[Al-Islam No. 823/21 Dzulhijjah 1437 H/23 September 201]
Akhir-akhir ini hubungan Islam dan politik kembali ramai dibicarakan, terutama menjelang Pilkada DKI. Seruan menolak pemimpin kafir dituduh sebagai seruan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) yang tidak pantas, apalagi kalau dibahas dalam khutbah-khutbah Jumat, ceramah agama, termasuk ibadah haji. Mereka menyebut hal itu sebagai “politisasi agama” yang berbahaya. Pemimpin harus dilihat dari kinerjanya, bukan dari agamanya, ujar mereka.
Penggunaan Masjid Istiqlal baru-baru ini untuk melakukan penyadaran umat tentang kepemimpinan Islam dianggap sebagai “politisasi agama”. Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, sampai berujar “Saya minta kegiatan politik praktis di Masjid Istiqlal jangan dilakukan, makanya saya tidak datang. Saya sudah sampaikan nggak boleh Istiqlal dipakai untuk acara itu,” (Bbc.com, 20/9).
Sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak.
Politisasi Agama?
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dll. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih.
Bagaimana pula, misalnya, sikap terkait dengan kepemimpinan wanita dalam Islam. Ada pihak yang awalnya menolak karena Islam mengharamkan perempuan menjadi kepala negara, tiba-tiba bersikap sebaliknya. Argumentasi yang dibangun berdasarkan pada alasan keagamaan pula. Kata mereka, perempuan boleh menjadi kepala negara karena keadaan darurat. Sekali lagi, inilah yang layak dianggap sebagai “politisasi agama”.
Politisasi agama adalah buah dari sistem demokrasi liberal yang busuk. Nader Hashemi, seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver, dalam bukunya, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, menyatakan, “Reinterpretasi (penafsiran kembali, red.) ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif.”
Demikianlah yang terjadi saat politik tidak diatur berdasarkan syariah Islam yang mulia, tetapi berdasarkan ideologi Kapitalisme, yang menjadikan manfaat sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini, sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara—termasuk “politisasi agama”—menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik.
Islam Mengatur Politik
Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor. Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan. Dalam bahasa Arab, politik berpadanan dengan kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an]; artinya mengurusi, memelihara. Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menulis bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.
Karena itu, dalam Islam, politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya: Pertama, Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Dalam al-Quran, Allah SWT, bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan; kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah [2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan; kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78). Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah SWT pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl. Menurut para mufassir, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha ‘alaykum. Al-Quran juga tak hanya membahas shalat, aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275], juga saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS al-Hasyr [59]: 7).
Kedua, apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah saw. sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah saw. bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah saw. bermusyawarah bersama para Sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang. Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah saw. menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga). Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah saw. dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu.
Sayang, kini fungsi masjid mengalami penurunan. Tidak seperti pada masa Rasul saw. dan para khalifah sesudahnya, kebanyakan masjid saat ini hanya digunakan untuk ibadah ritual saja. Di negeri ini, proses depolitisasi masjid (menjauhkan masjid dari kegiatan politik Islam) sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam, Snouck Hourgunje, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Belanda untuk melarang masjid-masjid dan umat Islam dari kegiatan politik. Dengan cara seperti itu Belanda bisa memastikan umat Islam tidak akan pernah bangkit dan mampu melakukan perlawanan terhdap penjajahan. Snouck yang dididik untuk mempelajari Islam tahu betul bahwa jika fungsi masjid sepenuhnya dipakai, bibit-bibit perjuangan yang muncul untuk melawan penjajah akan semakin sulit untuk dipadamkan.
Alhasil, penting menyatukan Islam dan politik ini. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar…Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.”
Ibnu Taymiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394).
Wahai kaum Muslim:
Sayang, politik Islam yang mulia telah diubah oleh paham sekularisme sedemikian rupa sehingga politik tersebut berwajah penuh kedustaan, penipuan, penyesatan dan pembodohan baik oleh penguasa maupun politisinya. Akibatnya, muncul anggapan bahwa politik itu kotor dan agama suci sehingga agama harus dipisahkan dari politik atau sebaliknya. Padahal tanpa agama perpolitikan merupakan hutan belantara. Karena itu dalam buku-buku fikih siyâsah dikenal kaidah: Islam adalah agama yang salah satu kandungannya politik (Al-Islâm dîn[un] minhu as-siyâsah).
Dalam carut-marut politik seperti saat ini, keshalihan individual elit politik tentu tidak cukup dijadikan dasar pilihan politik; tidak cukup pula untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Sebab, masalah bangsa dan negara berakar pada sistemnya, yakni sistem Kapitalisme-sekular yang rusak. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara ini.
Karena itu kita membutuhkan bukan sekadar pemimpin yang shalih, namun juga ideologi dan sistem yang sahih. Itulah ideologi (mabda’) Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan dalam institusi Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. AlLâhu Akbar! []
Komentar al-Islam:
NU: Ahok tidak Pro Rakyat Kecil (Republika.co.id, 20/9).
- Begitulah, dalam sistem demokrasi, kekuasaan bersandar pada kekuatan para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan penguasa lebih banyak menguntungkan mereka, bukan rakyat.
- Penguasa hanya peduli rakyat saat kampanye Pemilu. Itu pun hanya dengan menebar janji-janji kosong kepada rakyat.
- Saatnya umat mencampakkan sistem demokrasi, yang sudah terbukti banyak melahirkan para penguasa yang tidak pro rakyat, dan beralih pada sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah Khilafah.