Menyoal Toleransi di Indonesia, Mengapa Sulit Terwujud?
Oleh: dr. Estyningtias P (LS MHTI)
Pluralitas yang ada di Indonesia sudah semestinya mengharuskan adanya sikap toleran di antara masyarakatnya. Apalagi sejak awal bangsa Indonesia sudah sangat menyadari hal ini. Terbukti dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang ditanamkan selama bertahun-tahun. Namun, fakta yang ada di tengah masyarakat menunjukkan kian buruknya pemahaman tentang makna toleransi ini. Sehingga kian lama kian banyak kasus-kasus yang dianggap intoleran. Dan opini yang mencuat bersamaan dengan kasus-kasus intoleransi tersebut mengarah pada pelaku yang sangat jelas, yakni ajaran Islam. Benarkah demikian? Tulisan ini berusaha untuk menjawabnya.
Intoleransi di Berbagai Bidang
Persoalan toleransi di bidang politik bisa dengan mudah ditemui dalam kasus Pilkada DKI. Penolakan mayoritas masyarakat yang beragama Islam terhadap kepemimpinan Ahok senantiasa dikaitkan dengan isu SARA karena dianggap menyinggung etnis dan agama tertentu. Padahal sebaliknya, banyak sekali ungkapan dan kebijakan yang dikeluarkan Ahok telah melukai hati umat Islam, tetapi hal itu tidak dianggap sebagai bentuk intoleransi. Larangan takbir keliling, larangan menggunakan jilbab bagi siswi sekolah negeri, larangan menyembelih hewan kurban disembarang tempat, adalah contoh peraturan yang menyakiti hati kaum muslimin. Faktanya tetap saja tidak dianggap sebagai intoleransi.
Di bidang ekonomi sangat jelas intoleransi ini terjadi. Kasus Luar Batang adalah contoh nyata sikap intoleransi pemerintah terhadap rakyat kecil. Sikap yang berbeda secara diametral dengan upaya penggusuran warga Glodhok oleh Walikota Jakarta Barat, Anas Effendi. Begitu juga dengan kasus reklamasi teluk Jakarta. Namun hal itu luput dari penyataan intoleransi.
Di bidang sosial budaya, sangat nyata ajaran Islam menjadi pihak tertuduh. Apalagi setelah booming isu ISIS, maka tuduhan pelaku teroris yang dianggap intoleran disematkan pada orang yang bersemangat menjalankan ajaran Islam. Kasus bom Solo beberapa waktu yang lalu menjadi buktinya. Sebelum bom Solo sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan bom bunuh diri dianggap sebagai terorisme yang muncul akibat ketidakmampuan pelaku bersikap toleran terhadap kenyataan yang ada. Meski sebagian fakta justru mengungkapkan bahwa peristiwa-peristiwa itu by design. Ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menyematkan label terorisme pada Islam, sebagaimana yang terjadi pada upaya densus 88 melakukan suap terhadap istri Siyono.
Dukungan Internasional
Banyaknya fakta terkait kasus-kasus intoleransi seperti pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai telah menggiring opini internasional bahwa Indonesia punya masalah serius terkait persoalan intoleransi. Dan untuk itu Indonesia mau tidak mau harus menerima berbagai tawaran pembicaraan dari berbagai negara besar untuk memecahkan persoalannya. Salah satunya adalah Dewan AS-RI untuk Agama dan Pluralisme (US-Indonesia Council on Religion and Pluralism) yang dibentuk oleh Masyarakat AS-Indonesia (Usindo) dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta pada 10-11 Agustus 2016. Dewan itu dipimpin Jihad Turk dari AS dan Yenny Wahid dari Indonesia. Dewan yang berawal dari inisiatif Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Barack Obama saat bertemu di Washington DC, AS, Oktober 2015 ini, melibatkan perwakilan organisasi keagamaan, akademisi, aktivis, dan perwakilan media massa dari Indonesia dan AS.
Pembicaraan yang lain adalah International Meeting on Counter-Terorism (IMCT) di Nusa Dua, Bali, tanggal 11 Agustus 2016. Forum ini membahas fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF) bersama delegasi dari negara-negara ASEAN. Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius mengatakan FTF merupakan fenomena terorisme lintas batas yang muncul seiring dengan keberadaan kelompok militan ISIS. Di Indonesia sendiri, di dalam kelompok Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas tertembak Satgas Operasi Tinombala, juga terdapat sejumlah orang warga negara asing.
Fenomena terorisme lintas batas inilah yang kemudian menjadi alasan bagi negara-negara Barat (AS khususnya) untuk menguatkan dukungan pada penanaman nilai-nilai toleransi. Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius menyampaikan dalam upaya menekan pengaruh radikalisme dan terorisme, pemerintah Indonesia menjalankan program deradikalisasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kepolisian juga terus berusaha meningkatkan profesionalisme dan pengembangan kapasitas dalam peningkatan penanggulangan terorisme. Di sisi lain, kata mantan Kabareskrim Polri itu, Indonesia juga tetap membuka diri untuk bekerja sama dan belajar dari negara-negara sahabat dalam penanggulangan terorisme. Pernyataan ini diamini oleh Deputi Bidang Kerjasama Internasional BNPT Irjen Pol Petrus R Golose yang menegaskan bahwa koordinasi antarnegara adalah kunci untuk mencegah aksi FTF.
Wakil Menteri Luar Negeri A.M. Fachir, menyatakan Indonesia menyadari bahwa penanganan terorisme harus dilakukan secara seimbang antara hard approach (pendekatan keras) yang mendorong penguatan penegakan hukum, dengan soft approach (pendekatan lunak) yang memberdayakan semua lapisan masyarakat untuk menyebarkan nilai toleransi dan menolak ideologi radikal. Jadi jelaslah bahwa penanaman nilai toleransi sejatinya ditujukan untuk menolak Islam yang dianggap sebagai ideologi radikal dan sangat membahayakan kepentingan negara-negara Barat.
Lebih jelas lagi ungkapan Ban Ki Moon, Sekretaris Jenderal PBB, pada pesan Perayaan Hari Toleransi tahun 2011 yang lalu yang menyatakan bahwa tujuan toleransi adalah untuk menangkal prasangka dan kebencian. Bahkan PBB juga telah menetapkan tanggal 16 Nopember sebagai Hari Toleransi Internasional sejak tahun 1995 oleh UNESCO. UNESCO juga telah mengadopsi Declaration of Principles on Tolerance, sebuah deklarasi yang menegaskan kembali pentingnya mempromosikan dan menjamin toleransi.
Berikut adalah perubahan paradigma yang diinginkan dalam upaya untuk mempromosikan dan menjamin toleransi:
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa perubahan paradigma yang diinginkan adalah perubahan paradigma yang menyentuh aspek aqidah, keyakinan, dan standar hidup kaum muslimin. Perubahan yang cukup fundamental dan radikal. Dan ini sangat jelas dinyatakan dalam dokumen “US Interest and Policy Priorities In Southeast Asia yang ditulis oleh Matthew P. Daley, Wakil Sekertaris Asisten negara untuk urusan Asia Timur dan Pasific yang menggambarkan kepentingan AS di Indonesia.
Toleransi dalam Islam
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa penguatan toleransi ini sebenarnya ingin memaksakan makna toleransi sesuai standar Barat yang bertentangan dengan Islam. Wajarlah jika kaum muslimin di Indonesia merasa kesulitan menerapkan standar hidup yang berbeda dengan standar yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam Islam konsep toleransi dikenal dengan istilah tasamuh. Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi itu tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Islam dengan rekam sejarah masa lalunya telah memberikan contoh toleransi yang sangat komplit.
Historiografi peradaban dunia telah membuktikan bukannya Islam yang tidak mengenal toleransi, melainkan Peradaban Barat yang tidak pernah memiliki konsep toleransi. Hal tersebut bahkan bisa dilacak sejak pertama sekali peradaban Islam bersentuhan dengan peradaban Barat. Dr. Gustav Lypon dalam Arab Civilization mengatakan, “Kekuatan (power) tidak selamanya menjadi faktor penentu penyebaran ajaran al-Quran. Bangsa Arab (kaum Muslim) membiarkan orang-orang yang pernah memerangi negeri mereka hidup dengan bebas dalam menjalankan keyakinan agama mereka. Jika ada sebagian umat Kristiani yang memeluk Islam dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kesehariannya, hal itu mungkin terjadi karena prinsip mereka yang melihat adanya keadilan di kalangan Arab yang tidak ditemukan di kalangan mereka, kaum non-Muslim. Mungkin juga karena mereka tertarik dengan sikap toleransi dan keramahtamahan yang ditampakan Islam; kedua sikap itu tidak dikenal dalam agama-agama selainnya”.
Seorang Yahudi bernama Max I. Dimon juga menyatakan, “Salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Imperium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Andalusia itu sungguh tepat. Bahkan dia pun menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid dan kamar tidur mereka, untuk konversi, edukasi, dan asimilasi. Kaum Yahudi tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya. Kutipan ini perlu ditegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari non-Muslim tentang toleransi Islam. Jadi, masih adakah pihak yang menuding umat Islam intoleran?! WalLâhu alam.[]