Kredit – Diskredit


Anda menyimak aksi “Bela Islam” yang digerakkan FPI pada Jumat 14 Oktober lalu? Berapa banyak kira-kira peserta aksi besar, yang menuntut Ahok segera ditangkap karena telah menghina al-Quran? Puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu? Mungkin, tetapi pasti bukan sekadar seribuan, apalagi ratusan orang.
Aksi besar “Tolak Ahok, Haram Pemimpin Kafir” oleh HTI pada Ahad, 4 September, pasti juga bukan diikuti sekadar ratusan orang. Namun, Kompas.com memberitakan aksi, yang juga menarik perhatian media internasional itu, hanya diikuti oleh ratusan orang. Metro TV menyebut 300-an. Detik.com menyebut seribuan, dan Jakarta Globe menyebut 5000.Mengapa mereka memberitakan dengan cara seperti itu? Inilah cara untuk melakukan pendiskreditan. Diskredit adalah usaha untuk men-downgrade (merendahkan) dan meragu-ragukan atau membusukkan pihak lawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendiskreditkan artinya menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau satu pihak tertentu. Tujuannya agar pihak yang dituju tidak mendapatkan kredit atau keuntungan berupa nama baik, reputasi, kepercayaan dan kehormatan dari apa yang dilakukan. Sebab, bila hal itu dicapai akan merugikan kepentingan mereka.

Dalam konteks aksi anti Ahok, mereka ingin agar aksi itu tidak tampak luar biasa, hebat dan pantas diperhitungkan. Bagaimana caranya? Di antaranya, ya dengan mengecilkan jumlah peserta aksi tadi. Aksi yang jelas-jelas diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu, ditulis ribuan atau ratusan. Termasuk usaha mereka untuk memberitakan kerusakan taman di depan Balaikota. Sebenarnya kerusakan taman itu kecil saja. Tak seberapa bila dibandingkan dengan kerusakan taman yang diakibatkan oleh acara pesta kemenangan Jokowi saat Pilpres 2014 lalu. Namun, dengan mem-blow-up kerusakan taman dengan pengambilan gambar secara close-up, seolah ingin mengatakan bahwa aksi 14 Oktober itu telah dilakukan secara brutal sehingga menimbulkan kerusakan taman secara hebat.

++++

Dalam dunia politik, usaha mendisktreditkan lawan sangat biasa dilakukan. Bukan hanya oleh satu pihak, tetapi oleh kedua belah pihak yang sedang berhadap-hadapan. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mendiskredikan lawan. Pertama: labeling; yakni pendiskreditan dengan menggunakan sebutan-sebutan yang berkonotasi buruk (pejoratif) seperti teroris, radikal, subversif, garis keras, fundamentalis dan belakangan makin sering juga digunakan sebutan anti Pancasila. Aksi Bela Islam kemaren disebut digerakkan oleh kelompok Islam garis keras. MUI juga tak luput dari sebutan seperti itu. Apalagi pasca keluarnya fatwa soal penyataan Ahok yang tegas disebut telah menghina al-Quran dan Ulama, MUI menjadi bulan-bulanan di dunia medsos, dan disebut-sebut telah menjadi organsisasi radikal.

Pendiskreditan model seperti ini ternyata sangat manjur. Sekali kita disebut fundamentalis, radikal, kelompok garis keras, apalagi disebut teroris, pasti kita akan dianggap buruk, jahat dan bahkan seolah menjadi halal darahnya. Hingga saat ini, ada lebih dari 120 orang dibunuh hanya karena mereka dianggap teroris. Padahal belum pernah dibuktikan secara hukum apakah benar mereka melakukan yang dituduhkan itu. Beberapa di antara yang dibunuh itu hingga sekarang malah tidak diketahui namanya. Di atas kuburannya hanya tertulis Mr X. Aparat sendiri tidak tahu mereka siapa. Lha, kalau nama saja tidak tahu, lantas dari mana aparat bisa menyimpulkan bahwa mereka adalah teroris?

Dulu pada masa Orde Baru ada istilah subversif. Sama seperti radikal, fundamentalis dan garis keras, sekali kita disebut kelompok subversif, tak peduli sebagus apapun yang kita lakukan, akan tetap menjadi buruk. Coba, apa buruknya acara Pesantren Kilat? Mungkin sekarang tampak tidak masuk akal, tetapi dulu pada masa Orde Baru, mengadakan Pesantren Kilat dianggap telah melakukan kegiatan subversif sehingga penyelenggaranya harus ditangkap dan dipenjarakan.

Anehnya, yang disebut dengan istilah-istilah itu semua, termasuk sebutan anti Pancasila, selalu saja kelompok Islam. Kelompok lain tidak pernah. Bahkan sebutan teroris dan anti Pancasila juga tidak pernah dilekatkan pada kelompok separatis. Apakah berarti kelompok separatis boleh terus hidup dan tidak harus dibasmi seperti kerasnya pembasmian terhadap mereka yang sudah keblanjur dicap teroris?

Sebutan anti Pancasila juga tidak pernah dilekatkan pada kebijakan-kebijakan Pemerintah yang jelas-jelas melanggar aturan dan merugikan rakyat seperti proyek reklamasi pantai Jakarta. Apakah ngotot meneruskan proyek yang jelas-jelas telah melanggar banyak sekali aturan yang dibuat sendiri oleh Pemerintah, dan oleh pengadilan TUN sudah diputus kalah, bakal merusak lingkungan dan aset strategis, itu semua Pancasilais? Menjadi pejabat komprador kekuatan asing, apakah Pancasilais? Memusuhi umat Islam yang ingin menegakkan ajaran Islam di negeri ini, apakah juga Pancasilais?

Kedua: Mengungkap sisi negatif dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pihak lawan, seperti adanya kemacetan, sampah yang berserakan, termasuk rusaknya taman. Merespon kegiatan RPA yang dilaksanakan oleh HTI pada tahun 2014 lalu, dengan lebih dari 100 ribu peserta memadati GBK dan kawasan sekitarnya, sebuah stasiun TV, begitu juga media on-line nya, alih-alih memberitakan gempita acara tersebut, isi dan respon peserta; tetapi justru menyoroti sampah yang berserakan di mana-mana. Bukan kita hendak mentolerir sampah itu, tetapi ya wajar saja orang segitu banyak, lalu membuat sampah ada di mana-mana. Media itu juga menyoroti kemacetan yang terjadi di seantero Jakarta serta keluh-kesah segelintir pengemudi yang tidak sabar. Apa maunya media ini, bila bukan bermaksud hendak mendiskreditkan acara HTI?

Cara serupa juga dilakukan usai aksi besar Bela Islam pada 14 Oktober lalu. Sama seperti dalam kasus kegiatan RPA tersebut, alih-alih media ini memberitakan semangatnya peserta mengikuti aksi hingga usai dengan damai, tetapi malah menyoroti rusaknya taman di depan Balaikota. Konyolnya, mungkin karena tergesa-gesa, skenario busuk itu dengan cepat terungkap. Ternyata bagian dari taman yang disebut rusak itu memang kosong sejak dari pagi. Artinya, bukan karena rusak oleh peserta aksi.

Ketiga: Mengungkap sisi buruknya moralitas pihak lawan seperti adanya korupsi, pelecehan perempuan dan sebagainya. Pasca keluarnya fatwa MUI tentang penghinaan al-Quran dan Ulama oleh Ahok, misalnya, MUI Pusat di-bully habis; didiskreditkan. Di antaranya dengan mempertanyakan dana sertifikasi halal yang dikatakan mencapai Rp 480 Triliun, yang katanya didapat dari jumlah pengusaha sebanyak 40 juta. Faktanya, jumlah pengusaha yang ada menurut HIPMI per Mei 2016 hanyalah 1,75 juta. Dari jumlah itu, MUI hingga sekarang baru mengeluarkan sekitar 13,000 sertifikat halal. Bila dikalikan Rp 2 juta (ini tarif paling mahal), baru didapat angka Rp 52 miliar. Jadi, dari mana angka Rp 480 Triliun itu?

++++

Jelaslah, pendiskreditan memang cenderung mengarah pada fitnah. Namun, bagi media sekular kapitalis, semua itu halal saja dilakukan. Oleh karena itu, kita semua harus hati-hati, tidak boleh jatuh dalam pendiskreditan model seperti ini.

Namun, dalam makna positif, mengungkap kejelekan ideologi dan sistem yang tidak islami, serta rezim yang korup perlu dilakukan agar publik lebih yakin terhadap kebaikan Islam dan kerusakan ideologi dan sistem serta rezim yang tidak Islami itu. Dengan itu mereka membenci rezim korup serta ideologi dan sistem jahilliah, serta tergerak untuk turut serta dalam perubahan menuju tegaknya Islam. Insya Allah. [HM Ismail Yusanto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*