Oleh: Endah Sulistiwati, SP (Praktisi Pendidikan)
Sebagaimana yang pernah diberitakan antaranews (12/10/2012) bahwa dunia pendidikan di Indonesia yang terang-terangan menerapkan sistem pasar menimbulkan perubahan yang sangat signifikan, yakni berkembangnya suatu habitus yang baru di kalangan mahasiswa. “Kalau meminjam istilah Jawa, yakni sistem `kulakan` atau jualan. Hal ini menunjukkan budaya pragmatisme kian merasuk dan menjadi-jadi pada generasi muda Indonesia. Membuat mental mereka hanya sebagai buruh dan pedagang yang hanya berorientasi jangka pendek. Sistem pendidikan saat ini tidak akan memunculkan generasi pemimpin visioner dan berintegritas tinggi. Upaya pencerdasan harus segera dilakukan untuk membebaskan generasi dari belenggu pragmatisme.
Membicarakan tentang masa depan bangsa tidak bisa dilepaskan dari pendidikan.Dan membicarakan masalah pendidikan juga tidak bisa terlepas dari guru. Dalam dunia pendidikan, Keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap peningkatan kualitas pendidikan, guru tidak dapat terlepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.
Sorotan Atas Sistem Pendidikan Sekuler
Negara adalah pemilik otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai dan SDM yang bermutu. Dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah akan bertumpu pada dua elemen sistem besar, yaitu ekonomi dan politik. Politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan, sementara ekonomi akan melahirkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan dana. Kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan layanan umum (public service) yang merupakan kewajiban negara bagi setiap warga negaranya yakni pada lapangan kesehatan, pendidikan, keamanan dan infrastruktur. Maka, keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada sistem yang diterapkan dalam negara.
Pengukuran kompetensi ala UN (termasuk UTS, UAS, dan ulangan harian) memang dapat mengetahui tingkat kemampuan siswa terhadap penguasaan materi pelajaran yang diberikan. Namun ternyata akibat dari adanya UN yang disertai pemberlakuan standar tertentu dan dijadikan penentu pokok kelulusan dan kenaikan kelas/tingkat membuat capaian nilai menjadi tujuan. Celakanya hal itu tidak hanya menimpa siswa tapi juga para guru dan pihak sekolah. Apalagi ketika prestasi bahkan pemberian bantuan dana dan prasarana dikaitkan dengan pencapaian nilai UN. Seolah-olah UN menjadi tujuan akhir dari proses pembelajaran. Segala cara pun dilakukan tanpa mengindahkan kejujuran, moral dan nilai-nilai luhur demi nilai UN dan ulangan yang tinggi.
Padahal seharusnya pembelajaran membuat siswa menguasai pengetahuan dan keahlian sehingga menjadi kompetensi yang melekat dan bisa dia aplikasikan dalam kehidupan dan dia kembangkan. Hal itu dibarengi dengan pendidikan yang diarahkan untuk merubah pola pikir dan perilaku siswa dan membentuknya kearah yang lebih baik. Sayangnya kurikulum yang ada belum bahkan tidak mengarah ke sana. Kurikulum yang ada lebih menekankan pada transfer pengetahuan. Tidak ada misi membentuk moral, karakter apalagi kepribadian siswa.
Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.
Demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik dan harus sebanyak mungkin bersifat otonom. Disinilah kita bisa tahu kenapa kurikulum nasional “dibonsai” dan penentuan materi serta muatan program makin banyak diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah yang menentukan buku materi pengajaran yang digunakan, yang dalam prakteknya banyak terjadi perselingkuhan dengan penerbit dengan imbalan tertentu.
Otonomi yang diberikan juga mencakup pendanaan. Akibat kapitalisme, peran pendanaan oleh pemerintah harus makin berkurang dan sebaliknya pendanaan oleh masyarakat (orang tua siswa) makin besar. Sekolah berkualitas pun menjadi mahal. Akibatnya, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Orang miksin tidak bisa mendapat pendidikan berkualitas. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi dirinya dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hanya orang menengah keatas yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Padahal sekolah seharusnya dapat menjadi pintu perbaikan taraf hidup bagi si miskin. Selain itu juga akan melanggengkan penjajahan.
Bicara Guru
Berbicara tentang profesionalisme guru sangat komprehensif. Profesi guru harus dilihat dari kemampuan menguasai kurikulum, materi pembelajaran, teknik dan metode pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, sikap komitmen pada tugas, harus dapat menjaga kode etik profesi, di sekolah ia harus menjadi “manusia percontohan” yang akan ditiru siswanya, di masyarakat menjadi teladan. Pada saat sekarang ini, sejalan dengan perkembangan sistem persekolahan, maka profesi guru juga telah dan terus mengalami perubahan mengikuti tuntutan perubahan tersebut.
Guru yang digugu lan ditiru memang bukan segalanya. Namun, beban keterpurukan dalam pendidikan selama ini seakan-akan terlimpah ruah hanya di pundak mereka yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik. Profesionalitas mereka hingga kini selalu saja dipertanyakan. Kebijakan pemerintah seakan-akan juga mengamini asumsi tersebut. Sehingga memunculkan program-program guna peningkatan profesionalitas guru, seperti program sertifikasi guru. Sebagai bentuk konsekuensinya, guru tidak lagi sekedar sebuah pengabdian diri namun menjadi profesi yang disejajarkan dengan bentuk-bentuk profesi lainnya. Semisal dokter, pengacara dan lain sebagainya. Sehingga untuk menjadi guru bukan lagi perkara yang mudah.
Terlepas dari itu semua, apa yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini sangat membuat prihatin dan cenderung miris. Boleh dibilang guru itu bukan malaikat, mereka juga manusia yang punya sifat-sifat kemanusiaan. Juli 2010, Rahman, guru SD di Banyuwangi, harus berurusan dengan Pengadilan karena memukul muridnya yang “bandel” dengan penggaris. Kemudian Aop Saopudin, seorang guru honorer di SD Penjalin Kidul V, Majalengka, jawa Barat harus berurusan dengan hukum hanya karena mencukur rambut murid didiknya. Bahkan ditahun 2016 ini kasus yang menimpa guru datang beruntun, sebut saja guru Sambudi, seorang guru SMP Swasta di Sidoarjo, harus berurusan dengan Pengadilan Negeri Sidoarjo hanya karena dituduh melakukan kekerasan (mencubit) terhadap siswanya dengan inisial R anak anggota TNI AD. Kasus yang sama juga menimpa Ibu Nurmayani, guru bidang studi biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan dibui di Rumah Tahanan Klas II Bantaeng, karena kasus yang sama (mencubit siswinya), siswa yang dia cubit adalah anak anggota Polisi. Masih dari Sulawesi Selatan, Muhammad Arsal guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 3 Bantaeng, juga dituduh melakukan kekerasan terhadap anak didik disekolah. Dan yang terakhir yang bikin heboh bangsa ini, kasus guru Dasrul guru di SMKN 2 Makasar yang mendapat bogem mentah dari orang tua muridnya, hanya karena menegur muridnya yang tidak mengerjakan PR.
Semua kasus diatas adalah tamparan yang keras bagi dunia pendidikan, harusnya para pembuat kebijakan lah yang lebih merasakan sakit dari pada mereka. Luka fisik bisa segera disembuhkan dengan bantuan medis, namun bagaimana moral mereka, psikis mereka ketika harus kembali berdiri dihadapan anak didik mereka. Apa yang harus dilakukan ketika mereka harus menjumpai, anak didik yang “sulit diatur, sering melanggar tata tertib sekolah, tidak mengerjakan tugas-tugas sekolah dll”, sedangkan diatas mereka hukum dan undang-undang terus mengintai mereka. Meskipun dari sebagian besar kasus akhirnya para guru tersebut dibebaskan karena tidak terbukti bersalah atau hukuman yang mereka berikan masih dalam taraf hukuman yang mendidik dan tidak menyakitkan. Peristiwa memprihatinkan tersebut membuat Komisi X DPR mendesak Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Terkait perlindungan guru sebagai tindak lanjut dari pasal 30 ayat 2 UU no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Karena hampir semua undang-undang yang digunakan oleh hukum untuk menjerat para guru itu adalah UU Perlindungan Anak.
Bagaimanapun, kita tak bisa menolak realitas, bahwa gurupun hakikatnya adalah output dari sistem pendidikan. Guru adalah warga negara yang melewati berbagai jenjang pendidikan yang menghantarkannya menjadi guru. Maka dari itu, etis bila dikatakan bahwa penyebab rendahnya kualitas guru berpulang dari Sistem Pendidikan yang gagal.
Bila Guru memiliki visi yang sejalan dengan orientasi Ideologi Kapitalisme, maka output-nya tentu selalu bisa untuk diprediksi. Guru secara berulang dibimbing untuk menelurkan sumber daya yang sama. Sumber daya manusia yang kuat dalam kognisi, handal menjadi teknisi, berdaya saing di tengah dunia indutsri, namun tak nampak padanya kepribadian islami. Siklus ini akan berulang selama sistem pendidikan masih bertolak pada ideologi Kapitalisme.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi, pertama ideologi kebebasan atas hak asasi manusia (HAM) sudah berurat berakar dalam diri orang Indonesia, sehingga mereka yang mengadukan para guru tersebut berlindung atas nama HAM. Kedua, tidak hanya politik yang mengenal transaksional, ternyata dunia pendidikan kita sudah menjadi komoditas yang bersifat transaksional, take and give, murid membayar dan guru dibayar. Sehingga kedua masalah ini harus diselesaikan agar permasalahan-permasalahan yang menjadi turunannya bisa diminimalisir. Ini lagi, perkejaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah saat ini dengan kabinet barunya.
Saatnya Berbenah
Dunia pendidikan yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan mencampakkan kapitalisme. Meninggalkan sistem pendidikan sekuler, yang itu berarti harus membuang jauh-jauh sistem politik demokrasi, Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijmak sahabat atas pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan hal itu.
Mewujudkan guru yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam yang unggul, hal demikian akan sangat mudah bila disokong oleh peran Negara. Dalam hal ini, Negara mesti membangun sistem pendidikan yang tepat dan berangkat dari orientasi Ideologi yang shahih, yakni Islam. Dengan kata lain, Negara mesti menata sistem pendidikan yang benar benar islami. Mulai dari tujuan, hingga pelaksanaan di lapangan. Sehingga pada akhirnya, output dari sistem pendidikan tak hanya melahirkan Guru yang sekedar siap untuk terjun mencetak anak anak didik yang menghamba pada dunia industri. Lebih dari itu, mencetak pribadi yang siap untuk terjun dalam gelanggang kehidupan dengan menghamba pada Rabb semesta alam, Allah Swt dan memberi maslahat bagi umat manusia.[]