Oleh : Adzwar Mujtahid ( Lajnah Dakwah Sekolah HTI Tegal)
Tulisan ini dibuat bukan hanya sebagai tanggapan dari tulisan saudara Ferial Farkhan Ibnu Ahmad dalam tulisannya “ Inkonsistensi Gerakan HTI “ tapi juga sebagai penjelasan tentang aktivitas dakwah Islam Hizbut Tahrir Indonesia yang mungkin masih disalah fahami oleh sebagian orang, yang tentunya didasari dengan semangat persaudaraan, ukhuwah Islamiyah dan kasih sayang sebagai sesama muslim Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. (Al Hujuraat : 10)
Pasca aksi damai Tolak Pemimpin kafir, Haram Pemimpin kafir yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada hari ahad, 4 September 2016 di Jakarta dengan jumlah peserta mencapai kurang lebih 20.000 orang , memang menuai banyak respon ada banyak yang mendukung maupun sebaliknya. Disini penulis perlu tegaskan aksi yang dilakukan tersebut tidak ada kaitnya dengan kepentingan politik praktis menjelang pilkada, demi pundi-pundi rupiah yang menjadikan HTI bergeser dari manhaj dakwahnya ,apalagi menjadi masa bayaran yang bisa dipesan Naudzubillah tapi murni karena tuntutan keimanan kepada Allah SWT semata. Aksi yang mendatangkan masa banyak hingga puluhan ribu bukan kali pertama yang dilakukan HTI tapi sudah ratusan kali dan tidak pernah sedikit pun ada bayaran untuk itu sekali lagi itu karena dorongan keimanan kepada Allah , kami berlindung atas fitnah dan tuduhan tersebut.
Berkaitan dengan penolakan terhadap pemimpin kafir, Islam memang mensyariatkan pengangkatan pemimpin dan penguasa bagi kaum Muslim. Islam mensyariatkan hal itu untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan oleh syariah. Pemimpin kaum Muslim itu diangkat untuk menegakkan agama Allah, menegakkan syariah-Nya, mewujudkan amar makruf nahi mungkar, meninggikan kalimat-Nya, menjaga pelaksanaan hudûd-Nya, memelihara hak-hak para hamba-Nya serta mengatur urusan kaum Muslim baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Dalam syariah, pemimpin (peguasa) itu diangkat tidak lain untuk menerapkan syariah secara menyeluruh. Penerapan syariah secara menyeluruh akan membuahkan rahmat untuk seluruh manusia. Dengan pemimpin yang menerapkan syariah itulah akan terwujud Islam rahmatan lil ‘alamin.
Imam al-Mawardi di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah (hlm. 5) menyatakan, “Imamah adalah topik untuk khilafah nubuwwah dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Mengakadkan Imamah/Khilafah untuk orang yang menegakkan hal itu di tengah umat adalah wajib.”
Jika demikian tugas dan pentingnya kepemimpinan bagi kaum Muslim, maka bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengimani Islam—akan menegakkan tugas-tugas itu? Bagaimana mungkin pemimpin kafir—yang tidak mengetahui dan meyakini mana yang makruf dan mana yang mungkar—akan bisa menegakkan amar makruf nahi mungkar? Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak mengetahui dan meyakini urusan keagamaan kaum Muslim akan bisa mengurusi dan memperhatikan urusan kaum Muslim? Oleh karena itu, sangat jelas bahwa orang kafir tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
Allah SWT Dengan tegas telah menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.” (TQS an-Nisa’ [04]: 141).
Ayat ini merupakan kalimat berita [kalam al-khabar] yang berisi larangan (nahy). Ini karena adanya huruf nafyu al-istimrâr “lan” yang bermakna “penafian untuk selamanya”. Artinya, Allah SWT melarang untuk selamanya orang kafir menguasai orang Mukmin. Karena itu, berdasarkan ayat ini semua ulama sepakat, bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/641).
Dalam nash lain dengan tegas Allah SWT melarang kita menjadikan orang kafir sebagai wali:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali, selain kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung larangan atas kaum Mukmin untuk bersahabat, berteman, saling memberi dan meminta nasihat, berkasih sayang serta menyebarkan rahasia orang Mukmin kepada mereka (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, Juz I/867).
Pertanyaannya adalah apakah dengan melakukan aktivitas dakwah dengan menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah kepada kemungkaran dengan pernyataan tolak pemimpin kafir dianggap sebagai menikmati demokrasi ? bukankah dakwah islam adalah kewajiban bagi setiap muslim termasuk pihak yang menuduh! . Selama ini pihak yang menuduh ‘menikmati demokrasi’ tidak pernah menjelaskan batasan yang jelas dan tegas dari tuduhan ‘menikmati demokrasi’. Jika tidak dibatasi, maka istilah ini menjadi istilah absurd dan menggelinding bagaikan bola panas yang bisa dialamatkan pada setiap orang secara ‘liar’, bagaimana tidak? Karena hidup di negeri yang dinaungi sistem demokrasi kini memang realitas, dan bermu’amalah di dalamnya pun sesuatu yang tidak bisa dihindari untuk mempertahankan hidup (dengan segenap daya upaya berpegangteguh pada syari’at Islam). Namun sudah barangtentu kehidupan di bawah naungan demokrasi merupakan realitas yang fasad, rusak dan batil yang wajib diubah dengan kehidupan Islam (QS. al-Ra’d: 11).
Apakah ketika Rasulullah SAW hidup di bawah naungan sistem jahiliyyah, bermu’amalah makan dan minum di dalamnya, berdakwah dan meraih pengikut. Apakah dikatakan menikmati sistem jahiliyyah? Wal ‘iyaadzu billaah, Rasulullah SAW dan para sahabat mulia dan bersih dari hal itu semua.
Terkait dengan penolakan sistem demokrasi ini perlu penulis sampaikan bahwa penolakan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap sistem tersebut didasari karena demokrasi menjadikan kedaulatan ( hak pembuat hukum) kepada manusia, padahal dalam islam kedaulatan adalah milik Allah, Dia-lah yang berhak membuat hukum,
Allah SWT berfirman ” bahwa sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah” (TQS Yusuf: 67) .Pada ayat ini Al hafidz asy Syaukani dalam fathul Qadir juz IV hal 52 menjelaskan ““tidak ada yang lain (yang berhak membuat hukum) dan tidak seorangpun yang bersekutu dengan Allah dalam membuat hukum”. Demokrasi juga menjadikan penguasa tidak menerapkan hukum Allah SWT , Rasulullah bersabda “Selama pemimpim mereka tidak berhukum dengan kitabullah dan memilih milih apa yang diturunkan allah maka Allah menimpakan bencana diantara mereka.(HR Ibnu Majah).
Terkait tuduhan hizbut tahrir adalah perkwainan antara paham wahabi dan ikhwanul muslimin ini merupakan sebuah kekeliruan dan tuduhan yang tidak mendasar dan sudah banyak bantahan mengenai hal tersebut semisal desertasi yang ditulis oleh Dr. Muhammad Muhsin Radhi yang berjudul Hizb at-Tahrir , Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Tinggi dan Kajian Keilmuan Universitas Islam Baghdad , hal.99 menyebutkan prihal tuduhan sempalan Ikhwanul Muslimin “Sungguh, seorang peneliti yang jujur tidak mungkin setuju dengan pernyataan yang bertujuan menggambarkan bahwa asy-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani merupakan sempalan dari Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Aktivitas dakwah yang dilakukan Hizbut Tahrir sering dituduh sebagai ketidak cintaannya dengan tanah air padahal Dakwah yang dilakukan Hizbut Tharir di Indonesia sejatinya adalah bentuk kecintaan terhadap tanah air ini. Persoalannya kemudian adalah bagaimana ekspresi kecintaan itu ditunjukkan? Pertama: sikap anti Penjajahan oleh pihak asing. HTI, sebagai wadah perjuangan umat, dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan, dan tak henti mengingatkan umat terhadap ancaman penjahan baru atau neoimperialisme. Umat harus diberi tahu, meski negeri ini sudah merdeka, tak berarti penjajahan telah usai. Hasrat eksploitasi dan hegemoni negara-negara imperialis tak pernah padam. Bila penjajahan fisik tak bisa lagi dilakukan, mereka meneruskan dengan penjajahan ekonomi, politik, juga penjajahan social-budaya. Dari sinilah, meski sebuah negara, termasuk Indonesia, sudah merdeka, secara politik dan ekonomi, bahkan juga sosial dan budaya, tetap saja dalam cengkeraman negara-negara imperialis itu.
Selanjutnya, cinta tanah air juga harus ditunjukkan dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya disintegrasi. Pasalnya, salah satu strategi negara imperialis dalam melemahkan negeri-negeri Muslim adalah dengan melancarkan politik pecah belah dan adu domba (devide et impera). Karena itu harus ditolak dengan tegas gerakan-gerakan separatisme seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau RMS (Republik Maluku Selatan) yang nyata-nyata juga didukung oleh negara-negara imperialis. Ketika dulu hendak dilakukan referendum di Timor Timur, HTI menolak keras rencana itu karena, dalam pandangan HTI, itu akan menjadi jalan lepasnya wilayah Indonesia yang paling muda itu. Benar saja, pasca jajak pendapat, lepaslah Timor Timur dari kesatuan wilayah Indonesia.
Kedua: Kecintaan pada Indonesia harus ditunjukkan dengan penolakan terhadap sekularisme, karena sekularisme adalah paham yang ditanamkan oleh penjajah untuk melemahkan negara terjajah, khususnya negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Mereka tahu, Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri Muslim terbesar di dunia ini akan menjadi kekuatan dahsyat bagi perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Karena itu Islam harus dilemahkan. Namun, mereka tahu, menghilangkan Islam dari benak penduduk negeri ini tidaklah mungkin. Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda, lalu memberikan advis kepada Pemerintah Belanda tentang bagaimana memperlakukan Islam dan umat Islam di Hindia Belanda ini. Intinya, biarkan Islam di ranah ibadah spiritual seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb. Namun, mereka i harus dijauhkan dari ibadah sosial-kemasyarakatan dalam bidang politik, ekonomi dan lainnya.
Dalam kerangka inilah, berbagai kegiatan yang dilakukan HTI selama ini sesungguhnya adalah ikhtiar untuk menghadirkan pemahaman Islam yang syâmilah (menyeluruh) dan kâmilah (sempurna) dalam diri umat Islam di negeri ini. HTI sekaligus mengajak umat untuk mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara guna mengatasi berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti persoalan kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, kriminalitas yang merajalela, eksploitasi SDA oleh korporasi asing dan sebagainya. Dengan itulah akan terwujud kerahmatan Islam sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah SWT.
Maka dari itu, sungguh aneh bila ada yang mengatakan bahwa HTI dengan kampanye syariahnya itu akan memecah-belah bangsa. Mengatakan bahwa syariah akan memecah belah bangsa, apalagi bila itu dikatakan oleh seorang Muslim, adalah sebuah tuduhan yang sangat memalukan. Bagaimana bisa mereka mengatakan seperti itu, padahal faktanya justru sistem sekular-kapitalisme-liberal itulah yang telah membuat negara ini selalu dalam himpitan berbagai persoalan yang tak berkesudahan dalam semua aspek kehidupan. Mengapa mereka tidak mengatakan sistem sekular itulah yang telah merusak bangsa dan negara ini?
Jadi, jelaslah bahwa perjuangan HTI adalah bentuk kecintaan pada Indonesia, dengan bentuk kecintaan yang benar seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kecintaan HTI pada Indonesia bukan kecintaan yang semu apalagi chauvistik seperti yang dilakukan oleh banyak kelompok nasionalis secular; di satu sisi mereka bilang cinta Indonesia, namun di sini lain justru menggerogoti pilar-pilar penting tegaknya kedaulatan negeri ini. Mereka membiarkan berbagai kebijakan yang sangat pro asing, lalu membiarkan lahirnya aturan-aturan yang jelas-jelas sangat merugikan negara. Padahal semua itu terbukti justru telah membawa negeri ini pada jurang kehancuran. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Tulisan dimuat di harian Radar Tegal edisi 20-21 September 2016