Oleh : Adi Victoria (Humas DPD I HTI Kaltim)
Sedih bercampur marah, itulah yang mungkin bisa dirasakan oleh sebagian orang –khususnya yang beragama Islam- saat menyaksikan salah satu tayangan diskusi secara live yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta pada selasa malam 11 Oktober 2016. Tema yang dibahas terkait sikap setelah Ahok meminta maaf atas komentarnya terhadap surat Al Maidah ayat 51.
Sebagaimana yang ramai dibicarakan di media, dan juga masih bisa disaksikan di youtube, Ahok berkata“Bapak Ibu ndak Bisa memilih Saya. dibohongi pake surah Al-Maidah 51 dan macem-macem itu. Itu hak bapak ibu. Ya, jika Bapak Ibu perasaan tidak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, ya enggak apa-apa? Karena ini kan panggilan pribadi bapak-ibu. Program ini jalan saja. Jadi, bapak ibu tak usah merasa enggak enak dalam nuraninya enggak bisa memilih Ahok,” kata Ahok di hadapan warga di Kepulauan Seribu pada hari selasa 27 September 2016.
Sontak saja umat Islam merasa geram dengan komentar Ahok tersebut. Walaupun kemudian Ahok meminta maaf atas komentarnya yang telah membuat kegaduhan, serta menyatakan tidak ada niat sama sekali untuk menyakiti hati umat Islam.
“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” kata Basuki di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (10/10/2016).
Namun, bagi sebagian pihak, permintaan maaf oleh Ahok tidaklah bisa dianggap masalah tersebut telah selesai. Karena apa yang dilakukan oleh Ahok adalah bentuk penodaan terhadap agama dan termasuk perkara yang bisa dipidanakan. Itulah kenapa kemudian, sebagian kalangan tetap melaporkan Ahok ke kepolisan.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan keputusan resminya pada Senin (11/10) terkait pernyataan Ahok tersebut yang terkait denga Surah Al Maidah Ayat 51. MUI secara tegas mengatakan bahwa pernyataan Ahok merupakan bentuk penghinaan terhadap ulama kaum Muslim dan juga penghinaan terhadap kitab suci umat Islam yakni Al Qur’an.
Kalau kita perhatikan redaksi dari kalimat tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut : bahwa ada orang yang menyatakan haram memilih non Muslim menjadi pemimpin berdasarkan surat al Maidah ayat 51. Dan Ahok mengatakan bahwa itu bentuk kebohongan dan pembodohan. Maka, jelas ini sebuah penghinaan terhadap ulama’. Kenapa, karena yang menyampaikan hal tersebut adalah ‘ulama, mereka yang faham Islam, faham al Qur’an. Mengatakan dibohongi pake surah Al Maidah 51 sama artinya menuduh para ulama telah berbohong. Nastaghfirullah. Ini yang pertama.
Yang kedua, berarti juga menuduh kitab suci Al Qur’an sebagai sumber kebohongan. Yakni karena dijadikan sebagai alat untuk berbohong. Inilah yang membuat kaum Muslim merasa marah dan sakit hati terkait pernyataan Ahok tersebut.
Menuduh ulama berbohong dengan menggunakan surat Al Maidah ayat 51 tersebut sama artinya juga menuduh Khalifah Umar ra berbohong kepada Gubernur nya di wilayah Basrah yakni Abu Musa ‘Al-Asy’ary karena menyuruh memecat juru tulis nya berdasarkan surat al Maidah ayat 51, padahal non Muslim menduduki jabatan yang tidak berkaitan dengan hak membuat kebijakan hukum adalah masih ikhtilaf di kalangan ‘ulama.
Dalam tafsir “Al-Kasyf wa Al-Bayan“, Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’laby telah menukil sebuah kisah dari Iyadh Al-Asy’ary;
“Dan Iyadh Al-Asy’ary berkata; Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ary datang kepada Umar Ibn Khattab dan berkata; “Kita memiliki seorang penulis (pencatat/sekretaris) yang terpercaya dan beragama Nasrani, dimana orangnya begini dan begini (menyanjung kelebihannya). Kemudian Umar pun berkata; “Ada apa denganmu? Sungguh Allah akan memerangimu (ungkapan pengingkaran), tidakkah telah kau dengar Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu” dan juga Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu).” Mengapa tidak kau ambil saja orang yang Hanif? (orang yang bertauhid dan bukan musyrik).”
Pada acara live di TV Swasta tersebut, salah satu pendukung Ahok mengatakan “Saya ingin menegaskan di sini, yang namanya teks apapun itu bebas tafsir. Bebas makna. Yang namanya Al Quran yang paling sah untuk menafsirkan, yang paling tahu tentang Al Quran itu sendiri adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Bukan Majelis Ulama Indonesia.”
Benar, yang paling tahu tafsirnya tentu Allah SWT dan Rasul-Nya yakni Nabi Muhammad SAW. Namun tidak bisa kemudian dikatakan maka teks atau ayat Al Qur’an bebas tafsir. Karena penafsiran tersebut harus sesuai dengan firman Allah SWT dan sesuai dengan apa yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik berdasarkan ucapan (qoul), perbuatan (af’al) dan diamnya (taqrir) Rasulullah SAW. Dan yang paling tahu tentang Al Quran dan hadits adalah para ulama. Bukan sembarang orang. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa teks atau ayat al Qur’an adalah bebas tafsir.
Hal lain yang juga menyedihkan adalah adab terhadap ‘ulama. Saat mengatakan hal tersebut pada acara tersebut, pendukung Ahok tersebut mengucapkan dengan nada tinggi serta dengan mata yang melotot. Ini juga yang menjadi sorotan para pemirsa TV yang menyaksikan acara tersebut. Dimana adab kita kepada ‘ulama.
Padahal Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memuliakan, menghormati ‘ulama. Sebagaimana riwayat dari Ubadah bin Shamit ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim” [Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/122) dan dihasankan oleh Al-Albaani dalam Shahih Jami’ Shaghir (5319) dan Shahih]
Orang ‘alim itu berarti berilmu, dan biasa kita sebut mereka sebagai ‘ulama. Salah satu hak ‘ulama adalah dihormati, bukan dihinakan, atau berkata-kata keras, nyaring, dan melotot di hadapan mereka.
Thawus rahimahullah mengatakan: “Termasuk Sunnah, yaitu menghormati orang alim.”[lihat kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdil Barr (I/129)]
Kenapa penghinaan ini bisa terjadi? Bahkan cenderung berulang dan berulang yang selalu menimpa umat Islam, menodai kehormatan agama ini. Ini karena tidak berperannya fungsi negara dalam rangka menjaga aqidah Umat Islam, menjaga kemuliaan agama, dna memang tidak mungkin, karena ini diatur bukan berdasarkan aturan syariah Islam, melainkan dengan system Demokrasi, dimana hukum yang dijalankan adalah hukum buatan manusia, hukum yang berasal dari akal manusia, bukan berasal dari yang membuat akal manusia yakni Allah SWT. Seandainya hukum yang diterapkan adalah hukum Islam, niscaya tidak akan ada lagi orang-orang yang berani menghina agama ini, menghina ulama dan kitab suci umat Islam, dan itu hanya bisa terwujud secara kaffah melalui tegaknya system Khilafah Islamiyah.
Lihatlah dulu masa Khilafah Utsmaniyah pada abad ke 19 M saat pertunjukan Drama karya Voltaire berjudul, “Muhammad dan Kefanatikan”, yang isinya menghina Nabi Muhammad saw., akan digelar di Paris Prancis. Saat itu Dubes Khalifah Turki Utsmani di Paris segera memprotes hal itu kepada penguasa Paris. Semula Penguasa Paris keberatan atas protes tersebut dan mengatakan bahwa drama itu adalah kebebasan rakyat Prancis untuk berekspresi. Apalagi rakyat masih hangat dengan slogan Revolusi Perancis: Liberty-Egality-Fraternity.
Namun, karena Dubes Khalifah mengancam Prancis, penguasa Paris akhirnya membatalkan rencana pementasan drama tersebut. Kemudian grup drama itu beralih pindah ke London untuk pentas di sana. Kembali Dubes dari Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Turki Utsmani yang berada di London pun protes. Ketika pemerintah London mengatakan bahwa rakyat London memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasan lebih besar daripada hak rakyat Paris, maka Dubes Khalifah mengancam bahwa umat Islam sedunia akan melakukan jihad akbar melawan pemerintah Inggris yang telah menghina Nabi Muhammad saw. Pemerintah London pun akhirnya membatalkan rencana drama yang menghina Nabi Muhammad saw tersebut. AlLâhu akbar!.Wallahu a’lam[].