Perppu Kebiri: Menyelesaikan Masalah dengan Menambah Masalah

kebiriOleh: Retno Esthi Utami (Muslimah HTI)

Di tahun-tahun terakhir ini pemberitaan media massa dipenuhi kabar mengenai kejahatan seksual terhadap anak-anak dan remaja. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), LPSK menyatakan untuk tahun 2015 lalu terdapat 1.726 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara data Komnas Perempuan, menurutnya tahun lalu mencapai 6.439 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Pro-kontra hukuman kebiri muncul setelah pemerintah berencana menerapkan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Pihak yang pro berargumen hukuman kebiri diperlukan karena kasus kekerasan seksual sudah dalam tahap darurat. Sementara pihak yang kontra menolak hukuman kebiri berdasarkan beberapa argumen. Ada yang menolak karena mempertanyakan efektivitasnya dalam menimbulkan efek jera. Sosiolog Imam B. Prasodjo, misalnya, menganggap hukuman kebiri tak memberikan efek jera. Menurut Imam, solusi paling efektif adalah membangun kesigapan sosial di mana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul. Argumen lainnya dari pihak yang kontra adalah karena hukuman kebiri dianggap berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pendapat Desmond J. Mahesa dari Fraksi Gerindra DPR RI.

Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran Tempo, 23/10/2015).

Bagaimana dengan hukuman yang didapatkan oleh pelaku kekerasan seksual tersebut ? Dalam UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak (revisi), hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah hukuman penjara hanya selama 15 tahun. Dan terbukti, hukuman tahanan itu tak membuat jera yang lain. Tindak kekerasan pada anak pun terus terjadi di tanah air. Hal tersebut membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional mengusulkan supaya pelaku dihukum kebiri secara hormonal.

Sidang Paripurna DPR akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Rabu, 12 Oktober 2016 (http://politik.news.viva.co.id/news/read/833615-dpr-sahkan-perppu-kebiri). Undang-undang tersebut menambahkan hukuman kebiri serta pemasangan chip.

Tujuan dari pemberatan hukuman pasti berupaya supaya memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang yang berniat untuk melakukan tindak kejahatan serupa. Namun, dengan hukuman yang semakin berat apakah tujuan tersebut dapat terealisir ? Apakah sanksi ala sistem demokrasi ini akan efektif dalam penerapannya ? Karena akal manusia sangat terbatas untuk menyusun sanksi-sanksi yang menjerakan. Peraturan atau sanksi yang dibuat di Indonesia maupun di negara demokrasi lainya tidak sanggup untuk mengatasi berbagai jenis tindak kriminal yang setiap tahun semakin marak dan mengerikan.

Kontra dengan hukuman kebiri kimiawi disampaikan oleh Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, beliau menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak akan membuat para pelaku jera.  Dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku ialah dominansi dan kontrol : ada amarah, dendam, kebencian yang berkobar-kobar.  Dengan hukuman kebiri, nanti malah lebih bahaya karena anak-anak selaku target lunak, merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran pengganti pengekspresian sakit hati sang predator.  Pelaku kejahatan seksual, akan menggunakan cara-cara yang lebih brutal untuk melumpuhkan korbannya. Apalagi hukuman kebiri kimiawi juga akan sangat merepotkan lantaran menggunakan metode suntik, yang membuat predator harus diinjeksi secara berkala. Betapa besar anggaran negara yang dialokasikan untuk merawat secara teratur para pelaku kejahatan seksual. Suntik hormonal dalam rangka mematikan nafsu seksual predator justru mengandung efek samping, baik fisik maupun psikis. Ketika efek samping itu muncul dan pelaku  tersebut merasa perlu berobat, secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas ataupun dokter umum di rumah sakit. Sumber pembiayaan pelaku berasal dari kartu Indonesia sehat (KIS). “Apakah pemerintah rela membiarkan KIS-nya digunakan penjahat-penjahat seksual,” kata Reza. (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/05/12/o72iv3384-dampak-negatif-hukuman-kebiri-kimiawi)

Akan selalu ada persoalan baru jika pemerintah dan masyarakat tidak mau keluar dari konsep demokrasi dan sekulerisme yang mendasarkan penyelesaian masalah manusia dari akal kecerdasan mereka sendiri. Seharusnya penanganan kejahatan dilakukan secara pencegahan serta penyembuhan. Tanpa pelaksanaan kedua hal tersebut secara bersamaan maka penanganan kejahatan tidak akan efektif. Bahkan upaya pemerintah dengan menerapkan hukuman kebiri menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadapat syariat Islam, karena dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88). Serta dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri, ““Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).

Syariah Islam juga telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu. Adapun rincian hukuman untuk pelaku pedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Upaya penerapan hukum kebiri tersebut di samping tidak sesuai dengan Syariah Islam, juga menunjukkan kegagalan total negara dalam penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak. Sesungguhnya penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah (menyeluruh). Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah.

 Upaya pemerintah untuk menerapkan hukum kebiri bagi laki-laki pedofilia adalah suatu kesesatan dan dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Siapapun yang terlibat di dalam upaya penerapan hukum kebiri itu, baik itu ahli hukum yang menyusun draft Perpu, Presiden yang menandatangi Perpu, para menteri pengusulnya, hakim dan jaksa yang mengadili pelaku pedofilia, termasuk para dokter atau staf medis yang melaksanakan kebiri di rumah sakit atas perintah pengadilan, semuanya turut memikul dosa besar di hadapan Allah. Mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat andaikata Allah bertanya mengapa mereka menjalankan hukuman yang tidak diizinkan Allah dan malah membuat-buat hukuman yang tidak disyariatkan-Nya?[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*