Oleh: Abu Jaisy al Askary
Publik kembali dikejutkan dengan pengumuman Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendukung pencalonan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada ajang Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. PDIP telah menyandingkan Ahok bersama kader PDIP, Djarot Saiful Hidayat sebagai Cawagubnya.
Sebelum pengumuman ini, arus penolakan kader PDIP terhadap ahok begitu deras, baik dikalangan akar rumput maupun elit tingkat DPW PDIP DKI Jakarta. Bahkan, aspirasi penolakan ahok telah teralkulturasi dalam bentuk nyanyian dan yel-yel politik “ahok pasti tumbang”.
Sejalan dengan penolakan aktivis dan kader PDIP, publik Jakarta juga memiliki aspirasi yang sama. Munculnya berbagai aksi penolakan terhadap ahok dari berbagai elemen dan unsur masyarakat, mengkonfirmasi betapa ahok memang sangat tidak diinginkan untuk memimpin Jakarta. Aksi-aksi sporadis maupun yang terorganisir, terjadi secara massif pada kurun sejak ahok mendapatkan warisan politik Jokowi, menjadi Gubernur Jakarta hingga saat ini.
Pada kurun mendekati pencalonan, aksi massa yang menolak ahok semakin terintegrasi, lintas elemen, gerakan, dengan berbagai motif dan cara. Aksi penolakan ahok dapat dipahami sebagai sebuah akibat, bukan sebab. Aksi-aksi penolakan ahok muncul disebabkan kebijakan-kebijakan ahok yang tidak pro rakyat, malah secara nyata menyatakan pro pada kaum pemodal.
Hizbut Tahrir Indonesia salah satu elemen yang secara jelas, tegas, dengan terang benderang menolak ahok memimpin Jakarta karena ahok kafir. Komitmen ini bahkan bukanlah sekedar ciutan nyinyir di tweeter atau hanya dengan jalan up date status di Facebook atau jejaring sosial media lainnya. Hizbut Tahrir DPD I Jakarta telah mengerahkan 20.000 massa terjun dalam aksi damai yang mengambil tema “Tolak Ahok, Tolak Pemimpin Kafir”.
kasus Pemaksaan keputusan untuk melanjutkan reklamasi teluk Jakarta -meskipun putusan Pengadilan Tata Usaha Jakarta telah membatalkan dan memerintahkan untuk menghentikannya- adalah bentuk keberpihakan ahok pada pengembang sekaligus mengabaikan hukum dan aspirasi publik.
Pada kasus reklamasi, Menko maritim Rizal Ramli telah mengeluarkan surat untuk menghentikan (moratorium) reklamasi teluk Jakarta. Senada dengan Rizal, hasil kajian kementrian lingkungan hidup dan kementrian kelautan dan perikanan juga memberikan kesimpulan serupa.
Kasus-kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan anggaran APBD, khususnya pada kasus RS Sumber Waras dan Rusun Cengkareng, menjadi bukti nyata betapa ahok memiliki cacat hukum dan tidak akuntable dalam menjalankan fungsi pengguna anggaran APBD DKI Jakarta, yang notabene uang rakyat. Celakanya, pada kasus ini -logika hukum dan nalar publik- diaduk aduk dan dirusak sedemikian rupa, sehingga runtuhlah wibawa hukum dah negara, lunturlah kepercayaan publik pada isu “perang melawan korupsi” yang selama ini menjadi jargon Pemerintah.
Kasus RS Sumber Waras telah meruntuhkan institusi BPK sebagai lembaga resmi, auditor negara, yang berdasarkan konstitusi ditunjuk sebagai lembaga yang paling otoritatif untuk menghitung dan menyimpulkan adanya kerugian keuangan negara. Kesimpulan BPK tentang adanya kerugian keuangan negara miliaran rupiah, dikesampingkan KPK hanya dengan dalih tidak ada unsur “niat jahat” dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Publik semakin mengalami “gagal paham pada stadium akut”, manakala terbukti Pemprov DKI Jakarta membeli lahan rusun Cengkareng, Jakarta barat dengan uang yang bersumber dari APBD DKI Jakarta. Dalam periode kepemimpinan ahok, APBD DKI Jakarta dihamburkan untuk membeli lahan rusun yang sebenarnya milik Pemprov DKI. Buru-buru isu mafia tanah digulirkan, laporan ke KPK dilakukan, pemeriksaan BPK dijalankan, tetapi sampai hari ini adakah kesimpulan terhadap kasus tersebut ? Dalam rezim otonomi daerah, siapakah Kuasa Pengguna Anggaran yang bertanggung jawab penuh atas setiap bentuk penyelewengan uang rakyat ?
Belum lagi ahok, selama memimpin Jakarta pada paruh waktu yang baru seusia jagung ini telah melakukan penggusuran di seantero sudut Jakarta. LBH Jakarta menyebut, ada 131 lokasi lain di Jakarta yang berpotensi akan digusur lagi oleh ahok. Penggusuran ini dikakukan dengan kekuatan aparat negara, secara kasar, tidak manusiawi, tidak diberi ganti rugi tidak pula memikirkan nasib warga pasca pengusuran. Warga Jakarta dianggap sampah dan perusak keasrian pemandangan Jakarta. Sebagai gantinya, ahok telah menggandeng para pengusaha pengembang untuk membangun gedung-gedung pencakar langit, yang tentu saja ini tidak mungkin diperuntukkan untuk rakyat.
Karakter ahok yang suka mengumpat, menghina, mencela, merendahkan martabat, menjadi tambahan alasan bagi rakyat untuk semakin menolak ahok. Idealnya, seorang pemimpin itu pelindung, pengayom dan pelayan rakyat. Hubungan kepemimpinan antara rakyat adalah hubungan sinergi, saling melengkapi, bukan sebaliknya. Hubungan kepemimpinan yang dibangun ahok diletakkan diatas asas ketegangan, ke tidakpercayaan, kontroversi dan antagonistik.
Rakyat Jakarta merasa risau, khawatir, cemas dan was-was dipimpin ahok. Bagaimana mungkin rakyat memberikan loyalitas dan ketaatan sementara ahok membangun pola kepemimpinan dengan pendekatan tiran ?
Sayangnya, betapapun banyak argumen untuk menolak ahok, sebagaimana terlalu sedikitnya alasan untuk mendukung ahok, tidak membuat Megawati Soekarno Putri, pemilik saham mayoritas PDIP mengeluarkan Sabda Pandita Ratu untuk mendepak ahok. Sebaliknya, PDIP justru merangkul dan memeluk erat ahok, diatas teriakan massa PDIP dan rakyat Jakarta yang menolak pencalonan ahok.
Alienasi dan Pragmatisme Partai Politik
Rakyat rupanya harus sadar, saat ini partai politik yang berjuang melalui jalur politik demokrasi tidak-lah pernah berjuang untuk dan atas nama rakyat. Parpol yang ada hanya berjalan berdasarkan pragmatisme politik. Tujuan yang menjadikan partai bergerak menghimpun kekuatan politik adalah materi semata. Partai tidak akan pernah bisa menggerakan roda politik partai, manakala tidak ada kepentingan materi yang akan dituju partai.
Partai hanya menjadikan rakyat sebagai adress, jargon semata. Hal ini terkonfirmasi dari banyaknya sikap dan pandangan partai yang bertentangan secara diametrikal dengan rakyat, dalam berbagai isu publik. Saat rakyat tidak menginginkan kenaikan harga BBM, partai justru mendorong dan membekingi penguasa untuk menaikan BBM. Saat rakyat menginginkan bumi, air, udara serta seluru kekayaan Indonesia dikuasai oleh negara, partai justru melalui kadernya di pemerintahan menyerahkannya kepada swasta bahkan asing.
Pada kasus ahok, saat rakyat Jakarta mayoritas menolak ahok, partai justru mendukungnya. Partai-partai politik yang ada telah mengkhianati amanah rakyat, dan secara terbuka dan telanjang menunjukan wajah aslinya. Partai sesungguhnya telah bekerja untuk dan atas nama pemodal dengan tujuan memperoleh keuntungan materi.
Adapun partai-partai lain yang kontra ahok, pun tidak bisa dianggap sebagai partai pro rakyat. Hal ini dapat dilihat dari pola hubungan koalisi yang dibangun begitu rapuh, setali tiga uang juga berdasarkan asas pragmatisme. Rakyat dapat melihat secara kasat mata, bagaimana satu partai berseteru dengan partai tertentu pada Pilkada di daerah tertentu. Pada saat yang sama, di Pilkada daerah lain, partai tersebut saling berkoalisi untuk memenangkan pasangan calon yang mereka usung.
Isu-Isu politik -termasuk koalisi politik- yang dibangun partai politk, tidak dimaksudkan untuk membela dan merealisir keinginan publik. Ujung dari setiap manuver politik dan pola koalisi politik hanyalah untuk memuaskan syahwat kekuasaan dan materi.
Alih-alih memikirkan rakyat dan bekerja untuk mensejahterakannya, partai justru sibuk memikirkan suksesi politik dari satu Pilkada ke Pilkada lainnya, dari satu pemilu ke pemilu lainnya, dari satu Pilpres ke periode Pilpres selanjutnya. Lantas, kapan waktu partai untuk memikirkan rakyat ?
Di sinilah pangkal alienasi dan keterasingan partai dari rakyat. Rakyat menganggap partai sebagai entitas terpisah, bukan bagian dari rakyat. Rakyat malahan menganggap partai sebagai musuh dan biang masalah. Betapa tidak, kekuasaan yang ada dibangun berdasarkan kekuatan partai politik. Sementara, produk kekuasan yang ada bukannya memikirkan kesejahteraan rakyat, malahan siang dan malam sibuk menipu dan memperdaya rakyat.
Umat Butuh Partai Politik Islam Sejati
Betapapun umat membenci partai politik, secara realitas umat membutuhkan partai politik. Dengan adanya partai politik, umat bisa makukan kontrol kepada kekuasaan berdasarkan ide tertentu dan aspirasi umat. Ide ketatanegaraan dan pelaksanaan kekuasaan bagi umat Islam adalah syariah Islam. Artinya, umat membutuhkan partai politik Islam sejati yang menggerakan roda partai berdasarkan asas syariah Islam, termasuk menjadikan tujuan penerapan syariah Islam sebagai tujuan utamanya.
Partai ini tidak mungkin bagian dari demokrasi, dimana demokrasi telah secara nyata menjadikan kedaulatan pemodal sebagai penguasa. Kedaulatan rakyat hanya menjadi kalimat retorika yang nyaris tanpa realita. Kenyataannya, para pemodal dan para cukong yang mengendalikan kekuasaan.
Partai ini juga harus menjadikan Islam sebagai satu-satunya rujukan, sekaligus menolak apapun yang tidak bersumber dari Islam. Partai yang benar-benar hidup berada dan bersama-sama umat. Partai yang ikut merasakan derita umat, sekaligus membimbingnya untuk mendapatkan solusi dan jalan keluar.
Partai yang konsisten membina imat, mendatangi pintu-pintu umat setiap saat dan waktu, bukan hanya pada saat momen pemilu dan Pilkada. Partai yang dengan telaten melayani umat, memikirkan kemaslahatannya, berjuang mewujudkannya, serta selalu menjadi pihak yang terdepan membela umat.
Partai ini tidak mungkin partai yang bukan Islam, tidak mungkin pula partai yang berkompromi dengan sistem selain Islam. Jika partai telah berkompromi dengan sistem selain islam, tidak ada jaminan lagi dia akan komitmen pada syariah dan setia menjaganya. Jika syariah -yang notabene amanah Allah SWT- dapat dikesampingkan, apalagi amanah dari umat?
InsyaAllah partai yang ditunggu umat telah hadir bergerak dan hidup bersama umat. Kedekatan itu makin karib, kemesraan itu semakin erat. Peristiwa pengkhianatan partai demokrasi dan para penguasa telah menjadikan umat sadar, bahwa mereka memang harus segera dan serta merta melepaskan loyalitasnya.
Kerinduan antara umat dengan partai yang berjuang sungguh-sungguh untuk Islam, telah menuju satu interaksi yang intensif, dimana pola ini dibangun tidak saja berdasarkan kecenderungan perasaan tetapi berdasarkan logika dan pemikiran Islam. InsyaAllah, jika asas hubungan antara partai dan umat adalah syariah Islam, tidak akan ada pengkhianatan diantara mereka, dan kemenangan sudah pasti didepan mata. Kapankah kemenangan itu tiba ? Kapankah Khilafah tegak ? Kapankah syariah Islam secara kaffah mengatur umat ini ? Sungguh …pertolongan itu sudah begitu dekat. [].