Antara Masjid & Politik

masjid nabawiOleh : Adi Victoria (Humas DPD I HTI Kaltim)

Masjid merupakan tempat ibadah bagi umat Islam. Baik ibadah ritual seperti sholat lima waktu secara berjama’ah, membaca al qur’an, dzikir, hingga kegiatan keislaman lainnya seperti pelaksanaan peringatan Isra’ mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, Tabligh akbar, ceramah agama dan kegiatan keislaman lainnya. Inilah realitas kegiatan yang kerap kali kita temui di beberapa Masjid.

Padahal, fungsi utama Masjid tidak hanya sebagai tempat untuk  pelaksanaan aktivitas ibadah ritual seperti yang disebutkan di atas tadi, namun juga sebagai sentral dalam aktivitas umat Islam. Lihatlah bagaimana ketika Rasulullah SAW kali pertama tiba di kota Yastrib (sekarang Madinah), beliau tidak membangun benteng sebagai tembok pertahanan untuk menahan serangan dari luar kota Yastrib, namun beliau saw memerintahkan para sahabatnya untuk membangun sebuah masjid, dan beliau ikut serta dalam pembangunan Masjid tersebut dan kemudian Masjid tersebut diberi nama masjid Nabawi.

Bahkan, masih dalam peristiwa hijrah, sebelum tiba di kota Madinah, yakni beberapa kilometer sebelum beliau dan Abu Bakar ra sampai di pusat kota Madinah, beliau singgah di desa Quba, yang masih masuk wilayah Kota Madinah. Beliau bersama Abu Bakar tinggal selama 4 hari, kemudian membangun masjid yang kemudian diberi nama masjid Quba.

Rasulullah SAW tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah ritual, namun masjid dijadikan sebagai sentral aktivitas umat Islam. Di dalam masjid Rasulullah membicarakan masalah umat sekaligus memberikan solusinya, bahkan mengatur strategi perang pun beliau SAW lakukan di dalam masjid, seperti strategi perang uhud. inilah aktivitas politik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di dalam masjid. Karena politik (siyasah) sendiri adalah sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah).

Sebagaimana Rasulullah SAW :

“Dulu Bani Israel diurus (tasusuhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).

Sehingga aktivitas politik adalah segala aktivitas yang terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah syu’un al-ummah), baik yang terkait dengan kekuasaan (as-sulthan) sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat secara langsung, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap aktivitas kekuasaan dalam mengatur urusan masyarakat (Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, 2005, hlm. 5).

Akibat Sekulerisasi

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniy pada 3 Maret 1924, menjadi awal dari sekulerisasi terhadap Islam dan symbol-simbolnya. Mustafa Kemal At Tarturk yang memang berhaluan sekuler, ketika berhasil menghapuskan system Khilafah, ia kemudian mengubah Turki menjadi sekuler.

Tahun 1925 ia mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan pakaian Muslim baik untuk laki-laki Muslim dan juga wanita Muslimah, salam dalam Bahasa arab diganti dengan anggukan kepala. Tahun 1928, keluar keputusan tentang penghapusan pelajaran agama, merubah bacaan al-qur’an dan azan dengan bahasa Turki, mengganti huruf arab dengan latin, menyamakan hak waris antara laki-laki dengan wanita, dan aturan lainnya yang mulanya berasal dari Islam diganti dengan alasan pembaharuan untuk Turki yang modern.

Sekulerisasi ini juga yang digunakan barat untuk menjajah kembali negeri-negeri Islam yang sudah terpecah-pecah menjadi lebih dari 57-an negara. Di Indonesia misalnya, akibat dari penjajahan yang sangat lama tersebut, proses sekulerisasi telah kental di negeri ini. Ditanamkan oleh penjajah bahwa tidak ada hubungan antara agama dan negara. Agama tidak mengatur urusan negara. Harus dipisahkan urusan agama dengan kehidupan. Inilah sekuler, yakni Fasluddinanil hayah yang berarti memisahkan agama dari kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat hingga kehidupan bernegara. Hingga munculah opini misalnya “jangan membicarakan urusan politik di dalam masjid”, dsb.

Mengembalikan Fungsi Masjid

Oleh karena itu, penting kiranya terus difahamkan dan disadarkan kepada sebagian umat Islam,  bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual yakni hubungan antara hamba dan pencipta-Nya seperti  dalam perkara aqidah dan ibadah saja, namun juga Islam menurunkan syariah Islam untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam masalah mu’amalah (kehidupan social, politik, hukum, budaya, dan lainnya) serta uqubat. Serta syariah Islam yang diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara akhlaq, pakaian, makanan dan minuman.

Masjid adalah sentral dakwah pusat aktivitas umat Islam, sehingga masjid tidak hanya dijadikan tempat untuk pelaksaan sholat, dzikir, baca qur’an dan ibadah ritual lainnya, namun juga dijadikan sebagai tempat untuk membina dan menyarkan umat Islam dengan aktivitas-aktivitas politik, karena seluruh kehidupan masyarakat tidak lepas dari kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa, baik kebijakan politik dalam hal ekonomi, social, budaya dan lainnya. Wallahu a’lam bisshowab[].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*