Memperdaya Perempuan dengan UMKM
Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Inklusivitas yang ditargetkan dalam pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga menyasar kalangan perempuan. UNWomen – entitas PBB untuk pemberdayaan perempuan dan anak-anak perempuan- telah melakukan kampanye untuk mempromosikan wirausaha perempuan. Pada 15 Juli 2016, markas PBB meluncurkan Global Coalition of Young Women Entrepreneurs (Koalisi Global Wirausaha Perempuan Muda). Deputi Direktur Eksekutif UNWomen, Lakshmi Puri menyatakan bahwa mendorong kewirausahaan bagi perempuan muda tidak hanya untuk menjadi pencari nafkah tetapi juga penting untuk mencapai Agenda 2030 dan memberantas kemiskinan. [1]
Perempuan ASEAN : Harapan Pertumbuhan Ekonomi Kapitalis
Untuk memicu keterlibatan perempuan Asia Tenggara dalam masalah ekonomi dan ketenagakerjaan, Sekretariat ASEAN, UNWomen kawasan Asia-Pasifik dan Yayasan Politik Jerman Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) dengan dukungan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia menerbitkan laporan penelitian tentang Proyeksi Dampak Gender terhadap Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sekalipun perempuan ASEAN sudah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian ASEAN, tapi banyak kendala untuk memastikan partisipasi yang setara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi ASEAN. Meskipun beberapa negara telah membuat undang-undang tentang kesempatan yang sama, namun perempuan ASEAN memiliki akses terbatas ke kredit formal. Belum lagi masih banyak tradisi dan kebiasaan yang membatasi peluang ekonomi mereka. [2]
“Setiap penghalang untuk pemberdayaan perempuan adalah “kesempatan yang tidak terjawab bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,” kata Simon Merrifield, Duta Besar Australia untuk ASEAN. Masih banyak yang harus dilakukan jika perempuan menikmati kesetaraan dan berpartisipasi dalam MEA. Partisipasi anak perempuan di sekolah harus terus ditingkatkan, memastikan lingkungan yang kondusif bagi perempuan dalam angkatan kerja -misalnya melalui pemberian cuti bagi orangtua- , dan membuat program bimbingan untuk menggeser norma-norma yang tidak sejalan dengan ide gender. Sedangkan optimalisasi pemberdayaan untuk kepentingan MEA, ditempuh dengan pemberian akses kredit, teknologi dan pelatihan kejuruan non-tradisional. [1] Sejumlah rekomendasi tersebut kian membuktikan bahwa keterlibatan perempuan ASEAN dalam ekonomi hanyalah akal-akalan untuk mencari pemain dan obyek pemasaran dalam perdagangan regional dan nasional.
Kuliah umum Sri Mulyani –yang saat itu menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia- di Fakultas Hukum UI 26 Juli 2016 menyoroti secara khusus ketimpangan yang dialami perempuan dan anak perempuan. Sri Mulyani mengutip laporan terkini World Economic Forum (WEF) tentang Global Gender Gap yang menjadikan Indonesia berada pada peringkat 114 dari 145 negara terkait partisipasi peluang ekonomi perempuan. Ketimpangan peluang bagi perempuan dan anak perempuan berdampak langsung pada peluang ekonomi mereka, dan secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan untuk mengambil keputusan bagi kehidupan mereka dan keluarga mereka. [1]
Padahal, Gubernur Bank Indonesia -Agus Martowardojo- menyebut kaum perempuan sebagai kelompok yang cocok mengembangkan sektor kreatif dan UMKM. Agus menjumpai industri kreatif berskala kecil di seluruh wilayah Indonesia, penggeraknya adalah kaum perempuan. “Kami ingin menggarisbawahi dua kalimat kunci, yakni pengembangan UMKM dan pengembangan ekonomi kreatif. Di dua area ini, Indonesia mempunyai potensi yang besar sekali, khususnya di kaum wanita Indonesia. Apabila kaum wanita Indonesia bisa meningkatkan rata-rata produktivitasnya, maka akan memberi sumbangsih yang tiada tara untuk Indonesia,” kata Agus. [2] Karenanya, semua hambatan yang mengungkung kesempatan perempuan dalam berekonomi harus dienyahkan, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Apalagi Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto Wiyogo, mengatakan, 80 persen UMKM di Indonesia dikelola oleh perempuan. Sayangnya, meskipun memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, pelaku UMKM masih sulit mengakses pembiayaan dari perbankan. Mengatasi masalah ini, Kowani melakukan kerja sama dengan sejumlah bank, seperti Bank Mandiri, BRI, dan Panin Bank agar memudahkan akses terhadap perbankan, tetapi juga mengedukasi pelaku usaha perempuan bagaimana cara dan standar mengajukan kredit ke bank.[3]
Kemandirian Ekonomi Perempuan Cermin Kesetaraan Gender
Pada hakikatnya, membuat perempuan mandiri secara ekonomi, bukan hanya tujuan berekonomi saja. Agenda gender adalah satu kesatuan agenda yang memiliki tujuan utama menghancurkan bangunan keluarga ideal. Barat benar-benar ingin memastikan bahwa tatanan masyarakat masa depan adalah masyarakat inklusif yang menjamin pemberdayaan perempuan dan para gadis secara total. Tahun 2015 dianggap sebagai sejarah karena kesetaraan gender diadopsi oleh semua pemerintah dan ditempatkan di jantung Agenda 2030/SDGs (Sustainable Development Goals).[4] Sidang Commission on the Status of Women (CSW) ke-60 pada 14 – 24 Maret 2016 di Kantor Pusat PBB, New York turut mengambil tema Women’s Empowerment and The Link to Sustainable Development. [5] Ya, perempuan harus menjadi motor penggerak roda perekonomian kapitalis yang kolaps melalui agenda-agenda yang berkesinambungan.
Tujuan ke-5 agenda SDGs, tidak hanya mempromosikan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Namun itu adalah komitmen yang menjamin keadaan dan status perempuan dan anak perempuan dalam keragaman. Demi mencapai kesetaraan gender, ada 6 target yang ditujukan untuk mengatasi hambatan struktural penerapannya, yakni :
(1) mengakhiri semua bentuk diskriminasi dalam hukum dan praktek
(2) menghilangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk praktek-praktek yang berbahaya
(3) partisipasi yang setara dan kepemimpinan di semua tingkat politik, kehidupan ekonomi dan masyarakat
(4) mengenali dan mendistribusikan pekerjaan perawatan dibayar, memberikan pelayanan publik, infrastruktur dan perlindungan sosial
(5) menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi dan hak reproduksi
(6) mempromosikan hak-hak ekonomi perempuan dan kemandirian serta kepemilikan dan kontrol atas sumber ekonomi seperti tanah, properti, teknologi dan jasa keuangan.[6]
Tahun 2030 dianggap sebagai tahun kritis bagi pencapaian kesetaraan gender (gender equality) untuk mewujudkan target Planet 50-50. Planet 50-50 (baca : fifty –fifty) adalah cerminan kesetaraan penuh bagi peran dan partisipasi perempuan. Karenanya, setiap pemerintah dituntut untuk membuat komitmen nasional untuk mengatasi tantangan yang menghambat pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. [7]
Maka Indonesia, yang telah meratifikasi semua kesepakatan gender terus menerus meneguhkan komitmennya melalui program-program yang sesuai arahan internasional. Deputi Direktur Eksekutif UN Women, Lakshmi Puri, saat berkunjung ke Jakarta (30/3/2016) menyatakan Indonesia adalah negara yang paling gencar mengampanyekan kesetaraan dan keadilan jender di antara negara-negara di Asia Tenggara.[8] Berikut ini adalah bukti keseriusan Indonesia untuk melaksanakan agenda-agenda gender.
(1). Pengarusan dan Kampanye Kesetaraan Gender
Pujian Lakhsmi Puri sangat wajar, karena terbukti Indonesia sangat aktif mengadvokasi semua kebijakan berbasis gender, tanpa pernah menghitung akibat buruk yang diakibatkan penerapan ide-ide kesetaraan ini. Salah satu program yang diikuti Indonesia adalah kampanye global He for She yang dibentuk untuk meningkatkan peran laki-laki menuju kesetaraan gender. Kampanye yang diluncurkan di Markas PBB, New York 20 September 2014 itu menargetkan satu milyar laki-laki dan anak laki-laki untuk menjadi agen perubahan kesetaraan gender selama 12 bulan ke depan setelah peluncurannya.[9]
Di Indonesia, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah telah menandatangani kesepakatan untuk membawa kampanye ini ke wilayah masing-masing. Di level nasional, Puri menggarisbawahi pentingnya reformasi di bidang hukum agar tidak bias jender. Karena itu, Puri menekankan pentingnya mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).[10] Maklum, sekalipun Indonesia cukup subur dengan program-program gendernya, namun legalisasi payung hukum bagi ide-ide gender masih menjadi pekerjaan rumah.
Pembahasan RUU KKG yang sangat alot, tidak bisa dilepaskan dari penolakan sebagaian besar tokoh Islam. Karena itu, UNWomen merekomendasikan Indonesia untuk terus menerus melakukan pendekatan ke tokoh agama dan masyarakat guna membahas tercapainya kesetaraan gender di masyarakat akar rumput. Barat sadar, di Indonesia berlaku sistem hukum paralel, yaitu adat dan agama (Islam). Apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan, baik korban maupun keluarga sering kali memilih untuk menyelesaikan secara adat atau agama. Apabila tokoh-tokoh tersebut tidak memahami prinsip kesetaraan jender, keputusan yang diambil sering merugikan perempuan sehingga perempuan menjadi korban dalam struktur kemasyarakatan.[11] Padahal, tujuan hakikinya adalah deIslamisasi. Yakni sedikit demi sedikit menghilangan praktek-praktek Islami yang dianggap tidak kondusif terhadap ide gender. Mereka berharap, kalangan tokoh Islam moderat dan liberal menjadi ujung tombak rencana itu.
Demikianlah yang dilakukan Solidaritas Perempuan dan gabungan beberapa LSM -Institut Fahmina, Kalyanamitra, Rahima, Indonesian Conference on Religion and Peace, Setara Institute, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia-. Mereka meluncurkan modul pelatihan budaya yang adil gender untuk para tokoh agama pada 23 Maret 2016. Materi modul antara lain menjelaskan tentang ketauhidan, prinsip-prinsip Islam di dalam kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki, kepekaan gender di dalam konteks budaya lokal, kecocokan antara hak asasi manusia, hukum Islam, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW).[12] Bukankah dengan terbuka dan menerima semua ide gender, tokoh umat dan umatnya tidak akan lagi mampu bersikap kritis terhadap penyimpangan kapialistik?
(2). Pemberdayaan Ekonomi
Agar promosi dan kepemilikan ekonomi bagi perempuan tidak terhambat, salah satu cara yang dilakukan Indonesia adalah konsisten dalam menggiatkan program Keluarga Berencana. Selain bertujuan untuk kontrol populasi, program KB adalah sarana efektif untuk mendorong perempuan kian eksis di sektor publik. Jargon “sedikit anak akan membuat perempuan lebih bisa menikmati hidup”, cukup mengena di kalangan perempuan berusia subur. Apalagi pragmatisme kapitalistik membuat mereka lebih suka berpikir praktis: keuntungan materialis lebih realistis daripada berpikir idealis tentang kelestarian sebuah generasi.
Karena itu, di beberapa tempat, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara langsung memiliki program yang bersinergi dengan pemberdayaan. Seperti Kepala BKKBN Sumbar, Nofrijal yang meresmikan Asosiasi Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (AKU) di Padang (16/2/2016). AKU tersebut adalah implementasi dari UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang secara khusus menyasar upaya pemberdayaan ekonomi keluarga.[13] Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) juga turut berkontribusi terhadap target program pemberdayaan ekonomi dan keluarga melalui bantuan alat teknologi tepat guna (ATTG) kepada kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). [14] Hal itu dianggap sebagai dukungan riil Iwapi terhadap program Kampung KB yang digagas pemerintahan Jokowi. [15]
(3). Kontrol Populasi
BKKBN menargetkan sedikitnya 528 desa/dusun di Indonesia dicanangkan sebagai Kampung KB pada 2016, guna menurunkan angka kelahiran hingga 2,1 anak per wanita usia subur pada 2025. Kampung KB akan lebih diutamakan pada desa atau dusun yang angka pengguna kontrasepsi 60 persen di bawah rata-rata nasional. Kampung ini juga akan memotivasi kaum pria agar mau berpartisipasi dalam penggunaan metode KB vasektomi. Sebab, prosedur bedah minor untuk mencegah transportasi sperma tersebut sangat efektif untuk mencegah terjadinya kehamilan.[16] Program kampung KB merupakan arahan dari Presiden Joko Widodo, agar manfaat program KB dapat lebih dirasakan secara langsung oleh masyarakat berada di wilayah miskin, padat penduduk, terpencil, tertinggal, dan wilayah nelayan di seluruh Indonesia.[17]
Sadar bahwa beberapa kalangan masih resisten terhadap program KB, Kepala BKKBN mendatangi tokoh-tokoh umat untuk membantu menggiatkan program ini kembali. Anggota Wantimpres, Hasyim Muzadi, bahkan menasihati Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty agar sosialisasi program KB dilakukan dengan menggandeng para tokoh agama agar materi program KB bisa diterima umat. Para ulama dalam Muktamar NU mendukung program KB. Pasalnya, mengatur jumlah kelahiran demi kesehatan ibu anak, kesejahteraan, pendidikan hingga untuk menjaga kecantikan istri itu dibenarkan.[18]
Padahal, program kontrol populasi tidak sekedar menyasar ibu berusia subur. Namun yang berbahaya, demi menjamin ketersediaan tenaga kerja perempuan, Barat melancarkan program-program kontrol populasi yang khusus menyasar remaja perempuan. Wacana yang diaruskan adalah bahaya nikah muda, karena dianggap mengahalangi hak anak perempuan untuk memperoleh pendidikan, merampas masa muda mereka, memaksakan menikah pada kondisi tidak siap mental dan memupus harapan untuk memperoleh penghasilan sendiri. Semuanya adalah racun yang disuntikkan Barat kapitalis, agar para perempuan muda menunda pernikahan dan memiliki anak -bahkan ada yang telah mencoret hal-hal tersebut dalam rencana kehidupannya- demi mengejar keuntungan-keuntungan materialis yang hanya didapat di masa muda.
Demikianlah kondisi yang terjadi pada generasi muda Indonesia. Penyebab utamanya, adalah penjajahan internasional via lembaga-lembaga multilateral yang memaksakan agenda kufur kontrol populasi. Pemerintah RI membiarkan hal itu, bahkan bersama UNFPA (United Nations Population Fund) akan terus mempromosikan dialog kebijakan dan advokasi terkait isu International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). [19] Tujuannya tiada lain untuk mendukung dan mengamankan target-target pembangunan kapitalistik dan materialistik.
Bahkan secara khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) meluncurkan Promosi Pencegahan Perkawinan Usia Anak pada 12 Februari 2016. Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB dalam hal Kekerasan Terhadap Anak, Marta Santos Pais, mengapresiasi modul pencegahan perkawinan anak yang telah disusun KPP-PA. Ia berharap modul pelatihan ini bisa menjadi model untuk diterapkan di negara Asia lainnya maupun seluruh dunia, karena perkawinan anak sebagai fenomena global tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di semua negara, baik negara miskin, berkembang maupun kaya atau Eropa, Asia, dan benua lainnya. Menteri PP dan PA Yohana Yembise mengatakan modul ini merupakan bentuk implementasi kebijakan nasional yang dilakukan oleh KPP-PA bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, lembaga masyarakat dan dunia peduli anak-anak, seperti UNICEF, KPAI dan pakar anak. Modul hasil saran dari Plan International Indonesia ini terbagi dalam dua jenis, yakni modul pencegahan perkawinan anak bagi fasilitator orang tua dan modul pencegahan perkawinan anak bagi fasilitator anak.[20]
(4). Aturan Pendukung
Pasal 38A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak. Oleh karena itu Kementerian Sosial bekerjasama dengan Unicef dan NGO Save The Children memprakarsai kegiatan pertemuan Konsultasi Nasional Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak Tahun 2016. Plt.Dirjen Rehabilitasi Sosial, Hartono Laras berharap agar peraturan ini nantinya dapat terimplementasi dengan baik di lapangan, berharap agar Dinas Sosial provinsi, kab/kota dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pengasuhan anak di wilayahnya masing-masing.[21]
Mekanisme ini bukan sekedar dilakukan karena upaya melindungi dan sayang anak, namun juga tercium agenda ekonomi. Dengan dalih pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama, maka masyarakat diminta partisipasinya untuk turut mengawasi dan melindungi anak-anak yang berada di lingkungannya. Rencana ini sejalan dengan program Kota Ramah Anak, Sekolah Ramah Anak, penyediaan Tempat Penitipan Anak dan ruang laktasi di perkantoran dan pabrik. Tujuannya adalah, agar ibu-ibu yang bekerja atau yang sibuk mengakses ekonomi, tidak perlu merasa kuatir akan keamanan anaknya, karena sistem telah bekerja untuk melakukan perlindungan terhadap anak. Benarkah?
(5). Deradikalisasi dan Pemberdayaan Ekonomi
Salah satu fokus agenda keamanan rezim Jokowi adalah menderaskan program deradikalisasi pada setiap bidang pembangunan, termasuk pada agenda ekonomi. Jokowi menyebutkan, “Kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, kalau diteruskan, berbahaya dan akan kemungkinan menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya masalah sosial, termasuk radikalisme, ekstremisme, dan yang lebih ke sana lagi, terorisme.” Langkah-langkah konkret untuk melakukan deradikalisasi harus terus menerus dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keamanan, baik yang hard approach, maupun soft approach, dengan pendekatan anggaran, pendekatan budaya. [22]
PBB secara khusus membentuk Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) pada tahun 2005 dan disahkan oleh Majelis Umum melalui United Nations Global Counter-Terrorism Strategy, yang diadopsi oleh konsensus pada tahun 2006. Mandat CTITF adalah memperkuat koordinasi dan koherensi upaya kontra-terorisme dari sistem PBB. Satgas terdiri dari 38 entitas internasional yang memiliki andil dalam upaya kontra-terorisme multilateral. [23] Di antara entitas yang bergabung dalam CTITF adalah IMF, World Bank, UNDP dan UNWomen yang berkepentingan untuk menumbuhkan UMKM perempuan. Bisa jadi program ‘menyibukkan perempuan dengan agenda ekonomi’ akan membuat mereka mapan, sehingga tidak terpikir sedikit pun untuk terlibat dengan ide radikal.
Sebuah laporan baru yang diterbitkan UN Women pada Juli 2016 mengungkapkan Rencana Aksi Nasional untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tahun 2016 dalam mengatasi radikalisme pada perempuan di Yordania. Laporan itu menyebutkan 82 persen responden percaya bahwa tekanan sosial dan ekonomi telah menyebabkan orang untuk mengambil bagian dalam ekstremisme kekerasan. RAN tersebut digunakan Pemerintah Yordania dan Komisi Nasional Yordania untuk Perempuan untuk memberdayakan perempuan sebagai kunci untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremis. [24] Menghubungkan de-radikalisasi (baca : de-islamisasi) dengan kepentingan ekonomi, hanyalah akal-akalan Barat semata. Apalagi mengaitkan agenda ini dengan keinginan untuk memberdayakan perempuan secara total demi mengejar target pertumbuhan ekonomi. Jelas sudah bahwa agenda-agenda yang berisikan janji-janji kemakmuran, keadilan dan ketahanan sesungguhnya tidak lain hanyalah kelicikan Barat kapitalis yang tidak pernah puas memerah keringat, darah dan air mata siapapun demi mempertahankan hegemoni dan penjajahan ekonomi mereka.
Khatimah
Janji Barat untuk menempatkan perempuan dalam posisi setara secara politik, ekonomi dan kedudukan sosial, sesungguhnya tidak pernah terealisir. Sejarah dan realitas kekinian membuktikan bahwa yang terjadi sejatinya adalah penipuan. Tak ada ketulusan dalam merancang agenda pemberdayaan. Karena manfaat adalah alasan tertinggi yang menjadi spirit bagi Kapitalis untuk mengatur dunia. Dan perempuan, tidak pernah sedikitpun diberi tempat mulia, karena ideologi mereka hanya mengizinkannya untuk memperdayanya. Tinggalkan semua rencana busuk Kapitalisme, kembalilah pada ajaran Islam, yang menebar rahmat bagi siapapun. []
Sumber:
1. http://finance.detik.com/read/2016/07/26/154239/3261622/4/ini-pidato-lengkap-sri-mulyani-di-kampus-ui-hari-ini
2. http://kbr.id/berita/08-2016/gubernur_bi___perempuan_cocok_kembangkan_umkm/84480.html
3. http://www.beritasatu.com/ekonomi/276806-80-umkm-di-indonesia-dikelola-perempuan.html
4. Date: 12 July 2016- http://www.unwomen.org/en/news/stories/2016/7/speech-by-lakshmi-puri-at-hlpf#sthash.YVgM3FNb.dpuf“
5. http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-menyambut-penyelenggaraan-komisi-status-perempuan-commission-on-the-status-of-women-ke-60-di-pbb/
6. Ibidem 31
7. http://www.unwomen.org/en/get-involved/step-it-up/about#sthash.HgtACpEA.dpuf
8. http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160331kompas/#/12/
9. http://www.voaindonesia.com/a/cedaw-pastikan-isu-pemberdayaan-perempuan-tetap-jadi-perhatian-pbb/2459357.html
10. http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160331kompas/#/12/
11. Ibidem 34
12.http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160324kompas/#/11/
13. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3462
14. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3479
15. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3481
16. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3455
17. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3454
18. http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3488
19. http://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/aspek-knowledge-sharing-penting-dalam-kerjasama-ri-unfpa-siklus-9/
20. http://www.antaranews.com/berita/545484/pbb-apresiasi-modul-pencegahan-perkawinan-anak-indonesia
21.http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1896
22. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151216155324-20-98652/jokowi-kemiskinan-jadi-penyebab-terorisme-makin-menyebar/
23. https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/about-task-force
24. http://www.unwomen.org/en/news/stories/2016/7/empowering-women-key-to-preventing-extremism-in-jordan#sthash.0fMvX8Pw.dpuf