Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan apresiasi Aksi Damai 4 Nopember yang menuntut Presiden Jokowi agar perintahkan Kapolri tangkap Ahok si penista Al-Qur’an dan atau ulama.
“Memberikan apresiasi kepada umat Islam dan beberapa elemen bangsa yang menggelar aksi damai 4 November 2016 sebagai reaksi yang telah berlangsung dengan aman dan damai yang dipimpin oleh para ulama, habaib dan para tokoh Islam,” ungkap Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH Didin Hafidhuddin saat membacakan Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Rabu (9/11/2016) di Gedung MUI Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurutnya, aksi damai tersebut menunjukkan kesatuan dan kebersamaan semua elemen bangsa, juga merupakan ekspresi demokrasi yang konstitusional dan positif untuk mendorong penegakan hukum di negeri yang menganut supremasi hukum.
“Insiden yang terjadi di luar waktu unjuk rasa adalah ulah provokator yang hanya ingin menciderai aksi damai tersebut,” tegasnya.
Didin juga menegaskan tausiyah ini untuk memperkuat Pendapat Keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 Oktober 2016 tentang penistaan agama, dan seharusnya menjadi rujukan utama dalam menangani proses hukum masalah dugaan penistaan agama, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini.
Menurutnya, Pendapat Keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat (haratsat addin wa siyaszu addunya), serta memelihara kerukunan hidup antarumat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Ia menegaskan pernyataan Ahok, “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapak itu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai Surat Al Maidah 51, macem-macem ini. Itu hak Bapak Ibu. Jadi Bapak Ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya,” jelas dirasakan umat Islam sebagai penghinaan terhadap Agama Islam, Kitab Suci Al Qur’an, dan ulama. Karena memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain dengan memberikan penilaian dan pemahaman yang diberikan para ulama, dan dengan memakai kata yang bersifat negatif, pejoratif, dan mengandung kebencian (hate speech).
“Ucapan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tersebut menunjukkan intoleransi dan rendahnya tenggang rasa terhadap keyakinan orang lain dan sangat potensial menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengarah kepada terganggunya stabilitas nasional,” pungkasnya. (mediaumat.com, 10/11/2016)