Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Khilafah adalah negara, sekaligus sistem pemerintahan. Islam merupakan pemahaman [mafahim], standar [maqayis] dan keyakinan [qanaat] yang diterima dan diterapkan oleh umat dalam negara khilafah. Meski tidak semua rakyat yang hidup di dalamnya adalah Muslim. Sebaliknya, non Muslim pun mempunyai hak menjadi warga negara khilafah. Mereka disebut ahlu dzimmah, orang yang mendapatkan jaminan perlindungan, baik nyawa, harta, kehormatan maupun agama mereka.
Sebagai warga negara, baik Muslim maupun non Muslim, sama-sama mendapatkan jaminan dari negara, terkait dengan kebutuhan dasar mereka. Mulai dari kebutuhan dasar orang per orang, seperti sandang, papan, dan pangan, hingga kebutuhan dasar secara kolektif, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semuanya dijamin oleh nagara, dan sama. Tanpa ada diskriminasi, antara Muslim dengan non-Muslim.
Inilah hak mereka. Hanya saja hak-hak lain, seperti menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi negara, harus didetailkan. Sebab, di dalamnya ada ketentuan hukum yang berbeda, antara Muslim dengan non Muslim.
Jabatan Pemerintahan
Pemerintahan di sini sering diistilahkan para fuqaha dengan istilah al-hukm. Orang atau pemangkunya disebut al-hakim. Bentuk jamaknya adalah al-hukkam. Dia adalah orang yang menjalankan hukum kepada rakyat. Istilah al-hakim di sini bukan al-hakim, dengan konotasi pembuat hukum, sebagaimana yang dimaksud oleh ulama ushul fiqih. Juga bukan hakim, dengan konotasi al-qadhi, yang memutuskan perkara di pengadilan.
Mengenai jabatan pemerintahan [al-hukm] dan pemangkunya [al-hakim], seperti kepala negara [khalifah], wakil kepala negara [wazir tafwidh], kepala daerah tingkat I [wali], kepala daerah tingkat II [amil], dan kepala desa [rais baladiyyah] telah ditetapkan sebagai hak kaum Muslim. Dalam hal ini, dengan tegas Allah menyatakan, “Walan yaj’ala-Llahu li al-kafirin ‘ala al-Mu’minina sabila [Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang Kafir untuk berkuasa atas kaum Muslim].” [TQS an-Nisa’: 141].
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Imam al-Mawardi, menyatakan bahwa syarat wali sama dengan wazir tafwidh, dan wazir tafwidh sama dengan khalifah, kecuali soal nasab, yang tidak disyaratkan harus Quraisy. Dengan tegas, al-Mawardi membedakan adalah wazir tafwidh dengan wazir tanfidz. Wazir tafwidh seperti khalifah, bedanya dia diangkat oleh khalifah dengan akad niyabah [sebagai wakil khalifah]. Karena itu, khalifah bisa membatalkan keputusan wazir tafwidh, tetapi tidak sebaliknya. Sedangkan wazir tanfidz tugasnya bersifat administratif dan teknis, yaitu melaksanakan keputusan yang berasal dari khalifah kepada yang lain, dan menghubungkan pihak lain dengan khalifah.
Karena faktanya seperti itu, maka menurut al-Mawardi, non Muslim yang menjadi ahli dzimmah, boleh menjadi wazir tanfidz. Namun, pendapat ini dilemahkan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Alasannya, meski wazir tanfidz bukanlah al-hakim, tetapi tetap berhubungan erat dengan pemerintahan [al-hukm], dan memegang rahasia pemangku pemerintahan [al-hakim]. Karena itu, non Muslim tetap tidak boleh menjabat jabatan wazir tanfidz. Dasarnya firman Allah, “Ya Ayyuha al-ladzina amanu la tattakhidzuna bithanatan min dunikum [Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang lain, di luar kalian [orang Kafir] sebagai teman kepercayaanmu.” [TQS Ali Imran: 118]
Jabatan Administratif
Jabatan administratif adalah jabatan non pemerintahan [ghair al-hukm], tepatnya administrasi [al-idarah]. Jabatan administratif ini tidak membuat keputusan dan menjalankan hukum, tetapi benar-benar hanya menjalankan keputusan pemerintah, dan lebih bersifat teknis. Seperti kepala departemen, bidang, biro, sekretaris dan sebagainya. Dalam konteks ini, sebenarnya wazir tanfidz di satu sisi merupakan jabatan administratif, namun karena menjadi penghubung antara khalifah dengan yang lain, maka dia terkait dengan pemerintahan. Karena itu, non Muslim tetap tidak diperbolehkan menjabat jabatan ini.
Namun, tidak ada larangan bagi non Muslim menjadi kepala departemen, bidang, biro, sekretaris dan sebagainya. Hanya saja, ada beberapa jabatan yang tidak termasuk jabatan pemerintahan, seperti peradilan [al-qadha’], ketentaraan [jaisy], kepolisian [syurthah], termasuk lembaga perwakilan rakyat [majlis ummat], namun tetap tidak boleh dijabat oleh orang non Muslim.
Dalam hal ini, orang non Muslim tidak dibenarkan menjadi hakim [qadhi]. Ini adalah pendapat Jumhur ahli fikih, kecuali Abu Hanifah, yang membolehkan non-Muslim menjadi hakim, namun hanya khusus untuk mengadili kasus orang yang seagama, jika kasusnya terkait dengan agamanya. Seperti pernikahan dan perceraiaan di antara sesama mereka.
Sedangkan panglima tentara [amir jihad], kepala polisi [rais syurthah], ketua majelis umat [rais majlis al-ummat] tidak boleh dijabat oleh non Muslim. Meski mereka boleh menjadi tentara, polisi, dan anggota majelis umat.
Jabatan Non-Pemerintahan dan Administratif
Meski dalam sistem khilafah tidak mengenal istilah oposisi, tetapi partai politik posisinya tetap di luar pemerintahan. Begitu juga sebaliknya, meski pemerintah ketika berkuasa diantarkan oleh partai politik, tetapi tidak ada istilah the rulling party [partai berkuasa]. Tugas partai politik di sini jelas untuk melakukan edukasi terhadap umat, mengontrol, dan mengoreksi penguasa, jika melakukan pelanggaran.
Karena itu, tidak ada satu pun partai politik, bahkan badan perkumpulan, yang dibentuk dengan dasar selain Islam. Dengan kata lain, semua partai politik dan badan perkumpulan dasar dan garis perjuangannya adalah Islam, bukan yang lain. Dengan begitu, orang non Muslim pun tidak bisa menjabat sebagai ketua partai politik, atau membentuk partai politik dan badan perkumpulan berdasarkan agama mereka.
Selain itu, tugas yang diemban dan dijalankan oleh partai politik ini juga berhubungan dengan urusan pemerintahan. Tugas seperti ini juga tidak boleh diemban dan dijalankan oleh orang non Muslim. Begitu juga tugas mengontrol dan mengoreksi juga bukan merupakan kewajiban orang non Muslim. Bahkan, di sini mereka pun tidak diberi hak untuk melakukan itu.
Karena itu, meski menjadi ketua partai politik bukan jabatan pemerintahan atau administratif, sebaliknya ini adalah jabatan di luar pemerintahan, tetapi tetap saja orang non Muslim tidak boleh menjabat jabatan ini. Wallahu a’lam.[]
SUmber: Tabloid Mediaumat edisi 183