keras untuk bisa memenuhi kebutuhan itu sehingga rakyat tercukupi kebutuhannya secara gratis. Penguasa yang demikian disebut penguasa yang mengurusi rakyat (sulthân ri‘âyah). Sebaliknya, jika penguasa hanya memikirkan bagaimana menarik pajak dari rakyat, itu namanya penguasa tukang palak (sulthân jibâyah).

Sikap amanah para pemimpin adalah semata-mata untuk melindungi rakyat dan tidak menipu mereka. Pejabat harus melindungi seluruh kepentingan rakyat. Mereka harus menjaga rakyat dari serangan pihak luar yang membahayakan seluruh kepentingan rakyat. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa imam atau pemimpin itu laksana perisai; mereka harus betul-betul melindungi rakyat. Mereka tidak menipu rakyat demi kepentingan pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan asing. Rasulullah saw. bersabda:

Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tiga Hal Penting Dalam Kepemimpinan

Berbicara tentang kepemimpinan, ada tiga hal yang harus dimiliki: (1) kualitas dan integritas orang yang memimpin (person); (2) sistem yang diterapkan; dan (3) sikap pihak yang dipimpin. Pertama: pemimpin. Islam menegaskan pentingnya kualitas dan integritas diri pemimpin. Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi menjadi pelayan masyarakat yang dicintai dan mencintai dengan syariah Islam, bukan dengan mengeksploitasi ambisi.

Kedua: sistem. Nabi Muhammad saw., jauh sebelum diangkat sebagai nabi, sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari ‘Al-Amin’. Namun, Allah Swt. tidak hanya mencukupkan pada karakter pemimpin semata. Dia menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Beliau mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Tentu diperlukan sistem dan aturan yang juga baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat Yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem Kekhilafahan. Ketika kerusakan terjadi, manusia disuruh kembali pada aturan dan hukum-Nya.

Bukankah Dia Yang Mahaperkasa menyatakan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, jalan Allah)”. (QS ar-Rum [30]: 41).

Terakhir: koreksi dari rakyat, termasuk ulama. Pemimpin bukanlah malaikat. Karenanya, ia bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kezaliman akan menjadi hal yang dianggap wajar belaka. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Kata Nabi saw., “Siapa saja yang melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah, menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan perkataan ataupun perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat mereka masuk.” (Lihat: Ath-Thabari dalam At-Tarikh).

Ringkasnya, baik-buruk, benar-salah, dan kuat-lemah pemimpin bergantung pada pemimpin itu sendiri, sistem yang diembannya, dan sikap dari masyarakat yang dipimpinnya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*