Jawaban Pertanyaan: Masuknya “ Lâ ” Pada Fi’il “ Zâla ”

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Masuknya “ Lâ ” Pada Fi’il “ Zâla ”

Kepada Tamir al-Hajj Muhammad

 

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.  Catatan kepada Admin laman: digunakan kata ‘ lâ zâla ‘, tidak digunakan bersama al-mudhari’, adapun bersama al-mâdhî maka menjadi makna “doa agar tidak hilang” dan itu termasuk kesalahan yang tersebar luas… Yang benar: ‘ mâ zâla ‘ pada al-mudhâri’ ‘ lâ yazâlu ‘… Saya berharap Anda menerima kritik saya… Semoga Anda diberkahi dalam jerih payah dan upaya Anda dan semoga Allah menjaga Anda dan menjaga syaikhuna al-qa’id dan menguatkan serta menolongnya.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya menelaah catatan Anda seputar masuknya ‘ ‘ terhadap fi’il ‘ zâla ‘, dan Anda mengatakan bahwa tidak masuk terhadap fi’il madhi kecuali jika dari sisi doa. Dan di awal, sungguh merupakan perkara yang baik syabab memperhatikan bahasa, akan tetapi baik kiranya topik tersebut dipenuhi dari sisi-sisinya. Dan jawaban atas catatan Anda, saya katakan:

  1. Fi’il ‘ zâla ‘ dan mudhari’nya yazâlu berbeda dari fi’il-fi’il madhi lainnya. Masuknya an-nafiyah terhadap fi’il al-mâdhî ‘ zâla ‘ mengantarkan kepada makna yang sama dengan hasil dari masuknya lâ an-nafiyah terhadap fi’il al-mudhari’ ‘ yazâlu ‘. Artinya topik itu tidak masuknya lâ an-nafyah terhadap fi’il madhi akan tetapi seakan-akan masuk terhadap fi’il al-mudhari’. Jika Anda katakan ‘ lâ zâla fulânun jâlisan ‘ maka makna madhi itu telah berubah ke mudhari’. Jadi seakan Anda mengatakan ‘ lâ yazâlu fulânun jâlisan ‘. Dan keistimewaan pada fi’il ‘ zâla ‘ bersama lâ an-nafiyah hampir-hampir tidak ada bersama fi’il-fi’il madhi lainnya. Saya ulangi pembicaraan tentang ‘ zâla- yazâlu ‘. Berdasarkan hal itu maka lâ an-nafiyah masuk terhadap ‘ zâla ‘ secara biasa untuk doa dan selain doa:
  2. Adapun untuk doa maka seolah-olah Anda mengatakan kepada teman Anda: ‘ lâ zalta bikhayrin’
  3. Adapun untuk selain doa maka seperti dalam hadits: Abu Bakar al-Firyabi (w. 301 H) di dalam kitabnya “al-Qadar” telah mengeluarkan hadits Nafi’ dari Ibn Umar, ia berkata: Ummu Salamah berkata: “

يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا زَالَ يُصِيبُكَ فِي كُلِّ عَامٍ وَجَعٌ مِنْ تِلْكِ الشَّاةِ الْمَسْمُومَةِ الَّتِي أَكَلْتَ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ e:«مَا أَصَابَنِي شَيْءٌ مِنْهَا إِلَّا وَهُوَ مَكْتُوبٌ عَلَيَّ وَآدَمُ فِي طِينَتِهِ»

“Ya Rasulullah setiap tahun sakit dari kambing yang diracun yang Anda makan masih terus menimpamu setiap tahun”. Ibnu Umar berkata: “Rasulullah saw bersabda: “tidak menimpaku sesuatupun kecuali telah dituliskan atasku dan Adam di lumpurnya”.

Jelas di sini bahwa ‘ lâ zâla ‘ bukan untuk doa.

  1. Penting disebutkan bahwa khabar lâ zâla mengikuti isimnya sesuai tuntutan kondisi, baik apakah mulâzamah thawîlah atau qashîrah: Ahmad al-Hazimi mengatakan di dalam bukunya Syarh Alfiyah Ibni Malik (Ibnu Malik w. 672 H): “ dan makna zâla dan saudaranya menunjukkan melekatnya (mulâzamah) sifat untuk yang disifati (al-mawshûf) sepanjang bisa menerimanya. Para ahli nahwu sepakat bahwa empat ini semuanya bermakna sama “zâla, bariha, fata`a dan anfaka “ punya makna yang sama yang menunjukkan melekatnya sifat untuk yang disifati, sifat yang merupakan khabarnya, untuk yang disifati yang merupakan isimnya, akan tetapi semua melekatnya (mulâzamah) itu sesuai kalimat”. ‘ Lâ zâla zaydun ‘âliman ‘ asal dalam disifatinya dengan al-‘ilmu bahwa selama kaberadaannya sejak ia mengecap ilmu sampai dia mati, ini hukum asal tentagnya. ‘ lâ zâla zaydun qâ`iman ‘, ini terlepas darinya pada satu waktu tanpa waktu lainnya… ‘ lâ zâla zaydun shâ`iman ‘ pada waktu puasa, adapun jika datang Magrib berakhirlah waktu puasa itu …” selesai.

Seperti Anda lihat, para ahli bahasa menggunakan ‘ lâ zâla ‘ secara biasa untuk doa dan selain doa.

  1. Fi’il-fi’il madhi lainnya:
  2. Makna doa adalah yang ghalibnya pada saat masuknya ‘ ‘ terhadap fi’il tersebut. Jadi Anda berdoa untuk kehancuran musuh dengan ucapan Anda: lâ nasharahullâh.
  3. Penggunaannya untuk menafikan dengan adalah jarang dengan aggapan bahwa fi’il madhi itu telah terjadi sehingga tidak ada makna untuk penafiannya. Dalam hal ini berbeda dengan zâla sebab masuknya lâ an-nafiyah pada zâla diubah untuk mudhari’ sehingga maknanya lam yazal. Adapun penggunaan fi’il-fi’il madhi lainya maka tetap madhi dengan masuknya terhadapnya. Karena itu penggunaan fi’il madhi lainnya untuk penafian dengan adalah jarang. Akan tetapi hal itu terjadi untuk penafian dalam kondisi-kondisi tertentu, diantaranya:

– Menjadi untuk penafian jika berulang, misalnya:

﴿فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّى

“Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat”. (TQS al-Qiyamah [75]: 31)

 

– Antara penafian dan dorongan jika didahului oleh fâ’ dan tidak beruang secara lafazh, dan dicari qarinah untuk tarjih, misalnya:

﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ

“Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (TQS al-Balad [90]: 11)

Maka mungkin dipahami sebagai berikut:

  • Untuk penafian seperti yang dinyatakan di dalam Ma’âni al-Qur’ân li al-Akhfasy (w. 215 H): “ Allah Swt berfirman: ﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ﴾ yakni falam yaqtahim (tidak menepuh jalan) … Dan seperti yang ada di tafsir al-Kasyâf karya az-Zamakhsyari (w. 538 H) dimana ia menganggapnya untuk penafian dan bahwa itu berulang dalam makna, ia berkata: “jika Anda katakan: sedikit sekali terjadi masuk pada fi’il madhi kecuali berulang, lalu apa maknanya tidak berulang dalam ucapan yang lebih fasih? Aku katakan: itu berulang dalam makna, sebab makna ﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ﴾ yakni tidak membebaskan budak dan tidak memberi makan orang miskin. Tidakkah Anda lihat bahwa iqtihâm al-‘aqabah itu ditafsirnya dengan begitu…” Dan juga seperti yang ada di Mughni al-Labîb karya Abdullah bin Yusuf Ibnu Hisyam (W. 761 H), ia berkata:  “ adapun firman Allah Swt ﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ﴾ maka di sini berulang dalam makna sebab makna falâ fakka raqabah wa lâ ath’ama miskînan (tidak membebaskan budak dan tidak memberi makan orang miskin) karena hal itu tafsir untuk al-‘aqabah, dikatakan oleh az-Zamaksyari”…
  • Untuk dorongan:

Dinyatakan di kitab Ma’âniy al-Qur’ân karya al-Kisa’iy (w. 189 H) halaman 248 surat al-Qiyamah:

“ … dan firman Allah Swt ﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ﴾ … maknanya afalâ iqtahama al-‘aqabah yakni tidakkah dia menempuh jalan mendaki lagi sukar, jadi disembunyikan alif istifham”, selesai.

Dinyatakan di tafsir Abu Muhammad Sahal at-Tustari (w. 283 H): “firman Allah Swt: ﴿فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ﴾ yakni tidakkah dia melewati titian dan al-‘aqabah (jalan mendaki lagi sukar … ). Dan dinyatakan di dalam tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir dengan makna yang sama, yakni “hallâ “. Dan al-Qurthubi menyatakan di tafsirnya dua makna dengan makna “lam” dan makna “hallâ”.

 

Ringkasnya:

  1. masuk terhadap “ zâla – yazâlu “ secara biasa untuk doa dan selain doa.
  2. Sedikit sekali masuk terhadap fi’il-fi’il madhi lainnya dengan anggapan bahwa madhi itu telah terjadi sehingga tidak ada makna untuk penafiannya.
  3. Akan tetapi masuk terhadap fi’il-fi’il madhi pada kondisi-kondisi tertentu yang terbatas, dan diantara kondisi ini: jika berulang, dan jika didahului oleh fâ’.
  4. Dengan demikian, apa yang dinyatakan oleh admin berupa kalimat “ash-shirâ’u lâ zâla qâ’iman fî turkiya” adalah benar.

Ini sejauh pengetahuan saya dalam masalah tersebut dan di atas tiap orang berilmu ada orang yang lebih berilmu.

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

19 Dzulhijjah 1437 H

21 September 2016 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/39515.html

https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/523245561205853/?type=3&theater

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*