Ditulis oleh: Budi Mulyana
Maraknya aksi terorisme di negeri ini, juga di belahan dunia lainnya, telah melahirkan asumsi bahwa terorisme lahir dari radikalisme. Lagi-lagi yang menjadi pihak tertuduhnya adalah Islam. Alasannya, pelakunya adalah seorang Muslim, atau ada identitas keislaman yang melekat pada diri pelaku, atau ada bukti-bukti yang mengaitkan pelaku dengan identitas yang identik dengan Islam. Legitimasi tuduhan ini setidaknya jelas sebagaimana yang dikutip Fanani dalam Rizal Sukma (2004), bahwa radicalism is only one step short of terrorism; bahwa pada umumnya para teroris yang melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, khususnya agama. Hal ini tampak tatkala pelaku teroris melegitimasi tindakannya dalam paham keagamaan radikal yang ia anut (Ahmad Fuad Fanani, 2012: 5).
Radikalisme Diidentikkan dengan Islam
- Radikalisme dikaitkan dengan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah.
Keinginan umat Islam untuk dapat kembali melanjutkan kehidupan Islam sebagai solusi atas problematika umat dengan menegakkan syariah dan Khilafah dianggap sebagai tindakan yang mengusung radikalisme. Perjuangan mewujudkan syariah Islam dalam institusi Khilafah dianggap sebagai tindakan diskriminatif, rasis dan ‘fear label’ lainnya. Dengan pemahaman yang dangkal, pihak-pihak yang terusik dengan perjuangan menerapkan syariah Islam menganggap bahwa ada bagian dari syariah Islam yang bersifat diskriminatif. Misal, dalam hukum waris, pembedaan pembagian antara lelaki dan wanita dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Larangan orang kafir untuk menjadi pemimpin bagi orang Islam juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Banyak lagi ayat-ayat al Quran maupun hadits Rasulullah saw. yang mulia yang menjadi korban tuduhan mereka.
- Radikalisme dikaitkan dengan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah
Pemahaman yang dangkal yang dibalut dengan frame sekularisme Barat yang telah menstigma Islam sebagai enemy melahirkan tuduhan terhadap firman Allah SWT yang mulia. Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis yang menyerukan perintah jihad fi sabilillah dianggap sebagai seruan radikalisme.
Kemuliaan jihad dan pujian bagi para syuhada dianggap sebagai glorifying violence (mengagungkan kekerasan). Mereka pun menuduh bahwa bibit radikalisme justru ada dari inti ajaran Islam itu sendiri.
- Radikalisme dikaitkan dengan paradigma pemikiran Islam.
Sekularisme Barat juga telah mendiskredit-kan segala bentuk pemikiran yang masih dibalut dengan agama. Sekularisme mengharuskan fasl ad-dîn ‘an al-hayâh (memisahkan agama dengan aspek kehidupan).
Radikalisme pun dituding lahir dari paradigma berpikir yang masih menghubung-hubungkan kehidupan ini dengan nilai-nilai agama. Manusia tidak bisa ‘pure’ karena diikat dengan doktrin agama yang tidak netral, tidak inklusif. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia yang memiliki pemikiran yang sempit, tidak terbuka, tidak mau menerima perbedaan/heterogenitas.
- Radikalisme dikaitkan dengan penolakan pemikiran Barat.
Pemikiran-pemikiran Barat yang dilandasi oleh paham sekularisme seperti demokrasi, liberasisme dan pengagungan terhadap human right (HAM), acapkali praktiknya bernilai standar ganda. Pemikiran-pemikiran Barat ini sering menjadi alat untuk memuluskan berbagai kepentingan Barat, terutama di Dunia Islam.
Perlawanan terhadap double standard inilah yang memicu radikalisme. Barat sering tutup mata, bahwa akar masalah radikalisme ini justru lahir dari tindakan mereka sendiri yang rakus dengan kepentingan mereka sesuai dengan falsafah dasarnya, melepaskan diri dari nilai-nilai spiritual.
- Radikalisme dikaitkan dengan upaya penyatuan Islam dan politik.
Bertolak belakang dengan sekularisme, Islam mendorong adanya penyatuan nilai-nilai spiritualitas dengan politik. Politik adalah bagian dari Islam. Bahkan politik adalah nilai luhur dari manusia karena merupakan ri’âyah su’ûn al-‘ummah (pengaturan urusan umat).
Namun, karena bertolak dari tradisi Barat yang sekular, penyatuan ini dianggap sebagai bentuk radikalisme. Pasalnya, dalam pandangan Barat, tidak semestinya urusan politik yang kotor dicampuradukkan dengan agama yang suci.
- Radikalisme dikaitkan dengan jihad fi sabilillah.
Jihad fi sabilillah, yang merupakan perintah Allah SWT dalam al-Quran mulia, dalam pandangan Barat, harus didefinisikan ulang. Jihad sebagai perang telah menimbulkan trauma yang mendalam bagi Barat. Perang Salib yang berlangsung berabad-abad menunjukkan superioritas Muslim atas Barat. Ini telah menjadi hantu yang menakutkan mereka sehingga mereka harus memikirkan berbagai cara untuk mengakhirinya.
Kini Barat memiliki kesempatan untuk mengatur dunia. Karena itu tafsir terhadap ajaran jihad fi sabilillah penting dilakukan untuk melemahkan spirit umat Islam dalam perjuangan Islam. Label radikalisme terhadap jihad fi sabilillah adalah bagian dari upaya tersebut.
Mendudukkan Radikalisme
Terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh.
Berpikir secara radikal, artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. Hal ini yang kemudian besar kemungkinan akan menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21).
Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), radikal berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan, istilah radical, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti: relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reaching or through (berhubungan atau yang mempengaruh sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”.
Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.
Adapun istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat konstektual dan posisional, dalam hal ini, kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekular, saintifik maupun keagamaan.
Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Mitsuo Nakamura, misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Asian Southeast Asian Studies Vol. 19, No. 2 tahun 1981, menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang otonom dan independen, bukan derivasi dari organisasi yang lain. NU juga mempunyai sikap politik yang kritis, terbuka dan mendasar menghadapi status quo penguasa ketika itu, yaitu zaman Presiden Soeharto. NU juga memperlihatkan dengan karakteristik keagamaan yang tetap konsisten. Dengan karakteristiknya yang bersifat mendasar inilah NU disebut radikal. Tentu, bila istilah radikal kini dilekatkan pada NU, akan memberikan perspektif yang berbeda. Pasalnya, kini radikalisme dihubungkan dengan isu terorisme. Istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll, yang semuanya cenderung berkonotasi pada Islam.
Secara historis, penggunaan istilah radikal tidaklah selalu negatif. Dalam strategi perjuangan bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan, strategi non-kooperatif atau sering disebut sebagai strategi radikal pun dilakukan. Strategi ini mengiringi strategi kooperatif atau non-radikal semisal negosiasi dan perundingan-perun-dingan seperti Perundingan Linggarjati, Renville, Rum-Royen dan Konferensi Meja Bundar.
Strategi radikal yang dilakukan Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan melakukan gerilya melawan Belanda, atau penyerangan Sekutu dengan Palagan Ambarawanya, atau penolakan pendudukan sehingga melahirkan Peristiwa Bandung Lautan Api bahkan peristiwa heroik di Surabaya pada 10 Nopember adalah bukti bahwa radikalisme adalah cara untuk melawan penjajah yang kini diabadikan sebagai peristiwa sejarah penting bagi bangsa Indonesia.
Sayang, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah “Islam radikal” yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Karena itu tidak aneh jika Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. “Istilah radikalisme adalah buatan Barat untuk menghancurkan dan mengkooptasi umat Islam. Barat sadar jika Islam adalah ancaman bagi dia,” (Hidayatullah.com).
Mendudukkan Perjuangan Menegakkan Syariah dan Khilafah
Keberadaan syariah dan Khilafah adalah kebaikan bagi umat manusia karena keduanya lahir dari rahim Islam. Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan dalam kitab suci-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Ayat ini, menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llâh menjelaskan, bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Jadi, aneh bila ada yang menganggap keberadaan syariah dan khilafah sebagai ancaman. Bisa jadi, yang menganggap keduanya ancaman adalah pihak-pihak yang memang jauh dari nilai-nilai Ilahiah yang ingin hidupnya dilandasi oleh hawa nafsu dan kepentingan belaka. Mereka yang terkooptasi dengan ketakutan Barat terhadap Islam sehingga masih menyimpan ingatan permusuhannya terhadap Islam sebagaimana yang disebutkan dalam setiap pidato yang membahas Khilafah oleh para pemimpin politik di Washington dan Eropa. Dalam pidato Heritage Foundation, 6 Oktober 2005, Sekretaris Dalam Negeri Inggris Charles Clarke menyatakan, “…Tidak akan ada negosiasi tentang pembentukan kembali Khilafah; tidak akan ada lagi negosiasi tentang penerapan syariah Islam…”
Presiden George W. Bush dalam pidato kepada rakyatnya 8 Oktober 2005 menyebutkan, “Para militan meyakini bahwa mengendalikan satu negeri akan mempersatukan umat Islam, memungkinkan mereka menggulingkan semua pemerintahan moderat dan menegakkan imperium radikal Islam dari Spanyol hingga Indonesia.”
Pada 5 Desember 2005, Sekretaris Pertahanan AS Donald Rumsfeld, dalam pidato tentang masa depan Irak di John Hopkins University menyebutkan, “Irak akan menjadi pusat pemerintah Khilafah Islam baru dan meluas meliputi Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan-pemerintahan sah di Eropa, Amerika dan Asia. Inilah rencana mereka. Mereka (gerakan Islam radikal) telah menyatakan itu. Kita telah membuat kesalahan yang fatal bila kita tidak mendengar dan mempelajarinya.”
Khilafah yang mulia sudah tiada sejak runtuh tahun 1924. Gelora perjuangan umat untuk dapat mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah tentunya tidak boleh hanya mengandalkan semangat belaka. Pemahaman yang utuh dan benar, dilandasi dengan pondasi tauhid yang kokoh dan kedalaman pemahaman syariahnya, akan mewujudkan fikrah dan tharîqah yang sahih dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Khilafah harus dilakukan secara mendasar dan menyeluruh (inqilabiyah wa syumuliyah). Pemahaman keliru tentang syariah dan Khilafah, yang sepotong-sepotong dan tidak utuh, justru akan melahirkan kekeliruan terhadap apa yang dimaksud dengan syariah dan Khilafah. Akibatnya, ini justru akan menjauhkan dari cita-cita penegakkan syariah dan Khilafah itu sendiri.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Khilafah harus dilakukan dengan cara pemikiran, politis dan tanpa kekerasan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. Hal ini tidak lain karena bangkitnya Islam didasari pada landasan pemikiran “Lâ ilâha illa AlLâh Muhammad RasûlulLâh”. Inilah yang didakwahkan Rasulullah saw. Dari pemikiran dasar inilah akan muncul akidah yang berlandaskan pemikiran yang sahih. Pemikiran ini pula yang akan mendasari ketaatan seorang Muslim pada syariah Islam.
Karena kekuasaan adalah salah satu akses politik, tentu untuk mengambil kekuasaan itu juga diperlukan aktivitas politik. Karena itu Rasulullah saw. mencontohkan bagaimana beliau menyerang ide-ide jahilliyah dan pemikiran-pemikiran batil yang berkembang di masyarakat, mengungkap konspirasi kaum kafir, menelanjangi kebusukan penguasa pada saat itu. Ini merupakan aktivitas politis. Begitu pula dengan proses meminta pertolongan (at-thalab an-nushrah) yang dilakukan Rasulullah, yaitu mendatangi penguasa (ahl al-quwwah). Ini pun merupakan tindakan politis yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Khilafah pun harus dilakukan dengan membangun kesadaran masyarakat serta membangun dukungan dari ahlul quwwah. Karena masyarakat atau umatlah pemilik yang hakiki perubahan ini. Tanpa kesadaran mereka, perubahan hanyalah kesia-siaan. Ahlul quwwah adalah pengikat dari proses perubahan. Merekalah kunci umat, kepercayaan umat dan sandaran umat.
WalLâhu a’lam. []
Budi Mulyana adalah anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Mahasiswa Pogram Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Dosen Hubungan Internasional UNIKOM Bandung.