Akhir-akhir ini, negeri kita diguncangkan dengan aksi umat Islam yang dilakukan hampir di seluruh Indonesia. Aksi tersebut sebagai bentuk pembelaan terhadap Alquran yang dilecehkan karena pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang membahas penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51. Adapun pernyataan Ahok yang menjadi sorotan termuat dalam pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Saat itu, Ahok dalam pidatonya menjelaskan bahwa warga tak perlu takut soal kelanjutan program bantuan itu, bila dirinya tak terpilih dalam Pilgub DKI 2017. Lebih kurang, Ahok menjamin program itu akan tetap berjalan, apapun hasil Pilgub kelak. “Jadi enggak usah pikiran. ‘Akh! Nanti kalau enggak kepilih, pasti Ahok programnya bubar’. Enggak! Saya masih terpilih (menjabat) sampai Oktober 2017,” kata Ahok.
Setelahnya, terseliplah pernyataan dia soal penggunaan surat Al Maidah ayat 51 jelang Pilgub DKI 2017. “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu.” (beritagar.id, 6/10/2016).
Atas pernyataan Ahok tersebut, sontak mengundang reaksi dari kaum Muslim diberbagai daerah, hingga isunya menjadi nasional bahkan internasional. Saya sendiri sebagai seorang Muslim, sangat-sangat tersinggung dan terhina dengan ucapan Ahok tersebut. Yang menistakan kitab suci Alquran, kitab suci umat Islam seluruh dunia.
Ketua MUI Maruf Amin menjelaskan, penghinaan itu, karena Ahok menyebut kandungan dari surah Al Maidah itu sebuah kebohongan, maka hukumnya haram dan termasuk penistaan terhadap Alquran serta yang menyebarkan surah Al Maidah tersebut pembohong. Padahal, MUI melihat orang yang kerap menyebarkan surah tersebut tak lain merupakan para ulama. (merdeka.com, 12/10/2016)
Selain MUI, Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) juga menyatakan sikapnya terhadap kasus dugaan penistaan Alquran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). ICMI menilai, perbuatan Ahok jelas-jelas tercela yang dibuktikan dengan permintaan maaf yang bersangkutan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). (Republika.co.id, 20/10/2016)
Di samping menuai reaksi dari kalangan para tokoh, kasus dugaan penistaan Alquran tersebut menuai reaksi dari berbagai Ormas Islam dan kaum Muslim di berbagai daerah. Di Tegal, ribuan massa dari Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah Kota Tegal bersatu turun ke jalan mengecam pernyataan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok atas tentang Surat Al-Maidah:51 beberapa waktu lalu.
Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Tegal, Nadirin Maskha usai mengikuti aksi, Jumat (14/10) mengatakan, aksi damai kali ini tidak ada kaitannya dengan gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta. Tapi karena penistaan terhadap Alquran. “Kami dari Muhammadiyah maupun Nahdatul Ulama (NU), sebagai umat Islam merasa tersinggung dengan ucapan Ahok,” ujar Nadirin, didampingi Ketua PCNU Kota Tegal, Abdal Hakim. (hidayatullah.com,16/10/2016)
Umat Islam di Solo, Jawa Tengah juga menggelar aksi turun jalan sebagai reaksi yang dilakukan dengan berjalan kaki dari Kota Barat menuju Mapolresta Solo itu untuk mendesak polisi segera mengusut kasus Calon Gubernur DKI Jakarta tersebut. Ribuan orang mengatasnamakan Laskar Umat Islam Surakarta, Dewan Syariah Kota Surakarta, Laskar Hizbullah, santri Pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan elemen lainnya berjalan dari Masjid Kota Barat, Solo menuju Mapolresta Solo yang berjarak sekitar 1,2 kilometer. (hidayatullah.com, 16/10/2016)
Aksi juga berlangsung di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Demonstrasi protes terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dinilai telah melukai perasaan umat Islam. “Aksi kami memang tidak ada orasi, jadi hanya membentangkan spanduk dan membagikan selebaran berisi pernyataan sikap. Ini sebagai bentuk reaksi keras terhadap pernyataan Ahok,” kata Ketua Dewan Pengurus Daerah II Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Timur, Muhammad Nur Hidayah, di Sampit, Jumat. (hidayatullah.com, 16/10/2016)
Kita maklumi bersama, bahwa saat ini, negeri kita masih terjajah oleh neo imperialisme dan neo liberalisme yang mencekik rakyat Indonesia dengan kebijakan-kebijakan pro asing dan tidak memihak kepada rakyat. Gaya kehidupan ekonomi yang kapitalistik, politik yang oportunistik, pendidikan yang materialistik, budaya yang hedonistik dan tata sosial yang individualistik, menyebabkan bangsa Indonesia hidup dalam keterpurukan dari berbagai bidang. Namun dengan begitu banyaknya skandal di negeri ini yang belum terselesaikan, rakyat yang geram tidak serta merta turun protes ke jalan. Mereka. Sabar, sabar, dan tetap sabar. Sambil berharap hari esok akan lebih baik.
Tetapi kasus skandal Ahok, saat ini, sungguh berbeda dengan skandal yang menimpa negeri kita sebelumnya. Menurut Amien Rais kasus Ahok merupakan skandal dari jenis yang sangat berbeda. Berbagai skandal yang menimpa negeri kita sebelumnya cuma skandal berdimensi dunia, walaupun sangat menohok rasa keadilan rakyat.
Sedangkan kasus Ahok mengguncangkan Indonesia karena Ahok sudah menyodok kesucian langit. Ahok sudah benar-benar kelewatan. Saya sependapat dengan KH Hasyim Muzadi: siapa pun yang berani menista Allah, Rasul-Nya, dan Alquran tidak ada yang bisa selamat. Mengapa? Karena umat Islam di manapun berada, tidak pernah bisa menerima penistaan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab Suci-Nya. (Republika.co.id, 28/10/2016)
Kita selaku orang Muslim tentunya akan marah jika agama kita dinistakan oleh orang lain. Jika kita tidak marah, maka kita bagaikan keledai.
Al-Imam Naashir as-Sunnah Al-Syafi’I Radhiyallahu anhu wa nardhah berkata:
مَنِ اسْـتُغْضِبَ وَ لَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ
(حلية الأولياء (9/ 143)
“Siapa yang dibuat marah, tapi tidak marah maka dia adalah keledai”
Kita bisa saksikan berbagai aksi kaum Muslim yang dilakukan di berbagai daerah, mayoritas di pimpin oleh para Ulama, karena memang Ulama seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela agama ini. Ulama akhirat akan selalu beramal dengan ilmunya, dan itu berbeda dengan ulama dunia yang menggadaikan akhirat demi kepentingan dunianya.
Amir Al-mukminin Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib RA, berkata:
يَا حَمَلَةَ الْعِلْمِ اعْمَلُوا بِهِ ، فَإِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَوَافَقَ عِلْمُهُ عَمَلَهُ
Wahai yang mengemban ilmu (ulama) beramallah kalian dengan ilmu tersebut; karena sesungguhnya orang alim itu adalah siapapun yang beramal dengan apa yang ia ketahui dan amalnya sejalan dengan amalnya. (al-Imam al Hafidz Abu Zakaria an Nawawi al Asy’ari asy- Syafi’I, at Tibyan fii Adabi Hamalatil Quran, hal 13);
Kita sebagai kaum Muslim berkewajiban untuk memuliakan dan menjaga kesucian Alquran al Karim. Dalam Kajian Majelis Buhuts Islamiyyah Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Jawa Barat yang dilaksanakan di Bandung, 20 Oktober 2016 yang membahas hukum bagi penghina Alquran di tegaskan bahwa para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf Alquran dan memuliakan-nya.
Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada seorang Muslim melemparkan Alquran ke tempat kotor maka dihukumi kafir (murtad).” Mereka juga berkata, “Haram menjadikan Alquran sebagai bantal. Bukan hanya itu, bahkan para ulama telah mengharamkan menjadikan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu sebagai bantal atau tempat bersandar.”
Maka, sudah sepantasnya para ulama dengan keilmuan yang dimilikinya menjadi garda terdepan dalam membela kemuliaan Alquran, dan umat akan mengikuti di belakangnya. Para ulama tidak pernah menyembunyikan hukum-hukum Islam yang ditanyakan kepada mereka, baik dalam masalah-masalah keumatan, masalah-masalah kenegaraan, maupun masalah-masalah yang menyangkut perilaku para penguasa.
Sebab, mereka sangat meyakini firman Allah:
﴿إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (makhluk yang dapat melaknati. (QS al-Baqarah [2]: 159).
Rasulullah SAW juga bersabda:
«أَفْضَلُ اْلجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang jahat. (HR an-Nasaي).
Itulah para ulama yang layak mendapatkan gelar yang mulia, yakni sebagai pewaris para Nabi, ulama yang selalu takut kepada Allah Swt. Rasulullah SAW juga meridhai hal yang demikian sehingga mereka layak menyandang gelar pewaris para nabi yang senantiasa menyampaikan risalah/kebenaran Islam kepada seluruh umat manusia. Wajar jika kita jumpai, bahwa sepanjang sejarah Islam yang agung, para ulama yang shalih senantiasa menjalani seluruh hidupnya semata-mata demi Islam. Wallahu ‘Alam bi ash-Shawab
*) Ketua Umum Kajian Islam Mahasiswa (KALAM) Universitas Pendidikan Indonesia
sumber: republika.co.id