Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait kasus penistaan Al-Qur’an yang melibatkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dituding oleh beberapa pihak sebagai bentuk praktik politik praktis.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto mengatakan tudingan yang ditujukan kepada MUI adalah bentuk pendiskreditan terhadap lembaga tersebut.
“mereka tidak bisa lagi mempersoalkan apa yang dikatakan oleh MUI dalam pernyataannya, maka kemudian yang mereka lakukan adalah mendiskreditkan lembaga MUI” ungkap Ismail kepada mediaumat,com.
Upaya pendiskreditan itu menurut Ismail bertujuan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Islam itu, ”ketika dianggap lembaga yang tidak dipercaya, maka mereka berharap apa yang dikatakan MUI juga tidak bisa dipercaya” jelasnya.
Ismail juga menjelaskan timbulnya tuduhan-tuduhan lain terhadap MUI seperti dana laporan, lalu menyinggung dana sertifikasi halal adalah bentuk ketidakmampuan beberapa pihak yang tidak bisa lagi menyangkal bahwa Ahok memang menistakan Al-Qur’an.
Ketika MUI mengeluarkan pernyataan mengenai kasus Ahok, Ismail menilai tindakan itu memang tugas dari Majelis Ulama Indonesia “apa yang dikatakan oleh Ahok itu jelas sekali itu penistaan terhadap Al Qur’an dan ulama, jadi menjadi kewajiban majelis ulama untuk mengeluarkan pendapat” katanya.
Lalu Ismail menegaskan bahwa itu adalah bentuk melindungi umat Islam yang sudah menjadi tugas dari MUI “sesuai fungsinya himayatul umat” tegasnya.
Tindakan itu juga dilandasi karena Ahok telah masuk kedalam area yang bukan untuk Ahok, yaitu area agama Islam
“Dia telah masuk ke area MUI , area agama islam, bicara tentang quran tafsir quran segala macam, jadi seharusnya yang disalahkan itu Ahok bukan MUI, mereka kan merespon apa yang dikatakan oleh Ahok” kata Ismail.
Jadi tindakan yang dilakukan MUI dinilai Ismail bukan politik praktis, karena bukan dalam rangka dukung-mendukung dalam pilkada. (mediaumat.com, 21/10/2016)