Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
Seputar media televisi, yang marak dibicarakan yaitu perbedaan alur opini antara Metro tv dan TV One. Selama kampanye Pilpres tahun 2014, TV One dan Metro TV secara tersirat mempublikasikan arah politiknya, memperlihatkan bahwa mereka sedang melakukan kontestasi politik menuju kekuasaan. TVOne—bersama RCTI, MNC TV, dan Global TV secara tersirat dukung Prabowo, dan Metro TV tersirat dukung Jokowi.
Melihat situasi faktual yang sedang terjadi, berkaitan dengan hiruk-pikuk kampanye Pilgub DKI 2017, media massa telah menjadi alat propaganda politik yang sangat vital. Media massa akan menjadi jembatan vital di dalam proses integrasi kekuasaan. Dan pada kenyataannya, para kapitalis besar sudah ‘bermain’ di industri pers ini, atau mereka sudah menanamkan modalnya di industri propaganda ‘kesadaran’ ini.
Memang, simbol Kapitalisme yang lebih menonjol daripada media massanya. Hari ini media telah memasuki setiap rumah di dunia dalam segala bentuk dan warnanya. Jurnalis sekuler di Barat contohnya, sangat bangga dengan usahanya yang melaporkan berita global secara obyektif dan menyatakan bahwa media mandiri adalah pilar dari masyarakat demokratis yang bisa menuntut pertanggungjawaban dari negara.
Meskipun ada variasi perbedaan pandangan politik dari berbagai editor dan penerbit, kesemuanya sepakat dalam mengadopsi pandangan hidup sekuler. Meskipun tanpa diragukan lagi ketidakseimbangan peliputan berita tentang Islam dan Muslim oleh industri media, mereka tidak bisa dikatakan secara umum bahwa mereka semua adalah ‘pembenci muslim’ dan ‘dikuasai oleh yahudi’. Hal yang justru penting untuk dikaji adalah memahami realitas kehidupan sekuler dan menganalisa akar asal muasal timbulnya kebencian yang terjadi.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar agar selalu mendapat tempat di hati pemirsanya sehingga mendapat benyak pemasukan dari iklan-iklan. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.
Media massa yang pro kapitalisme media massa membentuk sikap dan perilaku pekerja media yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.
Ketika seseorang berbicara tentang laporan media massa terhadap Islam dan Muslim, sering ditemukan ungkapan seperti ini,” Yahudi mengontrol media” atau, “Freemason mengontrol media.” Meskipun di satu sisi memang banyak sekali pendukung Zionisme di dunia media massa (seperti profesor Bernard Lewis, tokoh Orientalis yang terkenal; Judith Miller dan Serge Schmemann (New York Times); Joel Greenberg (The Chicago Tribune)), disisi lain akan sangat naif dan sangat simplistis untuk menyatakan bahwa kaum Yahudi mengendalikan media Massa.
Ketika dicermati secara seksama, media massa global tidak dimiliki oleh satu entitas yang homogen (monolitik) yang memiliki agenda yang sama dalam menyebarkan pandangannya. Sebaliknya, ada beberapa faksi besar yang saling bersaing untuk meningkatkan jumlah audiensnya dan pencapaian nilai komersial. Sejak tahun 1980an, banyak sekali penggabungan dan pengambilalihan perusahaan media massa dan hiburan. Global media menjadi semakin terkonsentrasi secara kepemilikan dan dengan itu pengaruh dari kelompok pengiklan dan pemilik perusahaan akan semakin dominan untuk membentuk media dan pandangan masyarakat.
Dalam tingkatan internasional maupun nasional tidak dipungkiri bagaimana media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik modal dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal. Ditingkatan internasional media massa dikuasai oleh 6 koorporasi media yaitu AOL-Time Warner , The Walt Disney Co, Bertelsmann AG, Viacom, News Corporation, Vivendi Universal.
Pada tahun 2007, ada sekitar 8 perusahaan media raksasa yang memimpin media Amerika. Dari merekalah, yang juga adalah pelaku pasar global, mayoritas masyarakat AS menerima informasi dan berita:Disney, AOL-Time Warner, Viacom, General Electric, News Corporation, Yahoo!, Microsoft,Google. Yahoo!, Microsoft, dan Google adalah perusahaan media yang relatif baru dibandingkan 5 perusahaan lainnya. Mayoritas perusahaan tersebut adalah pelaku elit media global juga. Di tahun 2007, 9 korporasi AS mendominasi media dunia:AOL-Time Warner, Disney, Bertelsmann, Viacom, News Corporation, TCI, General Electric (owner of NBC),Sony ( pemiliki Columbia dan TriStar Pictures dan perusahan rekaman besar), dan Seagram (pemilik perusahaan film Universal and perusahaan music).
Monopoli terhadap media massa dunia ini bisa disimpulkan dari berbagai perubahan yang terjadi di industri media dalam beberapa dasawarsa terakhir.“Di tahun1983, lima puluh perusahaan mendominasi mayoritas pasar media massa dan penggabungan media terbesar dalam sejarah saat itu bernilai 340 juta dolar. … Di tahun 1987, 50 perusahaan mengecil menjadi menjadi 39 … Di tahun 199), 29 perusahaan menjadi 23. … Di tahun 1997, perusahaan besar tinggal sekitar 10 saja dan terlibat penggabungan perusahaan Disney dan ABC yang bernilai 19 milyar dolar, yang saat itu adalah transaksi bisnis terbesar dalam sejarah. .. Di tahun 2000, penggabungan AOL dan Time Warner bernilai 350 milyar dolar, yang berarti seribu kali lipat dari penggabungan yang terjadi di tahun 1983.”
Media global didominasi oleh segelintir kelompok elit yang yang berpengaruh, yang sebagian besar berpusat di AS, dan bersifat transnasional. Terkonsentrasinya jumlah kepemilikan terhadap media menghasilkan sistem yang bekerja untuk mempromosikan pasar bebas global dan nilai-nilai komersialisasi. Sistem yang terbentuk ini adalah fenomena baru. Hingga tahun 1980an, media massa lebih bersifat nasional. Meskipun buku-buku, film, musik, dan acara TV selama puluhan tahun diimpor dari asing, sistem penyiaran dan surat kabar masih dikontrol, diatur dan dimiliki secara nasional. Sejak tahun 1980an, IMF, Bank Dunia dan pemerintah AS mulai melakukan tekanan untuk mengurangi peraturan dan menswastakan sistem media dan komunikasi, seiring dengan kemajuan teknologi satelit dan digital yang melahirkan raksasa media transnasional.
Konglomerat media kapitalis memiliki kepentingan komersial dengan mencapai peningkatan jumlah pelanggan atau audiens. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mentargetkan segmen tertentu dalam masyarakat. Contohnya, tabloid Inggris The Sun mengambil strategi penampilan berita yang sensasional, bernuansa ancaman, dan murahan sebagai topik utama yang bisa menarik perhatian publik Inggris.
Sebuah analisa mengungkapkan bahwa media massa berpengaruh membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan para pemilik modal dalam kebijakan luar negeri, terutama dalam kebijakan perang, pada saat permulaannya, agresi atau tindakan militer. Namun pembentukan opini publik tersebut hancur setelah kerugian ekonomi dan korban jiwa bermunculan dari rakyat Amerika Serikat sendiri. Disisi yang lain media massa secara relatif tidak efektif ketika membentuk opini publik terkait kebijakan-kebijakan domestik di Amerika Serikat. Kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosio-ekonomi sehari-hari rakyat Amerika
Di AS, selama perang Iraq, penyaji berita menghabiskan waktu tidak lebih dari 38 detik untuk meliput kebijakan luar negeri AS dan lebih dari 6 menit untuk mendiskusikan perubahan cuaca dari total 30 menit penyiaran. Industri media AS sangat khawatir dengan penayangan gambar-gambar yang mengerikan dari medan pertempuran karena akan menyebabkan larinya pemasang iklan
Untuk itu, harus jelas bagi kita bahwa sumber kebencian media Barat terhadap Islam adalah bersifat ideologis. Media tidak dikontrol oleh Yahudi atau Kristen, tapi dia adalah bagian dari Ordo Sekuler, Kapitalis Liberal. Rezim Barat ini menyebarluaskan kepentingan penguasaan materi dan ideologi sekuler secara global. Apapun yang merintangi mereka, terutama Islam dan Muslim, akan dipersetankan dan dihilangkan martabat kemanusiaannya. Berbagai kelompok intelektual di dunia Barat bisa melihat bahwa ketika sebagian besar kelompok etnik/budaya bisa menerima peran global AS, ternyata dunia Islam lah yang justru mengindikasikan penolakan yang masih terlihat vokal. Maka tidak heran apabila ada individu yang kerap menyerang Islam dan ini juga menjadi sumber pencitraan negatif terhadap Islam dan muslim.
Oleh karena itu tidak sekalipun media massa alternatif dari kaum kaum muslimin akan bersikap sok-sok netral, “objektif”, tidak berpihak atau berimbang. Media massa Islam alternatif tersebut justru harus tegas berpihak kepada kaum muslim. Fungsi utamanya adalah membangun kesadaran kaum muslim atas kepentingan mendasarnya. Oleh karena itu media massa alternatif harus mampu menganalisis kondisi kaum kaum muslim, memberikan solusi apa yang harus dilakukan dan terutama menjadi media untuk mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan kekuatan kaum muslim![]