Sebelum masuk Islam, Martha Guerrera-Macias tidak pernah benar-benar merasa perlu memiliki hubungan antara dirinya dengan tuhan. Setelah masuk Islam, Nusaiba jadi nama depannya.
“Namun karena dibesarkan dalam keluarga Kuba, saya menganggap diri saya beragama Katolik karena saya dibaptis, pergi ke gereja dan percaya pada Injil,” ungkapnya dalam video kesaksian yang diunggah situs WhyIslam.org.
Sebenarnya apa yang sesungguhnya dipraktekkan oleh keluarganya adalah Lucumi atau Santeria—campuran agama budak-budak dari Afrika dengan agama Katolik.
Agama ini dipraktekkan di wilayah Karibia khususnya di Kuba Santeria yang merupakan percampuran agama monotheis yang mengakui bahwa ada satu tuhan tapi ada orisha (roh atau dewa-dewa) yang menjadi perantara antara seseorang dengan suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Sampailah pada suatu saat ia bertanya dalam hati mengapa tidak ada konsep tentang neraka di Santeria, dan ke mana perginya orang-orang yang dulunya tinggal bersama keluarga ketika mereka meninggal. Kenapa tuhan membutuhkan orisha sebagai orang-orang suci dan perantara? Apakah manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas hal-hal yang dilakukannya? Apa yang dipuji dalam kebaikan atau apa yang membatasi kebaikan dengan keburukan?
“Hal-hal ini tidak bisa dijawab dalam agama Katolik dan saya berada dalam kebingungan penuh,” ujarnya. Santeria pun tak bisa menjawab.
“Lalu mengapa saya harus percaya kepada keduanya sekaligus padahal sistem kepercayaan keduanya sangat jauh berbeda?” tanyanya dalam hati.
Contohnya, menyembah berhala adalah dosa dalam Injil. Tuhan tidak pernah mengatakan bahwa dia memiliki penolong. Selain itu, trinitas, ayat-ayat yang saling bertentangan, masalah yang senantiasa menimbulkan perasaan emosional padahan membutuhkan jawaban yang rasional.
Martha pun berupaya memfokuskan diri belajar bahasa yang menurut dirinya paling sulit dipelajari. Lalu ia mengambil pelajaran bahasa Arab. Setelah itu, ia juga mempelajari kebudayaan Arab kemudian topik mengenai Islam mulai muncul. Tetapi berdasarkan pemberitaan dari media, dari teman dan keluarga dan dari reaksi yang dilihatnya, Martha memiliki kesimpulan persis sesuai target orang-orang yang alergi terhadap Islam (Islamophobia).
“Saya menganggap Muslim sebagai orang-orang seperti iblis,” kenangnya.
Meski begitu ia mulai memperhatikan orang-orang Islam di sekitarnya dengan lebih serius lagi.
“Mereka memiliki komunitasnya sendiri demikian juga saya, walaupun kami tinggal dalam lingkungan yang sama,” ungkapnya.
Martha bertanya-tanya kenapa pandangan mereka tertunduk ketika mereka berjalan. “Tapi kami dapat berbicara, bertegur sapa dan mengenal satu sama lain dengan baik. Ketika itu saya mengatakan itu bukan Islam,” tudingnya.
Namun teman Muslim itu menyatakan seorang Muslim yang taat memiliki akhlak yang baik, Muslim memiliki toleransi yang tinggi karena Islam mengajarkan mereka untuk bertoleransi.
Dan dalam Alquran ada ayat yang khusus diturunkan untuk non Muslim yakni surat Al Kafirun. Di akhir surat adalah Lakum dinukum waliyadin [Bagimu agamamu, bagiku agamaku].
“Jadi bagaimana toleransi bisa ditemukan dalam sebuah kitab suci? Alhamdulillah, saya memiliki kemampuan untuk memahami dan mempelajari agama mereka,” ungkapnya mengenang saat itu.
Ia pun tertarik lebih jauh untuk mengkaji Islam dari sumber-sumber primer—tidak lagi melalui media massa. Kesimpulannya?
“Islam mengundang kekaguman dan rasa hormat saya. Saya benar-benar jatuh cinta kepada Islam. Tidak hanya hati saya yang jatuh cinta kepada Islam tapi juga pikiran saya. Saya cinta Islam karena teologinya jelas, tuhan adalah satu. Saya cinta Islam karena nabi-nabi yang sudah saya percayai adalah Muslim. Muslim adalah satu-satunya yang tunduk patuh kepada perintah tuhan. Saya tidak meninggalkan keyakinan saya kepada para nabi karena semuanya ada di dalam Alquran.”
Ketika membaca ayat Alquran yang berbunyi Laa ikraha fiddin “tidak ada paksaan masuk agama Islam” hati Martha pun terbuka.
“Inilah agama yang benar, agama yang menolak penindasan. Tuhan yang menilai niat kita dan dengan memberi pahala yang berlipat untuk perbuatan baik, dan mudah memaafkan perbuatan yang buruk adalah Tuhan Yang Maha Penyayang,” simpulnya lagi.
Maka Martha pun mulai menghormati Islam. Ia lihat Muslimah berjalan di jalanan dan tanpa canggung Martha pun mengucapkan salam kepadanya. Bahkan dalam kesempatan debat di acara kampusnya kuliah di suatu Perkumpulan Kelas Filsafat, ia selalu membela Islam.
“Saya ingat teman-teman saya mengatakan kepada saya, ‘Kamu membela (perdebatan) kita atau mereka?’” kenangnya.
Martha waktu itu belum bersyahadat tetapi pemikiran dan perasaannya sudah seperti orang Islam saja. Bahkan ia mempraktekkan agama Islam tanpa keluarganya mengetahuinya hingga suatu hari pada 2011 masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan memakai kerudung.
Di depan namanya pun ditambahkan nama “Nusaiba”. Nusaiba adalah dialek Inggris untuk Nusaibah. Merujuk kepada salah satu sahabat perempuan Rasulullah SAW yakni Nusaibah binti Kaab ra yang melindungi Nabi Muhammad SAW dalam sebuah peperangan hingga nyawa menjadi taruhannya.
“Kemudian jelaslah bahwa saya telah menjadi seorang Muslimah. Saya banyak membuat perubahan dan saya tahu saya membuat keluarga saya merasa frustasi. Saya berusaha menjelaskan sebaik-baiknya kepada mereka kenapa saya berubah dan kenapa mereka juga harus berubah. Islam adalah agama yang benar. Namun, saya tidak mengerti mengapa saya menerima begitu banyak reaksi negatif, dan saya masih menerima reaksi negatif hingga sekarang.”
Secara retoris, dalam kesaksiannya ia pun berkata:
“Jika orang yang Anda cintai menyembah Tuhan dan bukan menyembah mahluk, bukankah itu hal yang baik?”
“Jika orang-orang memiliki keyakinan untuk tidak minum-minum, mencuri, merokok, berzina, bagaimana hal itu adalah hal-hal yang buruk?”
“Bagaimana mereka menyembah Tuhan, Tuhannya Nabi Ibrahim, orang yang anda sangat hormati. Bagaimana mereka menyembah dengan cara yang salah dengan menyembah Musa atau Isa seperti yang ada pada Injil?”
“Bagaimana menutup aurat untuk melindungi aurat dan agar dihormati dari lawan jenis untuk dikatakan sebagai wanita yang terhormat dianggap hal yang buruk?”
“Apakah saya salah karena melakukan hal-hal ini?”[] riza aulia/joy
Sumber Tabloid Mediaumat edisi 183