Hijrah, Saatnya Berubah!

[Al-Islam No. 824-27 Dzulhijjah 1437 H-30 September 2016]

Tak terasa, kita akan kembali bertemu dengan awal tahun baru hijrah. Kali ini kita akan memasuki tahun 1438 Hijrah. Sayang, pergantian tahun hijrah ini masih diiringi dengan keprihatinan kita atas sejumlah kondisi buruk yang menimpa umat Islam dalam segala aspek kehidupannya. Pergantian tahun hijrah, yang akhir-akhir ini selalu diperingati oleh sebagian kaum Muslim, justru sama sekali jauh dari esensi (hakikat)-nya, yakni perubahan! Ya, esensi hijrah adalah perubahan; dari kejahilian menuju cahaya Islam; dari kekufuran dan kemusyrikan menuju tauhid dan keimanan; dari darul kufur ke Darul Islam; dari tatanan kehidupan yang rusak dan bobrok ke tatanan kehidupan yang baik dan diliputi keberkahan.

Karena itu tentu penting bagi umat Islam untuk kembali merenungkan hakikat hijrah yang esensinya adalah perubahan.

Makna Hijrah

Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhîth, I/637). Para fukaha lalu mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam). Karena itu para fukaha biasa menggunakan istilah Darul Islam dan darul kufur. Frasa Darul Islam, misalnya, terdapat dalam kitab-kitab fikih Syafi’iyah seperti: Rawdhah ath-Thâlibîn (I/129),  Al-Umm (III/30),  I‘ânah ath-Thâlibîn (IV/233),  Fath al-Wahhâb (I/112), dll.

Masyarakat Sebelum Hijrah

Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek. Pertama: Aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, jin, ruh terdahulu, binatang dan berhala.

Kedua: Aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah (Lihat: QS at-Takwir: 8-9).

Ketiga: Aspek ekonomi. Bisnis yang dilakukan bangsa Arab saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan bunga yang berlipat ganda (riba fadhl) telah menjadi tradisi mereka.

Keempat: Aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Masyarakat Pasca Hijrah

Setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah (Negara Islam) di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Negara Islam yang dibangun Baginda Nabi saw. berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah. Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Nabi saw.—melalui institusi Negara Islam yang beliau dirikan—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah. Pertama: Dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.

Kedua: Dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.

Ketiga: Dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya.

Keempat: Dari sisi politik. Pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Negara Islam yang dibangun Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.

Jahiliah Modern

Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai “Jahiliah Modern”. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Di negeri ini, mencuatnya kasus Aa Gatot dan Kanjeng Dimas—melengkapi kasus-kasus sebelumnya seperti kasus Guntur Bumi, Eyang Subur, Lia Eden, dll—menunjukkan betapa sebagian umat ini masih percaya dengan orang-orang ‘aneh ‘ berbaju syaikh, wali (bahkan mengaku nabi), guru spiritual, orang pintar, ahli hikmah; dll. Padahal mereka menyatukan penyembahan terhadap jin dengan berbagai tindak kejahatan seperti penipuan, pelecehan wanita, bahkan pesta narkoba!

Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak.

Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Tahun ini utang negara kita sudah menembus angka Rp 4000 triliun lebih, dengan rata-rata bunga yang harus dibayar hanya dalam dua tahun (2016-2017) rata-rata Rp 200 triliun pertahun.

Di bidang politik, fenomena Pilkada DKI yang menyita energi sebagian umat pastinya juga tidak akan menghasilkan kondisi yang lebih baik. Sebagaimana Pemilu atau sejumlah Pilkada sebelum ini, jelas umat hanya diperalat untuk kemudian dijadikan korban oleh para elit politik. Mereka kembali ditipu, dikhianati dan dizalimi pasca Pemilu atau Pilkada usai. Sepanjang tahun ini, nasib umat tidak berubah sekalipun rezim berganti.

Dalam lingkup politik luar negeri, Dunia Islam tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bahkan negeri-negeri Islam menjadi obyek penjajahan gaya baru oleh bangsa Barat. Irak, Afganistan Suriah porak-poranda oleh AS dan sekutunya. Palestina tetap dalam cengkeraman Zionis Israel. Konflik terjadi di berbagai negeri Islam karena campur tangan asing yang berkepentingan terhadap potensi-potensi strategisnya. Di negeri-negeri Barat diskriminasi atas umat Islam yang minoritas juga menjadi pemandangan saban hari.

Perubahan Menuju Khilafah

Karena itu saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, perlu membangun kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibangun Nabi saw. pasca Hijrah. Khilafah akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah akan menjadikan dunia ini bisa hidup kembali dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadailan, kesejahteraan dan keberkahan. Khilafahlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Karena itu awal tahun Tahun Baru Hijrah dan hari-hari ke depan sejatinya adalah hari-hari untuk terus menggelorakan kebangkitan Islam menuju perubahan hakiki. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat menyelesaikan secara tuntas seluruh persoalan kaum Muslim di dunia saat ini. Perubahan semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua hal sekaligus. Pertama: Membangun kekuatan politik internasional, yakni Khilafah Islam, yang menyatukan seluruh potensi kaum Muslim, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Kedua: Menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam Khilafah Islam tersebut. Hanya dengan cara inilah kaum Muslim akan mampu mengakhiri kondisi buruknya di bawah kekuasaan sistem Kapitalisme global menuju kehidupan mulia dan bermartabat di bawah institusi global: Khilafah Islam.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Hukum Jahiliahkah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). []

 

Komentar al-Islam:

Anak Laki-Laki Makin Rentan Terkena Kejahatan Seksual (Republika.co.id, 28/9/16)

  1. Tidak perempuan, tidak laki-laki. Dalam sistem sekular-liberal saat ini semua bisa jadi korban kejahatan.
  2. Maraknya kejahatan seksual—juga aneka kejahatan lainnya—membuktikan rezim dan sistem saat ini gagal menciptakan rasa aman bagi warganya.
  3. Hanya dengan penerapan syariah dan penegakkan Khilafah rasa aman akan benar-benar bisa dirasakan oleh setiap orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*