Masjid, Dakwah, dan Politik

Istiqlal 2Oleh Imam Sutiyono*

Masjid adalah tempat istimewa bagi kaum Muslimin untuk beribadah. Disebut juga Baitullah atau Rumah Allah karena di masjid dilakukan peribadatan ritual, sholat berjamaah, kajian, dzikir, hingga momentum peringatan hari besar Islam. Tidak heran jika di banyak tempat di Indonesia ketika bulan Ramadhan masjid sangat ramai jamaah, hari-hari besar seperti Maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj hingga Tahun Baru Islam pun marak dijadikan momen menguatkan keimanan dan juga meneladani akhlaq serta kehidupan Nabi Muhammad.

Syaikhul Islam dimasa Peradaban Islam, Ibn Taimiyyah berkata: “Tempat para imam dan berkumpul-nya umat adalah masjid. Nabi saw membangun masjidnya berdasarkan ketakwaan. Di sana, beliau shalat, membawa al-Qur’an, dzikir, mengangkat para pemimpin, memper-kenalkan tokoh. Di situ, kaum Muslim berkumpul, karena urusan agama dan dunia yang mereka anggap penting.”

Aktivitas Dakwah

Tidak ketinggalan, tempat diselenggarakan kegiatan dakwah yang sangat dominan adalah masjid. Dakwah yang dimaksud yaitu proses penyampaian nasehat atau ceramah yang akan mengugah kesadaran begitu tinggi dan mulianya ajaran Islam. Dakwah merupakan medium penting dalam proses transformasi pemikiran dan pemahaman terhadap syariat Islam yang rahmatan lil’alamiin.

Transformasi pemikiran seputar ajaran Islam ini sering dijumpai dalam kajian keislaman, baik pembahasan kitab suci Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Kajian ini bisa dilakukan per pekan atau yang dikehendaki agar terjadi kebangkitan berpikir dalam diri umat. Ini juga sangat menunjang dalam penjagaan akidah dari ajaran-ajaran sesat yang menyimpang dari mainstream ijtihad para ulama mu’tabar.

Sedangkan setiap Jum’at maka para jamaah masjid mendengarkan khutbah Jum’at yang meski singkat tapi padat berisi seputar pemahaman Islam dan perkembangan umat terkini. Dalam khutbah Jum’at yang ideal baik isi maupun durasi sangat dibutuhkan oleh umat. Terlebih dalam kondisi umat yang haus akan ilmu dan pemahaman Islam yang lurus. Sangat disayangkan jika materi khutbah kurang mengena dan jauh dari realita keumatan terkini.

Sungguh dalam perjalanan peradaban sejarah Islam atau tepatnya dimasa Kenabian Muhammad, masjid menjadi sentral dakwah Islam. Pembelajaran Islam, pendalaman Al-Qur’an dan hadits, hingga praktek ibadah secara umum dilangsungkan di Rumah Allah. Bahkan dalam jejak kehidupan para sahabat pun seperti mengutarakan keislaman atau ucapan syahada terjadi di masjid. Oleh karenanya tidak aneh jika masjid di jaman itu menjadi tempat yang sakral sekaligus sarana kaderisasi umat dalam menyongsong kebangkitan Islam.

Begitu juga energi dan spektrum dakwah lah yang menjadikan Islam berkembang luas hingga saat ini. Yang mulanya hanya di kota kecil Yastrib (Madinah) kemudian melebarkan hingga jazirah Arab, India termasuk Pakistan, Persia (Iran), Irak, Syam (Suriah, Lebanon, Palestina), dataran Afrika-Maroko-Aljazair, hingga dataran Eropa seperti Spanyol, bahkan Nusantara dengan kesultanan Demak, Pasai, Mataram, Banten, dan seterusnya. Dakwah yang diemban oleh kekuasaan lah yang menjadikan Islam berkembang pesat, dari masa kepemimpinan Nabi, diteruskan Khalifaur Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah hingga Turki Ustmani. Sangat bisa dipahami ungkapan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental Al-Iqtshad fil I’tiqhad:  Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi, kekuasaan adalah penjaganya. Apa-apa yang tidak ada pondasi akan hancur. Apa-apa yang tidak dijaga maka akan binasa.

Depolitisasi Masjid

Masjid adalah harta milik umum, yang tidak boleh dimonopoli atau dikapling oleh individu, kelompok, bahkan negara. Siapapun berhak memanfaatkan masjid sesuai dengan peruntukannya, dan tidak boleh dihalangi, dilarang atau diusir. Tentu, dengan tetap menjaga adab dan akhlak di masjid sebagai Baitullah dan tempat ibadah. Oleh karena itu di masa Nabi, masjid merupakan tempat pertama yang dibangun setelah hijrah dan proklamasi Negara Yastrib (Madinah). Mengapa Nabi tidak membangun gedung pemerintahan, tembok pertahanan atau bangunan lain? Di masjid tersebut Nabi sebagai kepala Negara melakukan apa yang disebut sebagai aktivitas politik. Politik menurut Islam adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam di dalam/ luar negeri. Sedangkan politik dalam teori klasik Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Dalam masjid itulah Nabi mempraktekan adanya sebuah Negara. Musyawarah (syuro) diantara para sahabat dalam menentukan strategi perang Uhud misalnya. Begitu juga saat akan mengutus Ali bin Abi Thalib ke daerah jazirah Arab untuk menyampaikan misi dakwah Islam rahmatan lil’alamiin. Penetapan khalifah Abubakar ash-shiddiq dan setelahnya banyak mengunakan fasilitas masjid. Oleh karenanya masjid sebagai pusat kegiatan politik sangat kental waktu itu. Hingga kemudian terjadilah apa yang terjadi.

Tepatnya 3 Maret 1924, kekhilafahan Turki Ustmani dihancurkan oleh Mustafa Kemal terjadilah sekularisasi Islam. Sekularisasi menjadikan pemisahan agama dan kehidupan. Sejatinya ini adalah desakralisasi ajaran Islam. Pada masa Mustafa Kemal Bukan saja mengganti adzan dengan bahasa Truki tapi lebih dari itu sampai busana jilbab pun dilarang dan simbol-simbol ajaran Islam dijauhkan dari kehidupan umat Islam sendiri. Masjid menjadi tempat ibadah saja hingga muncul depolitisasi masjid. Seolah ingin mengatakan haram beraktivas politik, membicarakan masalah keumatan hingga ekonomi-politik-sosial-budaya di Baitullah atau rumah Allah. Depolitisasi masjid adalah proyek yang dilakukan untuk menjauhkan dan membersihkan masjid dari fungsi dan peran politik (Islam). Depolitisasi ini proyek berbahaya yang mengancam Islam dan kaum Muslim. Karena menyalahi contoh yang dipraktekan oleh Nabi dan masa peradaban Islam.

Sangatlah indah dan mulia jika pada saat momentum Maulid Nabi, Ramadhan, Tahun Baru Islam, Isra’ dan Mi’raj menjadi sarana memakmurkan masjid. Dengan harapan ada syiar Islam dan peningkatan pemahaman Islam di saat media cetak maupun elektronik, televisi, internet, semua itu sangat jauh dari nuansa keislaman. Bahkan sangat dikhawatirkan media itu menjadi sarana pendangkalan akidah dan penyesatan ajaran Islam. Benar sebagaimana sinyalemen Nabi bahwa umat ini akan mengikuti kebiasaan atau tradisi jahiliyah sebagaimana umat-umat terdahulu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga mereka masuk dalam lubang biawak pun mereka tidak menyadarinya.

Dalam kancah pra-kemerdekaan, munculnya Snouck Horgronje (1857-1936) sebagai agen Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan Islam non politik pun sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam masa itu. Sepak-terjang Snouck yang mengecoh para ulama pun ternyata hingga kini masih menjadi kontroversi. Pudar hingga runtuhnya kesultanan Aceh oleh Belanda tidak lepas dari jasa sang Horgronje. Inilah pelajaran berharga dari sejarah dimana jika ajaran Islam non politik disebarkan maka imperialisme Belanda semakin kokoh dan pribumi semakin sengsara.

Sangat beruntung di penghujung abad ke-20 rupanya peranan masjid sebagai tempat berpolitik dan menyampaikan perkembangan umat kian santer terdengar. Berbagai diskusi, sharing dan update bisnis muamalah hingga fiqh kontemporer pun sering dibahas. Kesadaran dan pemahaman umat pun mulai ada perubahan. Indikasi umum yang dapat terlihat adalah maraknya simbol-simbol keislaman, dari stiker kendaraan, bisnis busana muslim, bank, pegadaian hingga asuransi berlabel syariah, perda bertajuk syariah dan sebagainya. Buletin, majalah baik cetak maupun elektronik seperti facebook, twiter, whatsapps, telegram pun tidak jarang bersuara politik Islam. Kiranya tidak salah jika surat Al-Alaq yang menekankan iqra (bacalah) jauh-jauh hari masih tetap akan up to date sepanjang masa sebagaimana Islam rahmatan lil’alamiin, rahmat untuk semua. Wallahua’lam bisshowab.

*Imam Sutiyono, Pemerhati Masalah Sosial & Keagamaan, tinggal di Serang, Banten.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*