Siapakah Orang Kafir?


Soal:
Siapakah orang kafir? Benarkah penganut agama Yahudi dan Nasrani disebut kafir? Ataukah kafir adalah mereka yang musyrik saja?

 

Jawab:

Kata kafir digunakan oleh al-Quran dengan konotasi yang jelas dan khas. Berbeda dengan konteks asal bahasanya. Kata kafir secara harfiah diambil dari kafara-yakfuru-kufr[an]-kafir, yang berarti: jahada-yajhadu-juhud[an]-jahid (menolak). Kata ini digunakan oleh al-Quran dengan konotasi khas, sebagai sebutan dengan konotasi (ism wa musamma)-nya yang berbeda dengan sebutan dan konotasi (ism wa musamma) sebelumnya.

Al-Quran kadang menggunakan kata kafir dengan bentuk isim fâ’il, seperti kâfir; atau fi’il, seperti kafara atau yakfuru; kadang dengan menggunakan bentuk mashdar, seperti kufr[an]. Saat al-Quran menggunakan kata ini sebagai sebutan dan konotasi khusus, maka kata ini telah berubah statusnya, dari kata dengan konotasi hakiki, menurut bahasa (haqîqah lughawiyyah), menjadi kata dengan konotasi hakiki, menurut syariah (haqîqah syar’iyyah).

Karena itu istilah kafir akhirnya menjadi istilah syariah, dengan konotasinya yang khas. Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa orang yang tidak meyakini Allah, Malaikat, Kitab, Rasul dan Hari Akhir adalah kafir dan nyata-nyata tersesat.

وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Siapa saja yang mengingkari Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, serta Hari Akhir benar-benar telah tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya (QS an-Nisa’ [4]: 136).

 

Karena itu siapa saja yang tidak meyakini rukun iman, berdasarkan ayat ini, disebut kafir, atau bukan Muslim.

Al-Quran juga menyatakan kafir kepada orang yang menyatakan bahwa Allah adalah tiga oknum dalam satu substansi:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ

Sungguh telah kafir orang yang menyatakan Allah itu adalah tiga oknum dalam satu (substansi) (QS al-Maidah [5]: 73).

 

Al-Quran pun menyatakan, bahwa orang yang meyakini Allah adalah Isa al-Masih adalah kafir:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

Sungguh telah menjadi kafir, orang yang menyatakan bahwa Allah itu adalah al-Masih putra Maryam (QS al-Maidah [5]: 17).

 

Kedua ayat ini menegaskan kekafiran orang Kristen, yang menyakini ketuhanan Allah, Ruh Kudus dan Isa al-Masih. Karena itu orang Kristen berdasarkan ayat ini disebut kafir.

Al-Quran juga menyebutkan kekufuran orang Yahudi:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair adalah putra Allah.” Orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itu adalah perkataan mereka, yang dinyatakan dengan mulut-mulut mereka. Mereka menirukan ucapan orang-orang kafir sebelumnya (QS at-Taubah [9]: 30).

 

Ayat di atas juga dengan tegas menyatakan kekafiran orang Yahudi. Dengan demikian orang Yahudi, menurut al-Quran, jelas-jelas kafir. Mereka inilah yang kemudian disebut oleh al-Quran dengan sebutan Ahlul Kitab (Lihat: QS al-Maidah [5]: 18).

Al-Quranlah yang memberikan label kafir kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani atau Ahlul Kitab. Allah SWT berfirman:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir, dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrik, tidak akan pernah meninggalkan agama mereka sampai datang kepada mereka bukti yang nyata (QS al-Bayyinah [98]: 1).

 

Inilah istilah kafir yang digunakan oleh al-Quran. Konotasinya meliputi dua kategori: (1) Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani); (2) Musyrik, yakni semua pemeluk agama dan kepercayaan selain Yahudi dan Nasrani. Karena itu penganut Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, Sinkh dan sebagainya adalah kafir dalam kategori Musyrik. Al-Quran tidak menyebutkan kategori lain, selain kedua kategori ini.

Jadi, al-Quran dengan jelas menyatakan, bahwa selain Islam adalah kufur. Karena itu orang munafik, yang tampak secara lahiriah Muslim, sebenarnya batinnya kafir. Oleh al-Quran mereka disebut kafir.

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

Itu karena mereka sebelumnya beriman, kemudian berubah menjadi kafir. Hati mereka kemudian ditutupi dan mereka pun tidak sadar (QS al-Munafiqun [63]: 3).

 

Karena itu tidak ada konotasi lain, selain Islam, kecuali kufur.

Islam dan kafir ini bukan status permanen yang melekat pada seseorang karena ini merupakan keyakinan. Ketika seseorang meyakini Islam dengan bulat, benar dan utuh, maka dia telah menjadi Muslim. Dia juga tidak akan kehilangan keislamannya meski tidak bisa menjalankan Islam secara kâffah, selama hatinya masih meyakininya.

Namun, orang Islam pun bisa berubah menjadi kafir, dan disebut murtad, saat telah meninggalkan Islam, karena tidak lagi meyakini Islam; atau karena meyakini sebagian, tidak sebagian yang lain. Itulah yang disepakati para Sahabat ketika Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, sebagai Harb Riddah (Perang melawan Orang Murtad). Padahal mereka hanya menolak satu hukum, yaitu hukum zakat saja. Namun, karena kewajiban zakat adalah hukum syariah yang qath’i, maka penolakan terhadap satu hukum ini sama dengan menolak seluruh ajaran Islam.

Ketika Abu Bakar ditanya oleh Umar bin al-Khaththab, “Apakah Anda akan memerangi orang yang masih mengerjakan shalat?” Abu Bakar menjawab, “ Karena Allah SWT berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ

Apakah kalian mengimani sebagian isi Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? (QS al-Baqarah [2]: 85).

 

Menolak satu hukum yang qath’i dianggap kafir dasarnya juga jelas, yaitu Ijmak Sahabat. Karena itu keputusan Abu Bakar untuk memerangi mereka yang menolak membayar zakat ini kemudian akhirnya dilaksanakan, dengan diketahui, didengarkan bahkan diikuti oleh para Sahabat.

Karena itu belum tentu selamanya orang Islam itu Muslim. Orang kafir pun belum tentu selamanya kafir. Semua bergantung pada pilihan masing-masing. Orang Islam yang memilih Islam, dan konsisten dengan keislamannya, maka dia akan tetap menjadi Muslim. Sebaliknya, ketika dia tidak konsisten, dan berubah, maka dia bisa menjadi kafir, dan murtad dari Islam.

Adapun faktor kemurtadan tersebut bisa terjadi karena ucapan, tindakan atau dua-duanya. Orang Islam yang mengikuti misa di gereja, sebagaimana layaknya orang Kristen, bisa disebut murtad karena tindakannya. Apalagi jika ikut mengucapkan apa yang mereka lakukan dalam misa tersebut, maka bisa disebut murtad karena dua-duanya. Orang yang menyatakan bahwa al-Quran itu harus dikoreksi, atau disusun ulang, karena banyak kekeliruan, juga bisa disebut telah murtad karena ucapannya. Meskipun belum melakukan apapun, kecuali hanya pernyataan saja.

Sebaliknya, orang kafir yang meyakini rukun iman dan kebenaran Islam, seratus persen, tanpa ragu sedikit pun, kemudian menyatakan kesaksiannya di hadapan dua saksi yang adil, maka dia pun telah resmi menjadi Muslim. Status kekafirannya telah berubah meski setelah masuk Islam belum sempat menunaikan kewajiban atau belum sempurna.

WalLâhu a’lam bi as-shawwâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*