Oleh: Endah Sulistiowati, SP. (MHTI Kab. Kediri)
Sebetulnya Indonesia memiliki sumberdaya pertanian yang luar biasa, utamanya lahan pertanian yang sangat luas. Tapi, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak orang yang memiliki lahan sangat luas, tapi tidak dikelola dengan benar, dan sengaja hanya dijadikan sebagai objek investasi spekulatif.Sementara bila ada orang yang mengolah lahan pertanian, dia hanya sebagai buruh tani, bukan pemilik lahan.Jadi, ada begitu banyak orang yang mengelola lahan pertanian, tapi mereka tidak memiliki lahan itu. Mereka hanya membayar sewa kepada pemiliknya.
Ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian negara, termasuk Indonesia. Harga pangan menjadi bola liar yang kian sulit dikendalikan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan dalam negeri dan membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi secara baik dengan mengoptimalkan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal untuk memantapkan pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti melepas ketergantungan impor dan keluar dari jebakan pangan asing.
Sehingga suatu hal aneh bin ajaib jika di Indonesia ini terjadi kelangkaan pangan, kemiskinan bahkan kelaparan. Seperti yamg terjadi di 39 desa di NTT yang terancam kelaparan dan kelangkaan air bersih.(Tempo.co). Apalagi kekayaan alam non pertanian juga sangat melimpah. Negeri subur ternyata tidak selamanya makmur, mungkin itu yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat Indonesia. Kebijakan pertanian dan perdagangan yang amburadul terbukti telah membuat Indonesia sebagai negara agraris ini terus dihantui krisis kelangkaan pangan. Jika ini terus terjadi dalam jangka panjang, tentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas hidup rakyat.
Masih banyak penduduk Indonesia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka, khususnya di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Papua, NTT dan Maluku. “Mami memperkirakan di Indonesia masih ada 20 juta atau 19,4 juta orang yang kelaparan setiap hari. Ini artinya mereka tidak memiliki cukup makanan untuk di makan.. ini angka yang besar namun sudah jauh berkurang dibanding awal tahun 90-an saat kami mulai menghitung target pembangunan millennium,” demikian ungkap Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Mark Smulders.
FAO menilai Indonesia telah cukup berhasil dalam menurunkan angka kelaparan dari tahun-tahun sebelumnya. Indonesia telah berhasil menurunkan angka kelaparan hingga setengahnya, ini sangat bagus, tapi masih banyak yang harus dilakukan khususnya diwilayah bagian timur Indonesia seperti papua barat, NTT, Maluku dan sebagian Kalimantan, yang mana masih terdapat penduduk yang tidak memiliki makanan yang cukup.
Prosentase penduduk Indonesia yang kelaparan, turun dari 19,7 persen di tahun 1990-1992, menjadi hanya 7,9 persen di tahun 2014-2016. Pertumbuhan ekonomi yang pesat membantu Indonesia menurunkan angka kelaparan. Namun, meskipun telah berhasil menurunkan angka kelaparan hingga 50 persen, Indonesia masih dinilai lambat dalam mengurangi jumlah penduduk yang kekurangan gizi, khususnya anak-anak dibawah usia 5 tahun. Dari data terakhir, hampir 37 persen balita di Indonesia menderita stunting atau terhambat pertumbuhannya karena kekurangan gizi.
Direktur Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat dari Millenium Challenge Account Indonesia, Minarto, menjelaskan 7,6 juta balita di Indonesia menderita stunting atau terhambat pertumbuhannya, akibat kekurangan gizi kronis. Kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas sumber daya manusia di masa depan. MCA Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk menjalankan program kesehatan dan gizi berbasis masyarakat untuk mengurangi stunting.
“Kalau kita lihat data terakhir tahun 2013 yang kita punya itu tidak berubah.. sekitar hampir 37 persen, katakanlah tidak berubah.. jadi memang stunting itu merupakan masalah yang comprehensive sehingga penurunannya selama hampir 10 tahun tidak banyak,” kata Minarto, Direktur Proyek Kesehatan & Gizi Berbasis Masyarakat- MCA Indonesia.Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penyebab tingginya angka balita stunting di Indonesia, khususnya di wilayah bagian timur Indonesia.
Kalau kita tengok beberapa bulan terakhir di Papua, bahkan harga seikat bayam bisa mencapai angka Rp. 10.000, sedangkan untuk makanan jadi katakanlah sepiring nasi pecel bisa mencapai Rp. 70.000. Sulitnya transportasi membuat harga-harga bahan makanan di pedalaman Papua amat mahal. Hampir semua bahan makanan harus diangkut dengan pesawat udara yang kapasitasnya terbatas. Jika diangkut melalui jalur darat, harga bensin yang selangit (bisa sampai Rp 40 ribu per liter) membuat harga makanan tak bisa murah.(Tempo.co). Kalau dengan harga yang melangit begitu bagaimana rakyat Papua dan NTT bisa hidup makmur?
Kenaikkan harga terjadi apabila persediaan barang sedikit dan permintaan barang meningkat. Dan kenaikkan juga dapat dipicu distribusi barang terhambat. Keterhambatan ini bisa karena infrastruktur transportasi yang buruk ataupun mekanisme yang rumit.
Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi menyampaikan bahwa saat ini ada 10 provinsi, kota, dan kabupaten yang dananya paling banyak mengendap di bank. Jokowi tak ingin dana tersebut hanya ‘menganggur’ di bank.
“Bahwa pada Mei uang di APBD kabupaten, kota, provinsi masih Rp 246 triliun. Besar sekali. Kalau uang ini keluar semua, ekonomi kita kan terdongkrak naik. Juni turun jadi Rp 214 triliun tapi masih di atas Rp 200 triliun, hati-hati bapak-ibu,” kata Jokowi.
Jokowi mengatakan hal ini dalam pidatonya di Rakornas TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) yang digelar di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Dana-dana tersebut disimpan di bank umum. Berikut rinciannya.
Provinsi
- DKI Jakarta Rp 13,955 triliun
- Jawa Barat Rp 8,034 triliun
- Jawa Timur Rp 3,947 triliun
- Riau Rp 2,867 triliun
- Papua Rp 2,596 triliun
- Jawa Tengah Rp 2,467 triliun
- Kalimantan Timur Rp 1,572 triliun
- Banten Rp 1,527 triliun
- Bali Rp 1,464 triliun
- Aceh Rp 1,446 triliun
Kabupaten
- Bogor Rp 1,907 triliun
- Badung Rp 1,665 triliun
- Bandung Rp 1,653 triliun
- Bekasi Rp 1,545 triliun
- Malang Rp 1,510 triliun
- Tanah Laut Rp 1,397 triliun
- Kediri Rp 1,391 triliun
- Berau Rp 1,37 triliun
- Mimika Rp 1,37 triliun
- Nias Rp 1,313 triliun
Kota
- Medan Rp 2,273 triliun
- Surabaya Rp 1,851 triliun
- Tangerang Rp 1,633 triliun
- Cimahi Rp 1,524 triliun
- Depok Rp 1,313 triliun
- Semarang Rp 1,134 triliun
- Magelang Rp 1,107 triliun
- Tangerang Selatan Rp 1,032 triliun
- Serang Rp 948 miliar
- Mojokerto Rp 917 miliar (m.detik.com)
Namun masalahnya, pemerataan pembangunan masih terasa timpang antara wilayah barat Indonesia dengan wilayah tengah dan timur Indonesia. Lihat saja dana yang masih mengendap di bank dari data dimiliar DKI Jakarta masih berada pada urutan teratas. Kalau pemerintah tidak ingin rakyatnya kelaparan dan miskin maka seharusnya pembangunan difokuskan diwilayah-wilayah yang sulit transportasinya, bukan malah sibuk dengan proyek-proyek yang tidak penting untuk rakyat kecil seperti proyek reklamasi teluk Jakarta dan kereta cepat. Jadi yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah rakyat bukan pada apa yang menjadi keinginan investor. Sehingga peribahasa “tikus mati di lumbung padi” itu tidak terjadi bagi rakyat Indonesia.
Indonesia pada tahun 1984 diera Presiden Suharto pernah mengalami swasembada beras, artinya pada saat itu tidak ada penduduk Indonesia yang kelaparan. Seharusnya swasembada pangan sekarang ini juga bisa diwujudkan asal pemerintah punya keberanian dan sedikit saja bekerja keras. Pertama, intensifikasi pertanian ditempuh dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas seperti; modal, peralatan, benih, tekno!ogi, research, pemasaran, informasi dll. Kedua, ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah karena selama ini cenderung lahan pertanian yang produktif tergerus oleh pembangunan perumahan ataupun pertokoan. Ketiga, negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga distribusi bahan makanan baik jalur darat maupun laut lancar. Keempat, mengontrol distribusi hasil panen dan ketersediaan bahan pangan. Dengan memberlakukan subsidi silang antar daerah. Sehingga penumpukan barang dan lonjakan harga tidak terjadi. Kelima, pemerintah menindak tegas oknum yang melakukan penimbunan barang ataupun hal-hal kotor lainnya, yang berkaitan dengan ketersediaan bahan pangan.
Semua program memang butuh dana, asal bukan dana pinjaman saja, maka permasalahan bisa diselesaikan dengan tuntas. Namun masalahnya APBN saja defisit sehingga untuk menutupi lagi-lagi rakyat yang digenjot dengan pajak. Naudzubillah. Sehingga sudah saatnya Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri.[]