Ditulis oleh: Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia (pengamat politik Internasional)
Kekhawatiran kemenangan Khilafah di Suriah, menjadi point kesepakatan bersama antara Amerika dan sekutunya. Seperti biasa, kata Khilafah yang digunakan dikaitkan dengan ‘teroris’, sebagai bentuk propaganda menyerang ide Khilafah. Alasan berperang melawan teroris ini pula yang digunakan berbagai pihak untuk membombardir bumi Syam dan membunuh umat Islam di negeri yang diberkahi itu.
Berbagai tindak teror terus berlangsung. ISIS tetaplah ISIS dalam kapasitasnya sebagai organisasi bersenjata, seperti sebelum dekalarasi itu. Melalui media-media yang dikendalikannya, Barat pun senantiasa mengeksploitasinya, untuk terus mencitraburukan Islam. Begitupun serangan militer mereka, terus merampas tanah Syam. Kekerasan ISIS dan di wilayah ini adalah hasil karya Barat. Ini adalah refleksi dari nilai-nilai kekerasan, peperangan, sektarianisme yang mereka tanamkan di Irak.
Namun sesungguhnya yang mereka takuti dari revolusi Syam ini adalah berdirinya Khilafah. Untuk itu, mereka melakukan penambahan kata-kata yang buruk dan keji terkait Khilafah, seperti Khilafah teroris, Khilafah aIa ISIS. Pensifatan buruk terhadap Khilafah ini, jelas merupakan propanda yang menunjukkan ketakutan mereka berdirinya Khilafah ala Minhajin Nubuwah hakiki di Syam.
Pemerintah AS yang didukung oleh medianya telah mengambil setiap kesempatan untuk membersihkan konsep Islam yakni ‘Khilafah’ dan merusaknya dalam pikiran umat Islam dan non-Muslim. Setiap pembunuhan, insiden, kecelakaan dan pembantaian dianggap kesalahan ISIS, bahkan sebelum faktanya dapat diverifikasi. Para politisi AS telah berusaha keras untuk menciptakan histeria yang membuat ISIS adalah ancaman terbesar bagi umat manusia, yang menyebar di wilayah tersebut dan merencanakan serangan di wilayah barat, meskipun para pejabat urusan teror menyatakan sebaliknya.
Pertempuran ideologis di wilayah tersebut dan di seluruh dunia menjadi semakin meninggi saat para pejabat AS mengutuk pemenggalan dua wartawan AS dan kekerasan yang dilakukan terhadap non-Muslim di Irak. Meskipun terdapat tanda tanya serius atas sifat pemerintahan ISIS, media global berbaris untuk menunjukkan ISIS sebagai kelompok militan, yang penuh kekerasan dan memerlukan invasi lain oleh Barat di wilayah tersebut.
Pertempuran ideologis terhadap Muslim, mencari perubahan yang nyata di wilayah tersebut dan merupakan kelanjutan dari upaya AS untuk mempertahankan penjajahannya di wilayah itu dan membenarkan kehadiran jangka panjang mereka. setelah perang satu dekade dan dengan pasukan AS yang menderita kelelahan perang, AS untuk saat ini mengerahkan pasukan operasi khusus (SOFs) dan para staf CIA untuk mempersenjatai dan mengarahkan para pejuang Irak dan Kurdi untuk melawan ISIS.
Ketika para komentator Barat berbicara tentang kekerasan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mereka menyalahkan kelompok tertentu yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Tapi berkaitan dengan kelompok-kelompok Muslim yang melakukan kekerasan politik mereka menyalahkan kelompok “Islamis” dan “Jihad” secara keseluruhan.
Untuk memperjelas hal ini, tindakan ini diklaim dilakukan oleh ISIS. Mereka sendiri yang harus disalahkan untuk hal itu. Tindakan ini harus disebut “kekerasan atau terorisme oleh ISIS,” bukan kepada yang lain. Kaum Muslim di Barat tidak memikul tanggung jawab atas hal itu.
Padahal semuanya sudah paham, Amerika, Inggris, Rusia, dan anggota koalisi jahat lainnya, yang merupakan teroris sejati. Merekalah yang melakukan pembantain terhadap kaum muslim di Iraq, Afghanistan, Suriah. Mereka pulalah yang melakukan berbagai makar di negeri Islam yang menyebabkan tertumpahnya darah kaum muslim.
Mereka pulalah yang menjadi pendukung utama penguasa-penguasa diktator di negeri Islam yang melakukan aksi terorisme terhadap rakyatnya sendiri. Merekalah pendukung rezim Bashar yang buas, diktator Sisi sang pembantai, dan rezim sebelumnya seperti Khadafi di Libya, Saddam Husain di Irak.
Teori ekstremisme, dan radikalisasi rekayasa Barat telah menargetkan semua Muslim atas kekerasan politik yang sesat dan berakar pada sentimen sejarah anti-Muslim telah diartikulasikan selama Abad Pertengahan dengan berusaha menciptakan Perang Salib dengan kekerasan yang mereka buat sendiri.
Ketika para politisi dan para ahli berbicara tentang kebangkitan kelompok-kelompok ekstremis sayap kanan di Eropa, mereka melihat penyebabnya seperti terlalu banyak imigrasi, tekanan kepada pelayanan publik, dan kurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat asli setempat. Tapi kekerasan yang berasal dari dunia Muslim ditampilkan sebagai tidak memiliki penyebab, tapi ini adalah hasil dari teologi yang buruk, atau kejahatan murni.
Eropa tidak hanya menyerang Amerika secara politik di negara-negara Arab yang sedang dilanda oleh pemberontakan rakyat, tetapi juga aktif menjadi pesaing Amerika terkait isu sentral di Timur Tengah, yaitu masalah Palestina. Eropa memanfaatkan kevakuman yang disebabkan oleh kebekuan perundingan antara Otoritas Palestina dan negara Yahudi, serta kegagalan Amerika untuk memberikan tekanan pada para pemimpin entitas Yahudi agar mereka menghentikan aktivitas pembangunan pemukiman.
Dengan demikian, kita melihat bahwa AS sama seperti Eropa, dimana kedua pihak tengah bersaing berebut negeri Islam yang sedang pecah revolusi untuk menuntut kembalinya martabat umat dengan membebaskannya dari cengkeraman para penjajah yang menggunakan berbagai cara penipuan, seperti pemberian status mitra utama di NATO, pemberian pinjaman, dan pemberian sejumlah bantuan, serta pelatihan bagi para perwira untuk memerangi terorisme, dimana semua itu dijadikan sebagai alasan untuk memperluas pengaruh mereka dan mempertahankannya.[]