Selamatkan Anak Indonesia!

kekerasan seksual anakOleh: Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Kasus kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data yang dimiliki Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, peningkatan tersebut bisa berlanjut pada tahun ini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada Harian Terbit, Minggu (14/6/2015).

Dia memaparkan, 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus.

Pemerintah menemukan, aktivitas kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) telah menyasar anak-anak di bawah umur. Modusnya, kelompok itu mengiming-imingi hadiah agar anak-anak tersebut bergabung. “Ada yang karena faktor lingkungan, tetapi sebulan lalu saya datang ke Lombok dan (kelompok itu) mensasar anak-anak SMP kurang mampu. Mereka dikasih gift (hadiah),” kata Mensos Khofifah Indar Parawansa Khofifah di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (16/2).

Menurut Menteri Khofifah, setelah diberi hadiah oleh kelompok LGBT, anak-anak tersebut mengalami perubahan perilaku. Mereka cenderung berubah dari kodratnya. “Dua minggu setelah itu, misalnya, laki-laki sudah berbeda. Mereka pakai lipstik,” ujarnya. Menteri Khofifah juga mengungkap temuan praktik perdagangan manusia dalam kelompok LGBT. Tak sedikit di antara penganut LGBT itu awalnya korban. “Ternyata mereka juga jadi korban perdagangan orang. (http://www.harnas.co/2016/02/17/lgbt-menyasar-anak-anak-di-bawah-umur)

Berdasarkan survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang diluncurkan pada 2014 menunjukkan bahwa anak laki-laki dua kali lebih sering mengalami kekerasan seksual maupun kekerasan secara psikis. Namun anak laki-laki lebih jarang pergi ke unit pelayanan pengaduan.

“Mereka jarang melapor diduga karena ‘budaya’ kita yang mendorong anak laki untuk kuat dan tidak boleh cengeng, tapi akhirnya mereka yang menjadi korban menjadi dua kali lipat (dibanding perempuan),” kata Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA Pribudiarta Nur Sitepu kepada Republika.co.id Selasa (6/9).

Menurut Hidayat, wajar apabila pemerintah harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang kedaruratan perlindungan terhadap anak-anak Indonesia.

“Pemerintah mengeluarkan aturan-aturan terkait dengan kejahatan anak. Yang diperlukan saat ini adalah pemerintah lebih serius dalam melindung anak-anak Indonesia,” tuturnya. Sementara itu, terkait rencana hukuman kebiri, Hidayat lebih setuju adanya pemberatan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual.

“Predator anak-anak itu hukumnya bisa diperberat sampai hukuman mati. Hukuman mati itu pun sudah ada dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan bagi mereka yang melibatkan anak dalam kejahatan narkoba itu bisa dihukum mati,” katanya. Lebih lanjut, Hidayat mengatakan apabila yang melibatkan anak-anak dalam kejahatan narkoba bisa dihukum mati apalagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap anak-anak secara langsung.

“Misalnya, membunuhnya, memperkosanya, dan menularinya dengan virus HIV-AIDS. Itu kan lebih jahat dari narkoba. Jadi kalau hukuman mati itu sudah ada dalam UU Perlindungan Anak itu saja dipakai sebagai bagian dari pemberatan bagi predator anak-anak,” kata Hidayat. (rimanews.com/nasional/peristiwa/read/20160216/262106/Waspada-LGBT-Menyasar-ke-Anak-anak)

Kekerasan seksual pada anak sesungguhnya adalah masalah yang diakibatkan oleh penerapan sistem hidup sekuler oleh negara ini.  Kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang salah yang telah berkembang di masyarakat.  Pelaku kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban, menggambarkan keadaan masyarakat yang sakit.  Kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri. Semua merupakan buah dari pohon sistem kehidupan sekarang yaitu demokrasi liberal.

Nilai kebebasan yang dikandung sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia. Hingga seorang ayah kandung tega menggauli darah dagingnya sendiri.  Membuat saudara kandung mengeluarkan hasrat buruk terhadap saudaranya sendiri.  Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan jasmani sesuka hatinya. Liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu.

Pada sisi lain, maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan bagi anak-anak.   Bahkan orang tua yang seharusnya menjadi pelindung  justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak.  Hal ini menggambarkan bahwa keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman bagi anak. Kondisi ini menjadi makin berat ketika orangtua termasuk ibu sibuk bekerja. Kesibukan orang tua membuatnya lupa mengawasi anaknya (Republika,15/1).  Bahkan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait  menyatakan maraknya kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga dekat, adalah indikasi dari keluarga yang gagal.  Oleh karena itu dibutuhkan keluarga yang perhatian kepada anak dan keluarga ramah anak (VIVAnews, 13/1).

Namun saat ini, keluarga semacam itu susah diwujudkan.  Kemiskinan membuat kaum ibu harus ikut bekerja mencari nafkah, sehingga mengabaikan perannya sebagai pendidik anak.  Sulitnya kehidupan mengakibatkan tekanan psikologis pada orang tua, sehingga memicu terjadinya kekerasan kepada anak.

Fenomena kekerasan seksual anak yang dilakukan oleh orang terdekat cukup menjadi bukti bahwa keluarga dan masyarakat sudah jauh meninggalkan tata aturan pergaulan Islami.  Hal ini terjadi tentu akibat sekulerisme yang telah menggurita hingga merusak tatanan pergaulan dalam keluarga.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*