Peneliti senior CORE Indonesia Muhammad Ishak menyatakan tarif tebusan UU Tax Amnesty yang hanya 2 persen sangat tidak sebanding dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para konglomerat tersebut. Sementara di sisi lain, rakyat kecil baik sukarela ataupun terpaksa diharuskan untuk membayar pajak.
“Inilah karakter pemerintahan dalam sistem kapitalisme, yang menjadikan pemerintah berada di bawah bayang-bayang para pemilik modal,” ungkapnya kepada mediaumat.com, Jum’at (30/09/2016).
Lihat saja, pemerintah seakan bertindak sebagai pengemis di hadapan konglo hitam. Pemerintah melakukan road show hingga ke Singapura bahkan pada Kamis (22/09/2016) mengundang para konglomerat ke Istana Negara.
Padahal, lanjut Ishak, sebagian dari para konglomerat tersebut merupakan orang-orang yang memiliki rekam jejak yang buruk seperti orang-orang yang melakukan penggelapan pajak hingga penggarongan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dengan pengampunan ini maka kekayaan mereka diputihkan oleh pemerintah.
“Bahkan dalam pertemuan di istana tersebut sejumlah konglomerat papan atas Indonesia juga berhasil melobi Sri Mulyani untuk memperpanjang masa pengurusan berkas tax amnesty hingga akhir tahun sepanjang tarif tebusan 2 persen dibayar hingga akhir September 2016,” pungkasnya. (mediaumat.com, 1/10/2016)