Duh, Nasibmu Saudariku Buruh Migran

tkwOleh: Ainun dawaun Nufus – MHTI Kab. Kediri (pengamat Sosial politik)

Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid mengungkapkan, hingga saat ini ada 1,3 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia yang dinilai ilegal karena tidak memiliki dokumen lengkap. “Di Malaysia hingga saat ini totalnya ada 1,3 juta orang TKI yang undocumented atau bermasalah. Kalau nggak punya dokumen pasti masuknya nggak prosedur (ilegal),” kata Nusron saat menggelar jumpa pers di Gedung BNP2TKI, Jakarta, Rabu (Republika.co.id,  9/11).

Persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi oleh buruh migran dinilai belum menjadi perhatian elite politik di tingkat ASEAN. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, hingga tahun 2015, sebanyak 212 buruh migran terancam hukuman mati di Malaysia, termasuk mereka yang terjebak sindikat narkoba. “Khususnya sektor pekerja rumah tangga (PRT) migran masih mengalami diskriminasi, penembakan terhadap buruh migran, dan anak-anak buruh migran terbatas aksesnya untuk mendapatkan pendidikan,” ujar Anis dalam seminar di Jakarta, sebagaimana pemberitaankompas.com (15/3/2016).

Beberapa buruh migran Indonesia terancam hukuman mati di manca negara. Beberapa di antara mereka masih di bawah umur. Ancaman hukuman mati kembali dialami buruh migran Indonesia khususnya buruh migran perempuan. Berbagai situasi dan kondisi kerja tidak layak bahkan sarat akan kekerasan, tekanan fisik dan psikis, penganiayaan,  ancaman kekerasan, ketidaktahuan tehadap hukum dan budaya Negara tujuan jadi pemicu yang menempatkan Buruh Migran menghadapi ancaman hukuman mati. Negara wajib melindungi mereka.

Sayangnya belum terlihat adanya mekanisme yang mampu mencegah penghentian kekerasan dan pelanggaran hak-hak  buruh migran. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan buruh migran Indonesia seringkali terpaksa dilakukan untuk membela diri dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan atau pihak lainnya. Kondisi kekerasan yang dialami buruh migran diperparah dengan terisolasinya buruh migran dari lingkungan luar. Mereka seringkali tidak diperbolehkan ke luar rumah dan dilarang berkomunikasi, sehingga tidak mempunyai akses untuk mengadukan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak yang dia alami.

Di sisi lain, kegalauan pemerintah nilai ekonomis yang dihasilkan dalam bursa tenaga kerja migran memang fantastis.  Bank Dunia menyebutkan, arus pengiriman uang (remitansi) ke negara-negara berkembang meningkat 4 kali lipat sejak tahun 2000. Jumlah pengiriman uang global, termasuk ke negara-negara berpenghasilan tinggi, diperkirakan mencapai 529 milyar dolar AS pada tahun 2012, dibandingkan perolehan pada tahun 2000 sebesar 132 milyar. Karena itulah Bank Dunia meluncurkan program Global Knowledge Partnership on Migration and Development (KNOMAD) untuk meningkatkan migrasi, termasuk migrasi tenaga kerja terampil dan berketerampilan rendah.

Begitulah, pemikiran serakah Barat telah menyesatkan pemikiran manusia tentang migrasi. UNWomen –organisasi PBB yang bertugas menanamkan ide feminis di seluruh dunia-  turut memobilisasi perempuan untuk bermigrasi meninggalkan tanah air, mahrom dan anak-anaknya demi sekedar mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.  Karena itu semua risiko berbahaya yang dihadapi perempuan migran seperti eksploitasi, kerentanan terhadap kekerasan, termasuk resiko perdagangan manusia (trafficking) harus diminimalisir. Karena itulah UNWomen, ILO, Bank Dunia dan kalangan LSM terus mendesak pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan yang memperbaiki kondisi pasar tenaga kerja dan memajukan pekerjaan yang layak bagi perempuan, termasuk pekerja rumah tangga.

Barat, termasuk LSM yang bergiat di isu buruh migran, menyadari betul bahwa migrasi buruh –termasuk PRT- di kawasan ASEAN tidak mungkin dielakkan.  Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sebagai perwujudan aliran pasar bebas komoditas dan jasa di tingkat ASEAN akan mulai diterapkan tahun lalu, Desember 2015. Data produktifitas tenaga kerja Indonesia yang dilansir Bank Dunia tahub 2013 menempatkan Indonesia di bawah peringkat Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina.  Artinya, secara nyata tenaga kerja Indonesia level menengah kalah kompetensinya di tingkat ASEAN, maka Indonesia hanya akan sanggup mengirim tenaga level bawah.  Apalagi tradisi negara-negara ASEAN yang berpendapatan perkapita tinggi -seperti Singapura, Malaysia dan Brunei- masih membutuhkan tenaga informal untuk mengerjakan pekerjaan ‘kasar’ seperti petugas kebersihan, buruh, maupun pekerjaan rumah tangga.

Tulisan ini menegaskan kembali apa yang menjadi target-target untuk kaum buruh di dalam komitmen global Sustainable Development Goals: situasi kerja yang layak, migrasi yang aman, tidak mempekerjakan anak-anak, bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, bebas dari perbudakan dan praktik perdagangan manusia tidak tercapai alias gagal.

Dalam konteks Indonesia, prinsip-prinsip kerja layak dalam kandungan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sedang dalam proses legislasi, sebagai pengganti UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri yang sudah usang dan tidak relevan lagi.

Rencana pemerintah untuk melarang perempuan bekerja sebagai PRT migran ke luar negeri bukan jalan keluar yang tepat karena selain merupakan bentuk pelanggaran hak perempuan untuk bekerja, juga merupakan manifestasi pengingkaran tanggungjawab negara.

Inilah kehidupan kapitalistik. Kehidupan neoliberalistik yang hanya mengukur produktifitas seseorang dari nilai materi yang dihasilkan. Karena itulah, setiap kebijakan yang akan menunjang laju perekonomian, termasuk investasi sosial seperti ‘meningkatkan taraf kesejahteraan’ PRT akan tetap dilestarikan.  Semua kebijakan ini dimotori oleh gagasan gender yang telah merasuk dan merusak pemikiran para pembuat kebijakan, aktifis, pendidik hingga para suami /wali dan perempuan itu sendiri. Dalam kultur masyarakat urban yang menimpakan beban nafkah tidak hanya kepada suami, mereka menuntut istri mengejar karier.  Kondisi tersebut memaksa perempuan keluar rumah di pagi buta dan kembali pulang saat matahari telah tenggelam.  Pada pundak sang bibi-lah urusan rumah dilimpahkan dan pada “si mbak” ditimpakan pengurusan anak.  Jika kemudian prestasi perempuan meningkat pesat secara akumulatif, imbasnya pada kenaikan GDI (Gender Development Index) dan Indeks Pembangunan Manusia/ IPM yang selanjutnya  akan menaikkan gengsi negara.  Karena itulah kesejahteraan PRT, sang pahlawan keluarga miskin harus terjamin kepentingan sosial ekonominya melalui kebijakan pemerintah demi melejitnya peran publik  perempuan karier.  PRT aman, majikanpun tenang untuk mensukseskan agenda gender.

Inikah yang disebut andil PRT sebagai tenaga-tenaga tak terlihat (invisible powers), yang mendongkrak kehidupan ekonomi negara? Bagaimana  dengan ‘hilangnya rasa bersalah” ketika urusan rumah tangga dan kebutuhan fisik anak beres, maka tak jadi masalah jika para istri/ibu tetap ‘berkontribusi pada peningkatan kehidupan ekonomi keluarga dan negara? Tak menjadi persoalankah kelestarian posisi sebagai ibu yang mengawal kesuksesan rumah tangga dan generasi masa depan? Bahkan ketahanan keluarga PRT tidak pernah masuk dalam pembahasan kebijakan pemerintah. Miris.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*